Dunia IslamKolom

Berhaji Tanpa Hutang

3 Mins read

Berhaji ke Mekkah adalah impian semua umat Islam. Oleh karena itu, tak ayal banyak umat Islam yang memaksakan kehendak dirinya untuk berangkat haji meski harus berhutang, baik dari lembaga resmi penyelenggara haji maupun jasa pinjaman lainnya. Padahal, jika melihat persyaratan syariat agama haji hanya diwajibkan bagi yang mampu, maka sudah semestinya perkara mulia itu tidak dilakukan dengan cara menjerumuskan diri pada lilitan pinjaman.

Dari tahun ke tahun, antrian haji kian memanjang. Pada tahun 2021 kini, tercatat waktu tunggu dari pendaftaran sampai keberangkatan haji mencapai estimasi 20 tahun atau bahkan lebih. Problem ini menjadi salah satu alasan signifikan mengapa umat Muslim berlomba-lomba melakukan pinjaman, demi bisa berangkat haji. Meski dramatais, tapi tetap patut diapresiasi dengan perjuangan orang-orang berprofesi sederhana, misal penjual rujak, pemulung, tukang becak, penjahit, dan sebagainya mampu beribadah haji dengan cara menabung terlebih dahulu selama bertahun-tahun. Mereka pula sebenarnya yang memahami dengan baik arti dari istitha’ah ilaihi sabila, mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.

Sebab haji diyakini perkara mulia, maka hendaknya dilakukan dengan cara yang lebih mulia. Memang dalam Fatwa MUI dijelaskan terkait kebolehan berhaji secara kredit dan itu nyatakan sah-sah saja hajinya. Meski begitu, ada banyak persyaratan yang mesti terpenuhi di balik kebolehan pendaftaran haji dengan hutang. Bahkan, Kementrian Agama tetap masih konsisten melarang skema adanya pendaftaran talangan dana haji. Hal tersebut diakibatkan problem berkepanjangan yang melatarbelakangi faktor ketentuan tersebut. Lebih jelasnya, terkait panjangnya antrian haji dan substansi yang dibebankan pada orang yang ‘istitha’ah’.

Sebagai rukun yang terakhir sekaligus pelengkap dalam Islam, beribadah haji bukanlah akhir dari keberagamaan Muslim. Ada beban moral yang tidak ringan ditanggung setelah kepulangan dari Mekkah. Itu sebabnya, makna ‘istitha’ah’ hakikatnya diberlakukan ketika keberangkatan diberi kesanggupan finansial dan fisik menuju kota suci, sementara ketika kepulangannya dari beribadah haji diamanahi bertambahnya kesalehan spiritual dan beramal sosial. Demikian hal yang tak jarang terlupakan jemaah usai beribadah haji, terlebih ketika masih ada tanggungan untuk melunasi biaya peberangkatan haji.

Mengutip buku Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, Teladan, dan Ibrahim (2018) buah karya Zuhairi Misrawi, pada awamnya kesederhanaan dengan mengehendaki destinasi Mekkah adalah terminal terakhir. Situasi batin, jika sudah ke Mekkah tidak perlu lagi ke negara-negara lain ini menjadi situasi yang tidak bisa ditolerir oleh perkara apapun sebab ibadah haji bagian dari penyempurnaan identitas seorang Muslim. Gejolak batin yang kian meninggi untuk berkunjung ke Mekkah, memunculkan persoalan baru, yaitu maraknya berhaji dengan berhutang.

Sebagai penanggung jawab haji di Tanah Air, pihak Menteri Agama sudah semestinya tegas mengantisipasi terjadinya haji yang diselenggarakan lembaga-lembaga yang mengobral talangan haji, apalagi dengan bunga tinggi yang tidak mendekati riba’. Dalam ameliorasi, kebijakan tabungan haji harus lebih dipertimbangkan secara masif dan aplikasikan serentak. Utamanya dari pihak lembaga perbankan diupayakan hanya menyediakan buku tabungan haji sampai nominal tertentu, tidak dengan bentuk pinjaman atau talangan.

Rekayasa permainan kapitalisme kini sudah menjadi demam adanya haji talangan, hingga tanpa disadari makna haji ‘bagi yang mampu’ seakan tergeser oleh jalan hutang. Ini hal ironis yang terjadi umat Muslim yang senantiasa tidak mentaati rambu-rambu syariat agamanya dengan baik. Melihat generasi muda-mudi atau milenial masa kini yang kreatif, suksesi, dan mandiri dalam finansial ekonomi mensinyalir tabungan haji lebih solutif untuk mengembalikan makna haji pada khittah-nya.

Demikian pemerintah harus optimis dan bergerak cepat dalam penghapusan dana talangan haji lantas berfokus pada perbaikan sistem buku tabungan haji. Sebab jika tidak lonjakan haji setiap tahunnya akan menambah sampai pada antrian yang terus memanjang. Jika dikomparasikan dengan kasus pemberangkatan haji di beberapa negara ASEAN, maka Indonesia sendiri pemberangkatan paling lama 42 tahun, Malaysia mencapai 120 tahun, dan Singapura yang populasi penduduknya tak sebanyak Indonesia saja tetap dalam masa antrian yang relatif lama, yakni 34 tahun.

Selain itu, kasus Covid-19 juga membuat pemberangkatan haji kian terulur. Untuk kedua kalinya sejak tahun 2020 calon jemaah harus menelan pil pahit, karena keputusan Menteri Agama No. 660/2021 terkait pembatalan keberangkatan penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2021. Memang pemberangkatan haji dalam situasi Covid-19 sangat rentan sebab mudah terjadi kerumuan massa yang sulit terkendali dari berbagai wilayah. Walaupun aturan kesehatan pencegahan Covid-19 dan program vaksinasi telah ada, tetapi tidak bisa menjamin virus itu terhenti menular atau terjadinya situasi yang tidak diinginkan.

Kendati niatan berhaji secara hutang sudah menjamur. Namun, logika yang tak baik ini harus diputuskan mata rantainya. Di antara pihak yang terlibat untuk menghentikan pendaftaran haji atau umrah secara hutang adalah pihak Menteri Agama yang mampu bekerja sama dengan semua lembaga yang menalangi haji agar hanya membuka tabungan haji. Tak lupa, problem orang-orang yang kerap bolak-balik ke Tanah Suci karena memiliki uang banyak pun menjadi kendala antrian panjang haji agar diberhentikan dalam jangka tertentu. Apabila terjadi pelanggaran kesepakatan, Kementrian Agama mesti memberi sanksi pada pihak tersebut. Tentu dengan peraturan yang telah disosialisasikan secara luas agar semua pihak, baik calon yang mendaftar dan pihak penyelenggara haji dapat kooperatif.

Mengatasi tantangan haji dan umrah dengan berhutang ini tidak mudah. Melawan pihak lembaga raksasa yang sulit ditaklukan dibutuhkan ketegasan dan langkah yang tidak kecil. Ada perubahan nilai dan perbaikan sistem oleh setiap penyelenggara. Kesadaran secara personal bagi yang hendak mendaftar haji lebih diutamakan. Tanpa semua itu, persoalan haji talangan tidak hanya berujung pada antrian yang kian memanjang, melainkan menjadi destruktif kemuliaan nilai agama.

Related posts
KolomNasihat

Cara Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan…
Kolom

Covid-19, Kegentingan yang Semakin Nyata

Kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi sejak pandemi karena pertama kalinya menembus angka 20.574 kasus perhari pada Kamis (24/6/2024)….
Dunia IslamKolomNasihat

Demokrasi Pancasila itu Islami

Demokrasi memang telah mengantarkan Dunia Barat mencapai kemajuan menuju kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, bagaimanapun demokrasi sebagai sebuah sistem pembangunan negara belum mencapai…