Mencuatnya polemik keharaman vaksin AstraZeneca mengandung unsur babi mendapat penolakan terselenggaranya vaksinasi dibeberapa tempat. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Hasan Mutawakkil Alallah pada Senin (22/02/2025) menyebut vaksin AstraZeneca halal dan maslahat. Sebenarnya ini pernyataan ambigu untuk meredam massa. Sebab bagaimanapun, unsur babi tidak bisa disebut halal. Ia tetap bersifat tidak halal, tetapi boleh digunakan dengan alasan kebutuhan maslahat tengah dikedepankan sebagai ikhtiar wajib memerangi wabah virus Covid-19 sesuai panduan maqashid al-syari’ah.
Mestinya, masyarakat Muslim Indonesia lebih belajar terbuka. Berupaya mandiri secara intelektual dengan lebih peka terhadap situasi. Wabah Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun lebih dan menyebabkan banyak korban sakit, meninggal, serta telah merugikan banyak sektor dengan alasan menekan penularan virus, bukan hal yang bisa dianggap wajar atau remeh. Oleh karena itu, adanya polemik pernyataan halal haram untuk menerima vaksinasi, tidak bisa diberlakukan, meski unsur ketidakhalalan itu jelas ada. Terlebih, perhatian tenaga negara Muslim dalam memproduksi vaksin sangat minim, sehingga sulit mengandalkan vaksin itu halal.
Sebagaimana dampak wabah seperti yang tersebut di atas, maka situasi tersebut masuk dalam kategori darurat. Pada situasi darurat, Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu, bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Al-Baqarah: 173). Demikian ayat tersebut dapat menjadi argumentasi masif, situasi darurat atau terpaksa dapat mengugurkan keharaman.
Situasi darurat di atas, senada dengan hadirnya vaksin AstraZeneca di masa wabah. Konon, vaksin ini mengandung unsur tripsin babi untuk menanam-panen virus sebagai salah satu kondimen penting dalam vaksin, yang mana apapun status babi dalam nash identitasnya tetap diharamkan untuk menjadi bagian konsumi. Namun, penting dicatat bahwa keharaman vaksin AstraZeneca dapat menjadi gugur atau boleh digunakan (mubah) karena ikhtiar kemaslahatan pemeliharaan jiwa tengah dikedepankan, seperti dalam cabang kaidah al-darar yuzal (kemudharatan mesti dihilangkan), ulama ushul fiqh menyebutkan kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.
Upaya penggunaan vaksin ini perlu diusahakan, karena melihat pengalaman suram wabah-wabah yang terjadi sebelumnya di masa kuno telah membahayakan nyawa yang ribuan jumlahnya. Namun, berkat kemajuan ilmu pengetahuan yang menghadirkan vaksin untuk melawan wabah, angka kematian menjadi turun drastis dalam menekan banyak korban jiwa.
Itu sebabnya, kalangan ulama ushul fiqh merumuskan maqashid al-syaria’ah, yang di dalamnya terdapat kaidah darurat diperuntukkan dengan tujuan memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Adapun yang maksud lima unsur pokok ini, seperti yang dirumuskan al-Ghazali untuk mewujudkan kemaslahatan manusia sesuai tujuan syara’, yaitu hifdzud din (memelihara agama), hifdzun nafs (memelihara jiwa), hifdzul ‘aql (memelihara akal), hifdzun nasb (memelihara keturunan), dan hifdzul mal (memelihara harta).
Terkait pemeliharaan kehidupan manusia, hifdzun nafs merupakan salah satu perumusan maslahat yang kini tengah diperjuangkan masyarakat global dalam memerangi wabah, tak terkecuali masyarakat Muslim. Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, merasa perlu ada tindakan cepat vaksinasi secara masal agar sesegera mungkin kita semua bisa terhindar dari wabah melalui terbentuknya herd immunity (kekebalan komunal).
Adanya herd immunity bukan untuk menghilangkan virus, tetapi kekebalan tubuh yang terbentuk secara komunal dapat mengurangi virus jahat berkembang biak sekaligus melemahkan fungsinya. Potensi kemaslahatan vaksinasi ini menjadi satu-satunya harapan yang dipunya sebagai senjata mapan melawan virus, selain pencegahan melalui ketaatan pada protokol kesehatan.
Segala sesuatu kita harus melihat kemaslahatan sebagai pertimbangan yang harus mendapat perhatian lebih besar. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Jumat (19/03/2025) menginformasikan, memberikan vaksin AstraZeneca manfaatnya lebih besar daripada resiko yang ditimbulkan, karena itu vaksin AstraZeneca bisa mulai digunakan. Selain itu, usai vaksinasi badan POM RI bersama Kementerian Kesehatan dan KOMNAS PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti isu setiap kejadian ikutan pasca imunisasi.
Maka dari itu, keamanan dan manfaat adanya vaksin tak perlu diragukan, sampai pemerintah mengumumkan secara resmi adanya larangan konsumsi vaksin karena hal tertentu. Saat ini, sikap kooperatif masyarakat dalam mengentaskan wabah sangat dibutuhkan sebagai pengantar kemaslahatan. Sebab kemaslahatan di sini bukan hanya berupa nyawa, tetapi segala sistem dan aktivitas pendidikan, bisnis, dan sebagainya akan mendapat pengaruh positifnya.
Walhasil, polemik halal haram vaksin mestinya tidak diributkan. Beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi, Mesir, dan lainnya memahami keharaman obat menjadi gugur saat dibutuhkan dalam kondisi pelik. Namun, pengeluaran fatwa menghalalkan yang jelas keharamannya itu juga tidak bisa dibenarkan, karena sikap tersebut bagian dari pembodohan publik. Masyarakat Muslim Indonesia harus memahami secara cermat, istilah halal dan membolehkan itu hukum yang berbeda. Pelabelan hukum halal haram tidak bisa ditegaskan pada polemik vaksin di tengah wabah, selain kata boleh digunakan itu sendiri merupakan ikhtiar penting agar kita semua bisa tetap kooperatif berpartisipasi ikut dalam vaksinasi.