Pelibatan masyarakat dalam kontra-terorisme, seperti pengalaman di beberapa negara harus dilakukan di Indonesia. deradikalisasi untuk paham dan aksi kekerasan dan ekstremisme, sebagaimana membutuhkan intervensi dalam setiap tahap. Operasi kontra radikalisme membutuhkan keterlibatan dan kepercayan dengan selalu menjalani Kerjasama, salah satunya keterlibatan peran perempuan.
Selama ini kerap tidak kita sadari bahwa perempuan memiliki andil besar dalam menyebarkan radikalisme. Perempuan memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Hal ini terlihat dari beberapa fakta. Pertama, sejak tahun 2000 hingga 2018, tercatat ada 210 pelaku bom bunuh diri di Indonesia, dan 56 diantaranya merupakan perempuan.
Kedua, di tahun 2018, Survei The Wahid Institute, juga menyebutkan bahwa perempuan muda lebih mudah direkrut kelompok radikal-terorisme. Tak hanya itu, survei The Wahid Institute juga mengungkap bahwa perempuan memiliki karakter unik. Yang mana, ketika ia terlibat jaringan radikal-terorisme, maka dari itu ia akan cenderung lebih militan ketimbang laki-laki.
Melihat tingginya faktor kerentanan perempuan terpapar aksi radikakisme, dilatari oleh faktor relasi sosial-personal. Dalam konteks radikalisme, perempuan biasanya terpapar dari orang terdekat, yaitu suami. Namun, di saat yang sama, perempuan juga sebenarnya sangat berpotensi menjadi agen anti radikalisme dan terorisme. Perannya di ranah domestik (privat) dan perannya di ranah publik, menjadi modal penting untuk mencegah dan menolak terorisme.
Selain itu, perempuan pun memiliki sikap yang luwes, telaten, dan pantang menyerah yang telah melekat, dan itu merupakan modal sosial perempuan untuk terlibat aktif dalam melawan penyebaran paham radikal dan terorisme. Di lingkup domestik, dalam perannya sebagai ibu, Ia bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam berpikir dan bertindak secara moderat.
Perempuan adalah senjata ampuh untuk menjadi agen kontra terorisme dengan menciptakan strategi berbasis komunitas misalnya. Adapun setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan agar perempuan menjadi juru damai yang menolak aksi terorisme, pertama reduksi ketidaksetaraan gender dan beri perempuan lebih besar partisipasi dalam bidang sosial. Reduksi dukungan terhadap radikalisasi merupakan usaha melawan ancaman terorisme dan induknya, yaitu ideologi ektremisme.
Kedua, penguatan kesejahteraan multi sectoral guna mencegah terjadinya radikalisasi. Kesejahteraan dalam lingkup keluarga banyak dibebankan pada peran perempuan. Pelibatan perempuan dapat dilakukan di segala sektor kehidupan, seperti penguatan ekonomi, pendidikan, keluarga, agama, hukum dan informasi berbasis komunikasi untuk mendeteksi dini.
Ketiga, menjadikan perempuan sebagai lokomotif terdepat dalam pendidikan moderat, terutama dimulai dari keluarga. Meskipun tidak terbatas dari lingkungan keluarga, akan tetapi pendidikan moderat merupakan bagian yang utama.
Hal yang sama juga berlaku dalam konteks peran perempuan melawan penyebaran paham radikal. Di ruang domestik sebagai lingkup terkecil ekosistem sosial atau masyarakat, perempuan bisa menjadi agen anti-radikalisme yang membentengi keluarga dan komunitasnya dari infiltrasi gerakan dan ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa dan negara.
Dengan demikian, adanya keterlibatan perempuan dalam menolak dan mencegah terorisme merupakan bagian terpenting untuk memberantas radikalisme dan terorisme. Maka dari itu, semakin banyak perempuan yang memiliki kesadaran untuk menjadi agen anti terorisme, maka masa depan bangsa ini akan jauh lebih baik.