Pengungkapan aliran dana dari Pemda yang diberikan kepada kelompok separatis di Wilayah Papua oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Komando Detasemen Khusus (Kopassus) 88 Antiteror, menjadi pengungkapan paling besar. Tentunya, perbuatan ini berbanding terbalik melihat upaya Pemerintah Pusat yang berupaya membumihanguskan kelompok teroris di Wilayah Bumi Cendrawasih tersebut, dengan tujuan utama agar keamanan masyarakat sipil bisa terjamin seutuhnya.
Pengungkapan yang masih belum bisa tervalidasi secara utuh, membuat bola panas isu ini semakin hangat di tengah masyarakat terlebih pelaku merupakan orang-orang bekerja untuk Republik ini, namun juga menjadi penyokong utama kelompok separatis. Wajar apabila tuntutan penyelesaian secara terbuka dikumandangkan oleh beberapa pihak, dengan alasan mungkin saja masih ada oknum yang terlibat, walaupun kasus ini belum diadili oleh lembaga hukum setidaknya Indonesia telah tertinggal satu langkah dalam upaya memberantas kelompok teroris Papua.
Isu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua seperti kelompok OPM dan lainnya sudah sejak lama menjadi perhatian masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Papua dimana setiap hari dibayang-bayangi akan kelompok teroris papua. Hingga pada puncaknya, terganggunya beberapa sektor dalam lini kehidupan masyarakat Papua, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga keagamaan tidak luput menjadi sasaran kekejaman kelompok ini.
Melihat dari history penanganan kelompok ini, banyak sekali menemukan kesulitan sebelumnya baik perlindungan hukum bagi petugas gabungan, hingga isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijegal baik dari forum dalam negeri sampai forum luar negeri. Ketika OPM menyandang sebagai kelompok teroris dan kelompok separatis lainnya dilabeli juga sebagai teroris yang mengancam keamanan serta stabilitas politik oleh Pemerintah Indonesia, secara analitik penanganannya terbilang sangat massif dan mengalami perubahan secara besar-besaran, terlebih Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan instruksi dan mandat secara langsung dari Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Tentara dan pasukan keamanan lainnya yang tergabung dalam beberapa pasukan operasi hanya berbekal undang-undang penanganan kemanan ataupun intruksi pimpinan TNI dan Jendral TNI. Jelas ketara pada hasil akhirnya dan bisa ditebak dengan jelas, sehingga hanya seperti program wajib saja tanpa ada hasil signifikan.
Menurut Undang-Undang 5 tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Teroris, kelompok ini dimasukan sebagai kelompok yang sangat berbahaya bagi ketertiban umum dan lainnya, dimana dijelaskan secara terperinci dalam Pasal 1 ayat 2 ‘Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Jika melihat kesimpulan Undang-Undang diatas, saya bagaimana Malaysia sama memiliki kelompok separatis seperti KKB Papua telah banyak menimbulkan keagudahan, sebagai contoh di Tahun 2019 seorang anggota Dewan yang bekerja di Dewan Undangan Negeri (ADUN) Negeri Sembilan dan Malaka secara langung terafiliasi dengan kelompok separatis Harimau Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), Pada akhirnya mereka ditangkap di bawah Undang-Undang Keamanan (Langkah-Langkah Khusus) 2012 atau The Security Offences (Special Measures) Act 2012 (SOSMA). Jika menggunakan perbandingan hukum, SOSMA milik Malaysia terdapat ketegasan yang cukup dibandingkan dengan beberapa Peraturan yang ada saat ini, seperti beberapa frasa kalimat serta pemaknaan yang tidak terkonsep dengan baik.
Perjalanan dan history penangan teroris di Papua, memang terbilang sangat lama dimulai era Presiden Sukarno, dikala itu Indonesia masih berumur jagung melawan kelompok-kelompok yang didukung langsung oleh Kerajaan Belanda. Pada tahun 1962 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil alih kekuasan sementara, akibat ketegangan antara Pemerintah Indonesia dengan masyarakat yang didukung oleh pemberontak. Melihat sejarah ini, hendaknya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah, apalagi melihat kasus yang terjadi baru-baru ini sehingga perlu adanya pengawasan lebih lanjut terhadap instansi ataupun oknum yang bermain, tidak hanya di Papua yang perlu diterapkan namun seluruh instansi yang ada di semua wilayah.
Pada akhirnya, perlu adanya sebuah inisiatif dari berbagai lini instansi pemerintah untuk mencegah adanya aliran dana untuk tindak pidana kekerasaan terhadap kemanusiaan dan tindak pidana terorisme, sehingga masyarakat sipil bisa merasa aman dari kejahatan separatis dan terorisme di Papua. Tentunya, hal ini merupakan upaya melindungi masyarakat serta menjalankan Undang-Undang yang meletakan keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, kita berharap penangan teroris Papua bukan hanya terfokus pada kelompok OPM namun juga jaringan teroris lainnya.