Nyatanya bencana alam tidak hanya meninggalkan kerusakan secara materil dan fisik, tetapi kesehatan mental korban juga kerap terancam. Oleh karena itu, agama mengajarkan umatnya untuk belajar ikhlas ketika ditimpa musibah, rupanya bukan sekadar bagian dari penerimaan sebagai hamba yang taat. Namun, atas dukungan secara ilmiah, faktanya rasa ikhlas dapat menjadi terapi bagi para korban bencana yang terindikasi stres dan trauma, hingga kesehatan mental mereka tetap terjaga dan stabil.
Sajian media sosial di awal 2021 kini penuh diliputi visual ragam bencana. Mulai dari tanah longsor, angin puting beliung, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, dan terakhir yang hampir tak pernah terlewat setia tahun yaitu banjir. Saya yang menyaksikan saudara sebangsa terpapar bencana turut merasa sangat trenyuh. Apalagi dengan orang-orang terdampak, perasaan mungkin berkecamuk tak karuan. Tak ada sikap yang lebih baik dari rasa ikhlas itu sendiri.
Ikhlas itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan. Kendati demikian, sikap ikhlas itu penting untuk meringankan beban pikiran, hingga dapat mencegah terjadinya depresi, trauma, dan rasa emosional yang berlebihan. Menurut Musfir bin Said az-Zahrani dalam bukunya konseling terapi (2005), di mana indikasi kesehatan jiwa dalam Islam terlihat dalam beberapa hal yang salah satunya dilihat dari aspek spiritualitasnya, yakni tampaknya iman kepada Tuhan, konsisten mengamalkan ibadah, dan menerima ketetapan yang digariskan sang Pencipta.
Sebab pada dasarnya manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Unsur jasmani manusia dicukupi dengan adanya materil, seperti sandang, pangan, dan papan. Sementara rohani manusia membutuhkan asupan spiritual. Itu sebabnya, ikhlas berperan penting sebagai aspek spiritual untuk penguatan mental dan semangat hidup. Mereka yang ikhlas dalam beramal dan menerima musibah akan adanya bencana lebih optimis untuk segera bangkit dari situasi kemalangan.
Bencana alam atau musibah bagian dari kehendak Tuhan dan tak ada yang bisa menghentikan apa yang sudah ditetapkannya. Sebagaimana firman Allah SWT, Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu. (QS. At-Taghabun: 11).
Demikian petunjuk yang diberikan Allah hanya diberikan pada orang-orang yang ikhlas dan tawakal. Seorang yang terkena musibah dominan lebih emosional. Itu sebabnya, mereka yang mudah gelisah, marah, tidak akan dapat menjernihkan hati dan pikirannya. Akalnya terjerembap dengan rasa kedongkolan atas apa yang menimpanya. Alhasil, seorang yang tidak stabil jiwanya biasanya rentan memutuskan sesuatu yang salah, hingga kerap bertindak sembrono yang justru akan memperburuk situasi.
Memang dapat dimaklumi, seorang yang terkena bencana atau musibah tentu perasaan sedih, kesal, marah, kecewa, dan sebagainya pasti ada. Situasi seperti ini sangat wajar, karena sudah menjadi naluriah manusia.
Rasulullah SAW merupakan seorang yang paling sabar dan ikhlas, tetapi bukan berarti ia tak pernah bersedih. Air mata mulianya tak terbendung ketika melihat Sayyidah Khadijah, istri tercintanya pergi meninggalkannya di dunia. Meski begitu, beliau sadar harus bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Sebab apa yang tersimpan di dunia ini pada akhirnya kembali kepada yang Maha Menciptakan.
Secara aplikatif ikhlas dapat melahirkan perilaku yang berdampak positif, di antaranya pengendalian diri. Sikap mengendalikan itu penting untuk mengontrol situasi agar tidak bertambah rumit, hatta senantiasa melakukan muhasabah atau mengoreksi baik buruknya dalam setiap perilaku. Kemudian sikap menerima kenyataan atas cobaan akan menumbuhkan kesabaran dan jiwa keikhlasan, hingga tumbuhnya semangat baru.
Datangnya cobaan yang tidak disertai dengan rasa ikhlas, yang tertelan hanya rasa putus asa. Andai kata di dunia ini telah punah dari rasa sabar dan ikhlas, ketentraman tidak akan pernah ada. Dunia menjadi lebih baik karena masih banyaknya orang-orang yang ikhlas. Mereka yang berhasil setelah melalui banyak kegagalan merupakan buah dari keikhlasan dan ketekunannya, hingga tidak mudah putus asa.
Tidak ada keikhlasan yang sia-sia. Allah SWT memberi kabar gembira bagi mereka yang berhasil melewati ujian dengan kesabaran dan keikhlasan. Thomas Alva Edison, ilmuwan legendaris yang berjasa memberikan penerangan berupa lampu pijar dalam sejarah manusia. Hal unik dari Thomas, ia berkali-kali gagal dalam eksperimennya. Konon, ada yang mengatakan Thomas gagal sebanyak 999 kali, 1000, dan lebih banyak angka kegagalan.
Sampai di puncak keberhasilannya, Thomas mengatakan, saya sekalipun tidak pernah merasa gagal, melainkan saya membuktikan bahwa ada 999 kali cara yang keliru. Ketika saya menemukan cara yang keliru, kini saya menemukan cara yang benar. Selalu ada kata motivasi bagi orang yang berhasil melalui badai terjang dan ini bisa menjadi acuan kita untuk lebih tekun, tidak mudah putus asa dan kembali membangun kehidupan yang lebih baik.
Manusia diuji kehidupannya dengan berbagai cara, yakni dengan sedikit ketakutan, kelaparan, harta, jiwa, dan buah-buahan dan smpaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar (QS. al-Baqarah: 155). Upaya agar umatnya bersabar dalam menghadapi cobaan, lantas Allah SWT berfirman, Allah tak membebani hamba, kecuali menurut kemampuannya (QS. al-Baqarah: 286).
Demikian solidaritas kemanusiaan juga diperlukan untuk lebih menguatkan para korban yang terdampak bencana. Pemerintah dapat bekerja sama dengan para psikolog untuk menekan terjadinya gangguan kesehatan mental. Psikolog akan membantu pasiennya meluapkan emosinya dengan baik dan terkendali sampai kondisinya lebih tenang dan beban yang dipikul pasien dirasa lebih ringan.
Kekuatan yang paling baik ada dalam diri kita sendiri. Keikhlasan merupakan kunci untuk menguatkan hati yang menjadi organ vital manusia. Oleh karena itu, ikhtiar agar mendapat mental yang sehat yakni mengikhlaskan. Sebab keikhlasan itu keseimbangan sumber dari kejernihan hati dan pikiran, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya, dan jika rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah hati (HR. Bukhari dan Muslim).