Kolom

Fatwa MUI Hambat Vaksinasi

2 Mins read

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai vaksin AstraZeneca. Hasilnya, vaksin tersebut dinyatakan mengandung tripisin babi. Namun MUI menyatakan tetap boleh digunakan, mengingat kondisi yang sedang darurat. Fatwa tersebut menimbulkan kehebohan publik dan berpotensi menghambat proses vaksinasi.

Saat ini saja, dari target 1 juta vaksinasi perhari belum tercapai. Upaya pemerintah menargetkan 40 juta vaksin dalam rentan waktu Januari sampai Juni 2021 masih jauh dari target awal. Mengacu pada laporan Kemenkes RI, hingga 13 Maret 2021, ada sebanyak 3.985.596 orang yang sudah menerima vaksin Covid-19 dosis 1, dengan cakupan SDM kesehatan, petugas publik, dan lansia. Lalu dosis 2 telah diterima oleh 1.454.836 orang, atau setara dengan 3,61 persen dari total target. Jika dijumlahkan antara dosis 1 dan 2, maka ada sekitar 5.440.432 dosis vaksin Covid-19 yang sudah disuntikan.

Selain itu, disamping target yaang belum tercapai, isu-isu kadaluwarsa vaksin Covid-19 juga terus membayangi. Oleh karenanya, kendala-kendala yang terjadi di lapangan mesti segera ditangani, mengingat kita semua sangat membutuhkan vaksinasi tersebut.

Alih-alih ikut berkontribusi mensukseskan program vaksinasi agar terlaksana dengan tepat dan cepat, MUI justru membuah keresahan publik dengan fatwanya. Padahal, pihak AstraZeneca sendiri telah membantah pernyataan MUI tentang kandungan tripisin babi dalam vaksin AstraZeneca. Dalam pernyataanya, pihak AstraZeneca menegaskan, bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya. Dan hal itu telah dikonfirmasi oleh Badan Otoritas Obat dan Kesehatan Inggris.

Pihak AstraZerenca meyakinkan, bahwa vaksin AstraZeneca telah disetujui di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara Muslim. Diantaranya seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, Aljazair, Maroko, Bahrain, Oman, Mesir, dan banyak Dewan Islam telah menyatakaan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakaan oleh umat Muslim. Pernyataan MUI yang menuai pro kontra mesti segera diluruskan, agar tidak menambah menghambat jalannya proses vaksinasi.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri telah kembali menegaskan, perihal kemanan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Penny Kusumaastuti Lukito selaku kepala BPOM menyebutkan, pemeriksaan keamanan vaksin AstraZeneca sudah selesai. Kini vaksin tersebut sudah bisa digunakan.

MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat seharusnya memahami dan berhati-hati dalam menyampaikan fatwa. Kita semua tau, di negara yang mayoritas Muslim ini, isu-isu yang menyangkut keagamaan amat sensitif disuarakan. Selagi masyarakat masih ada yang menaruh kepercayaan, MUI sebaiknya segera berbenah, tidak asal membuat fatwa, jangan memberi fatwa tanpa dasar yang kuat, tanpa keahlian yang mumpuni, dan jangan menyampaikan fatwa berdasarkan kepentingan kelompok tertentu, tetapi kepentingan masyarakat umum harus diutamakan.

Saat ini, vaksinasi adalah ikhtiar pemerintah yang urgensinya tak bisa ditawar, maka seyogianya MUI bersikap dewasa dengan tidak mempersulit pelaksanaanya. Apakah pekerjaan MUI hanya sebatas memberi fatwa halal-haram belaka? Tidak adakah tugas lain yang lebih berguna dilakoni saat pandemi Covid-19 ini?

Untuk itu, saya rasa harus ada yang berani menegur, mengingatkan, dan mengawasi gerakan MUI ini, agar tidak semena-mena mengeluarkan fatwa. Tidak cukup kritik dan masukan hanya dari suara-suara dari bawah, dari rakyat jelata di pelosok desa, atau rakyat kecil di pinggir-pinggir jalan atau kolong jembatan, tetapi suara yang memiliki power lebih untuk bisa meluruskan beberapa fatwa ngawur MUI. Dalam hal ini pemerintah pusat atau setidaknya Kementerian Agama (Kemenag), saya rasa pantas terjun mengingatkan MUI.

Kemenag yang juga menjadi salah satu pilar penting bangsa yang bergerak dalam bidang agama, sedikit banyak pastilah mengetahui tentang hukum-hukum Islam, tentang halal-haram suatu produk semaca vaksin. Mungkin bukan ranahnya Kemenag mengeluarkan fatwa halal-haram vaksin, tetapi tidak ada salahnya menyampaikan kritik dan sarannya pada MUI. Jika seandainya suara-suara dari bawah tak lagi didengar. Atau bahkan akan lebih baik label halal-haram Kemenag saja yang mengeluarkan? Mungkin akan menarik, ketimbang MUI yang sering membuat kontroversi.

MUI hendaknya mau dengan lapang dada menerima kritikan dan masukan yang datang, demi ketentraman dan kedamaian masyarakat. MUI adalah lembaga swadaya masyarakat, maka seharusnya dalam mengambil keputusan melibatkan pihak-pihak yang memang memiliki kepakaran di bidangnya. Dengan demikian, keputusan-keputusan MUI menjadi bijak dan tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Related posts
KolomNasihat

Cara Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan…
Kolom

Covid-19, Kegentingan yang Semakin Nyata

Kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi sejak pandemi karena pertama kalinya menembus angka 20.574 kasus perhari pada Kamis (24/6/2024)….
Dunia IslamKolomNasihat

Demokrasi Pancasila itu Islami

Demokrasi memang telah mengantarkan Dunia Barat mencapai kemajuan menuju kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, bagaimanapun demokrasi sebagai sebuah sistem pembangunan negara belum mencapai…