Lagi-lagi perihal import mendapatkan perhatian khusus dikalangan masyarakat, tidak terkecuali Anwar Abbas. Jika kritik biasanya digunakan untuk membangun, namun sedikit berbeda dengan kritikan yang Anwar Abbas lontarkan sehingga menimbulkan multitafsir, sehingga bisa membuat warga tidak mempercayai kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) lagi.
Diketahui Anwar Abbas saat ini menjabat sebagai salah satu tokoh penting di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend) untuk tahun 2015-2020. Sebagai Sekjend MUI, Anwar Abbas sangat mengerti cara menggunakan jabatan tersebut untuk kepentingan dirinya, terlebih kepentingan politiknya mengingat Anwar Abbas yang memiliki Gelar Doktor tersebut.
Sayangnya, Anwar Abbas sangat overthinking (berlebihan) menggunakan jabatan MUI, untuk sekedar mengkritisi hal-hal yang sepele dan bukan tentang keagamaan serta umat yang mana memang menjadi urusan MUI. Selain overthinking, Anwar Abbas sudah biasa mengkritisi pemerintah walaupun dibidangnya, terlebih semua yang menjadi tuntutannya bukan berlandaskan kepentingan umat.
MUI yang merupakan produk politik Mantan Presiden Suharto, tampaknya sangat sulit untuk kembali pada rel organisasinya yaitu mengendapkan kepentingan umat. Tidak bisa dipungkiri, diera saat ini peninggalan sejarah politik Suharto masih saja digunakan oleh kalangan masyarakat dan para elit. Tentunya, indikasi politik setiap oknum didalamnya tidak bisa terelakan lagi sehingga terlihat seperti dibiarkan.
Jika Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki sejarah kembali kepada khittah 1926 (kembali ke garis perjuangan awal), seyogyanya MUI juga harus kembali kepada khittahnya dimana, MUI diharapkan menjadi jembatan para ulama, masyarakat, dan perjuangan islam dalam berbagai aspek. Namun, sayangnya untuk kembali kepada khittah MUI membutuhkan perjalanan yang panjang serta harus membersihkan orang-orang seperti Anwar Abbas di tubuh MUI sendiri.
Populernya kata khittah di Indonesia khususnya digunakan oleh ormas Islam, diawali oleh keputusan NU menjadi partai dan terlibat dalam politik Indonesia, sehingga seruan kembali ke khittah banyak didengungkan pertama kali oleh kalangan ulama NU di tahun 1952. Sedangkan secara pembukuan, khittah tercatat diprakarsai oleh KH Achmad Siddiq dan dibantu oleh beberapa aktivis NU seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Bersama para aktivis NU lainnya seperti H Mahbub Djunaidi, Fahmi D. Saifuddin, dan lain-lain, Gus Dur dan Gus Mus juga merumuskan naskah hubungan Islam dengan Pancasila pada momen Munas NU 1983 di Situbondo itu yang bersumber dari pemikiran dan pandangan KH Achmad Siddiq dan para kiai NU yang sepuh lainnya.
Menurut saya, secara harfiah MUI tidak mungkin kembali kepada khittahnya, seperti yang diharapkan ulama pendahulu, pengurus serta masyarakat. Ada beberapa pertimbangan yang tidak akan membuat MUI kembali kepada khittahnya diantara faktor tersebut: terdapat kepentingan politik, faktor materil, faktor gengsi, dan lainnya. Sehingga mengubah MUI kepada relnya sangat sulit terlebih MUI dalam beberapa dekade selalu terlibat politik praktis, yang dimainkan oleh beberapa oknum anggota MUI.
Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) MUI hasil Munas 2015, menyebutkan bahwa MUI memiliki sifat keagamaan, kemasyarakatan, dan independensi seperti yang dijelaskan pada Pasal 3 dalam bab sifat dan fungsi. Selain itu, dalam pasal 4 menyebutkan fungsi MUI didirikan, yang berbunyi: Majelis Ulama Indonesia berfungsi :a. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami. b. Sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah Islamiyah.c. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama. d. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
Sejauh ini, kritik Anwar Abbas setidaknya sudah menyalahi aturan AD/ART MUI itu sendiri. Dimana bukan bertujuan untuk umat maupun kepentingan agama Islam, namun lebih kepada politik tanpa mendasar untuk dirinya sendiri. Terlebih, Anwar Abbas tidak menunjukan seorang yang bekerja untuk MUI, melainkan untuk partai politik.
Sebenarnya, Anwar Abbas tidak cocok menjadi sekjend MUI, yang terlalu sektarian. sebaiknya ia pindah ke partai politik, atau MUI dijadikan saja partai politik seperti contoh yang sudah ada. Hal ini disebabkan oleh, ia terlalu mencampuri urusan negara, sedangkan fatwa dan kajian MUI tidak pernah menjadi perhatian, ataupun mengkritisi kajian MUI yang tidak begitu diterima ditengah-tengah masyarakat.
Singkatnya, Anwar Abbas digadang-gadang sebagai penerus Tengku Zulkarnain yang sama-sama overdosis dalam mengkritisi pemerintah, entah apa maksudnya namun jika menggunakan pandangan politik, yang bersumber dari buku dasar-dasar ilmu politik yang ditulis oleh Miriam Budiardjo, sangat tampak bahwa Anwar Abbas haus akan kehormatan serta sanjungan dari masyarakat.