Berita

Penetapan Tersangka FPI, Merupakan Konstruksi Hukum

2 Mins read

Penetapan tersangka kepada enam Laskar Khusus Front Pembela Islam (FPI), menjadi boomerang bagi pihak Kepolisian. Banyak pihak menilai, bahwa Kepolisian terlalu gegabah dan terlalu berakrobat dalam penetapan tersebut, akan tetapi apakah Polisi salah dalam tindakannya?

Jauh sebelum penetapan tersangka, dan kasus terbunuhnya enam laskar FPI. FPI memang menjadi perhatian baik masyarakat maupun pemerhati hukum dan politik. Jika dianalogikan kasus enam laskar ini, menjadi magnet yang besar untuk menarik kritikus dari pihak non-Pemerintah agar bisa memainkan isu dan memojokkan sedemikian rupa.

Penetapan tersangka, yang diumumkan oleh Kepolisian melalui Direktur Tindak Pidana Umum Polri Brigadir Jenderal Polisi Andi Rian yang menyebut, keenam anggota FPI tersebut menjadi tersangka karena diduga menyerang polisi di Jalan Tol Jakarta – Cikampek KM 50.

“Sudah ditetapkan tersangka, Pasal 170 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),” kata Brigjen Pol, Andi Rian. Tentunya, penetapan tersangka terhadap enam orang-orang FPI yang sudah tiada, menjadi bahan ejekan dan juga bahan candaan. Pasalnya, penetapan tersebut tidak menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi serta terlalu terburu-buru dan gegabah.

Pasalnya, penetapan tersangka yang sudah tiada (meninggal) adalah perkara sia-sia dan kasusnya otomatis diberhentikan. Namun, para pengkritik seperti pengamat hukum sedikit bias apabila menilai salah atas penetapan tersebut. Apalagi, setelah penetapan pihak kepolisian mencabut semua berkas penuntutan atau SP3. Sebenarnya, penetapan tersangka terhadap orang meninggal bukan hanya baru terjadi saat ini, seperti penilaian pemerhati hukum sebab banyak pemerhati hukum hanya berkutat dalam ruang lingkup elit dan sedikit sekali kasus-kasus serupa luput dari perhatian. Entah apa, namun kasus yang melibatkan berbagai isu termasuk politik dapat mengangkat nama seseorang tidak terkecuali pemerhati hukum.

Sebagai contoh kasus serupa, dimana seorang yang telah meninggal menjadi tersangka adalah pelaku laka lantas (kecelakaan lalu lintas) dimana setiap orang yang dicurigai bisa saja menjadi tersangka. Namun, begitulah di Indonesia hukum tetap saja hanya lembaran dimana pemerhati hukum hanya sibuk dengan perihal (kasus) yang lebih besar, agar bisa menaikan nama mereka.

Menurut Prof Mahfud MD, penetapan ini hanya sebagai bagian dari konstruksi hukum, agar apa yang menjadi simpang-siur di masyarakat dapat dipahami dan diperbaiki melalui hukum pula. Tentunya, hal ini menjadi bagian hukum Indonesia dan dijamin oleh Undang-Undang.

“Ada tertawaan publik semula, masyarakat banyak yang mengejek, nyinyir begitu, kenapa kok orang mati dijadikan tersangka, 6 laskar itu kan dijadikan tersangka oleh polisi,” kata Prof Mahfud MD, dalam konferensi pers yang publikasikan oleh YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (9/3/2025).

“Itu hanya konstruksi hukum, dijadikan tersangka sehari kemudian sesudah itu dinyatakan gugur perkaranya,” lanjut mantan Ketua MK ini. Untuk itulah, keenam orang laskar FPI yang tewas ditetapkan sebagai tersangka penyerangan terhadap Polri di Kilometer 50 Jakarta-Cikampek.

“Oleh karena sekarang enam orang terbunuh ini yang kemudian menjadi tersangka dicari pembunuhnya, maka dikonstruksi dulu dia tersangka karena dia memancing aparat untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa senjata,” ujar Mahfud.

Setelah ini, kata Mahfud, Polisi akan menyelidiki pelaku yang menewaskan 6 orang laskar FPI dan menyelesaikan di pengadilan. “Nah, baru ketemu tiga orang polisi yang ditemukan oleh Komnas HAM itu tiga orang,” kata dia.

Namun, tetap saja Polri akhirnya telah menggugurkan perkara penyerangan terhadap anggota Polri dengan tersangka 6 laskar FPI yang tewas tersebut. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang disebutkan bahwa tersangka yang sudah meninggal, maka perkaranya gugur atau SP3. “Lalu siapa yang membunuh enam orang ini kita buka di pengadilan,” kata Mahfud.

Mengambil jalan tengah adalah pilihan terbaik bagi pemerhati hukum, terlebih pemerhati hukum yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Apalagi mempertaruhkan, intelektualitas agar tidak mengotori konstruksi hukum yang telah ada, dan juga tidak membawa perbedaan persepsi hukum dimata masyarakat. Terlebih konstruksi hukum tidak mengenal kata ditunda atau lainnya jika masih dalam proses perkara oleh Kepolisian Republik Indonesia, walaupun tersangka sudah tiada agar kepastian hukum memang ada dan tidak menjadi bahan pelajaran serta retrorika saja.

Singkatnya, tentunya dalam menilai penetapan tersangka terhadap enam anggota FPI yang bentrok dengan pihak Kepolisian haruslah menggunakan ‘asas praduga tak bersalah’ terlebih dahulu agar tidak menghakimi pihak Kepolisian. Terlebih, mentersangkakan adalah titah dari undang-undang dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar bisa perkara ini bisa naik ke pengadilan dan disidangkan. Apalagi, pelabelan tersangka sudah dicabut oleh Kepolisian, hal tersebut merupakan konstruksi hukum kita.

Related posts
Berita

Amal Baik Tidak Menggugurkan Kewajiban Shalat

Shalat lima waktu adalah ibadah wajib bagi setiap Muslim. Printah ini mutlak sebagai bukti pengabdian hamba kepada Tuhannya, tak bisa digugurkan dengan…
BeritaKolomNasihat

Mencermati Warisan Kolonial di Masa Kini

Kolonialisme bukan sekadar menjadi persoalan masa lalu. Kemerdekaan secara de facto dan de jure yang telah disandang bangsa ini nyatanya bukan jaminan…
BeritaKolom

Terpidana Korupsi Tak Layak Dikasihani

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima banding yang diajukan terdakwa kasus korupsi Pinangki Sirna Malasari. Majelis hakim memutuskan memangkas hukuman Pinangki, dari 10…