Ada yang salah dengan cara pandang sebagian masyarakat kita tentang Ramadhan. Tiap kali bulan mulia ini datang, ramai terdengar suara instruksi agar orang yang berpuasa dihormati. Kemudian dilakukanlah penutupan warung-warung makan yang buka di siang hari, dianggapnya sebagai bahasa penghormatan terhadap Ramadhan dan pelaku puasa, seperti yang dilakukan Pemkot Serang belum lama ini.
Jujur saja, bagi saya praktik ini sangat menjengkelkan, egois, dan tidak logis. Ada semacam cacat pikir di sini. Menuntut penghormatan saja sudah keliru, apalagi sampai merazia tempat makan atas nama penghormatan tersebut. Apalagi yang kerap dirazia adalah pedagang kecil yang mungkin tak ada pemasukan selain berjualan makanan. Puasa adalah momen menjinakkan hawa nafsu, bukan ajang memperturutkan syahwat laten gila hormat.
Bertolak pada makna dan tujuan puasa itu sendiri, aksi sweeping semacam ini tak menemukan pembenarannya sama sekali. Sebab dalam puasa, selain instruksi untuk menahan lapar dan dahaga, titik tekannya ialah pengendalian nafsu dan penghindaran diri dari hal-hal yang bisa merusak ganjaran ibadah kita, seperti marah, bersikap pongah, menggunjing orang, serta nafsu batiniyah lain termasuk rasa ingin dihormati. Puasa juga semestinya menjadi momen mengasah empati kepada kaum papa, karena kita dilatih merasakan penderitaan mereka.
Pihak yang getol menyapu bersih rumah makan di siang hari Ramadhan, menganggap bukanya tempat makan tersebut sebagai hal yang tak lazim sebab banyak orang yang sedang puasa. Maka dari itu, menurut mereka menutup kedainya di siang hari menjadi suatu kewajiban agar tak mengganggu ibadah puasa orang lain.
Bukankah lucu, kita yang berpuasa tapi menuntut pihak lain untuk menyesuaikan diri. Dan jika batal puasanya, kemudian menyalahkan warung makan yang buka. Padahal sukses tidaknya puasa seseorang bergantung sepenuhnya pada menejemen diri orang tersebut. Jika warung makan dianggap sebagai godaan, maka logikanya, apakah saat kita berbuat dosa kemudian itu menjadi kesalahan setan karena menggoda manusia? Apakah kita akan ramai-ramai memboikot setan? Tentu saja tidak. Membujuk rayu memang pekerjaan mereka. Urusan kita adalah kontrol diri.
Dalam relasi sosial, menghormati adalah pekerjaan dua belah pihak atau lebih. Saling, antara satu dengan yang lain. Kita harus ingat, Ramadhan tidak hanya dihuni oleh orang puasa saja. Banyak pula dari masyarakat yang tidak berpuasa, seperti perempuan yang sedang datang bulan, orang sakit, musafir, non-Muslim, serta kalangan lain yang tak berkewajiban puasa. Orang-orang yang tidak berpuasa juga perlu dihargai. Jangan egois hanya ingin dihargai tanpa mau menyumbang hormat pada pihak lain.
Sedih sekali melihat warung-warung kecil yang kembang kempis bertahan di tengah pandemi, tapi kemudian dagangannnya disita aparat oleh sebab aturan yang egois. Anehnya, restoran-restoran besar jarang terdengar menjadi sasaran sidak. Yang tak kalah ganjil, aparat juga merazia masyarakat yang kedapatan makan di siang hari. Sungguh, mereka bertransformasi menjadi hakim amal ibadah orang lain. Lupa bahwa puasa adalah urusan domestik masing-masing orang dengan Tuhannya. Tak semestinya pemerintah mengintervensi area ini.
Meminta pihak lain untuk menghormati aktivitas kita, bisa dilakukan apabila pihak lain tersebut memang benar mengganggu dan menyalahi norma sosial. Lalu apakah beroperasinya rumah makan di siang hari Ramadhan meresahkan masyarakat? Orang yang merasa terganggu adalah mereka yang tak menghayati esensi puasa, yakni menahan nafsu. Orang yang sadar akan maksud ibadahnya, ia akan mengoreksi ke dalam apabila ada perasaan lemah akan godaan. Bukan malah mencari kambing hitam dari luar untuk dipersalahkan.
Dengan membiarkan warung makan yang memilih buka di siang hari Ramadhan, sama halnya telah menghargai orang yang tidak berpuasa, sekaligus pelaku ekonomi yang sedang berusaha mencari penghidupan. Mereka semua berhak dihormati. Bagi yang berpuasa, cukup jalankan puasa sebagaimana tuntunan syariat tanpa menghardik pilihan orang lain. Ketika memfokuskan diri pada ibadah yang kita lakukan, perkara warung makan buka atau ada orang makan di hadapan kita, tidaklah akan mengusik sama sekali. Dalam konteks bulan Ramadhan, ini adalah cara meramu sikap agar semua pihak mendapat porsi penghargaan yang utuh dan sama.
Menjalankan ibadah personal jangan sampai melalaikan etika sosial untuk tetap menghargai orang yang tak berpuasa ataupun pihak yang memilih menjajakan makanan di siang hari Ramadhan. Tindakan aparat ini, selain diskriminatif juga berlebihan. Ke depan, aturan semacam ini harus ditinjau ulang dengan kembali memahami makna puasa serta mengkaji kaitannya dengan domain sosial kemasyarakatan, agar tak ada pihak manapun yang dirugikan.
Saling menghormati adalah pilihan terbaik. Jangan merasa paling spesial dan menuntut penghormatan sepihak. Guna puasa justru untuk melatih diri menghormati orang lain. Hanya orang tak terhormat yang mengemis penghormatan.
Puasa adalah ibadah mulia yang begitu dicintai Allah, karena sifatnya sangat sunyi dan rahasia antara Dia dengan hamba-Nya. Ganjarannya pun Allah langsung yang mengkalkulasi. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Demikian tersebut dalam suatu hadis qudsi. Kita berpuasa tidak untuk mencari pengakuan manusia bahwa diri kita sedang beribadah. Oleh karena itu, sama sekali tidak masuk akal bila saat Ramadhan ada pihak yang menuntut penghormatan. Mari gali lagi makna puasa, kemudian jalani dengan setulusnya. Wallahu a’lam. []