Kabar duka datang dari Maaher at-Thuwailibi. Ia dikabarkan meninggal dunia di Rutan di usianya ke 29 karena sakit. Pegiat media sosial, tentu tidak asing dengan sosoknya. Pasalnya, ia sangat aktif bermedia sosial. Karena itu, tidak mengherankan jika kepergiannya mengundang kesedihan para netizen dan simpatisannya.
Kita ketahui bersama, Maaher selama hidupnya sangat aktif memberi kritik terhadap pemerintah. Dalam konteks demokrasi, tentu hal yang wajar. Di samping aktif menjadi oposisi pemerintah, sosoknya pun tidak terlepas daripada kontroversi. Bahkan, ia sering kali berurusan dengan pihak berwajib karena kontroversinya. Terakhir, ia terjerat kasus dugaan penghinaan terhadap Habib Luthfi. Namun, terlepas dari kontroversinya sebagai oposisi, sosok Maaher perlu menjadi bahan renungan untuk kita. Kepergiannya membawa kesedihan yang mendalam.
Sejujurnya, saya sendiri merupakan orang yang keras mengkritik tindak-tanduknya, khususnya dalam berdakwah dan berbangsa. Namun, kritikan saya terhadapnya tentu bukan kritik yang di landasi kebencian, melainkan gagasan. Karena itu, sebagai sesama warga negara Indonesia dan beragama Islam, sudah sepatutnya saya mendoakan kebaikan kepada Maaher. Terlepas daripada pro dan kontra-nya, setidaknya saya menemukan tiga cerminan atau hikmah yang dapat diambil dari sosok Maaher.
Pertama, Maaher adalah sosok yang punya komitmen. Komitmen merupakan satu sifat yang sukar sekali kita temukan dalam masyarakat kita saat ini. Di saat orang-orang menanggalkan komitmennya dan memilih apatis terhadap berkembangan berbangsa dan bernegara, ia hadir dengan komitmennya menjadi pengkritik keras pemerintah. Memang, sering kali kritikan dan cuitannya kontradiktif dengan apa yang ia kenakan (pakaian). Namun, tidak menjadi soal tatkala kita mengkritik balik kepadanya dengan gagasan dan bahasa yang akademis. Yang keliru adalah ketika kita meniru gayanya untuk menyerang balik.
Dalam sejarah demokratisasi kita, sosok seperti Maaher sebenarnya bukan hal yang baru. Dan dia bukanlah yang pertama. Pada masa Bung Karno pun, banyak oposisi-oposisi yang keras seperti halnya Maaher. Namun, bukan berarti oposisi yang demikian harus dibenci. Jika ada yang menganggap, sekarang banyak praktik diskriminasi ulama, percayalah ini tidak benar. Demikian hanyalah proses hukum yang menjerat oknum-oknum yang melanggar hukum.
Kedua, Maaher sosok yang tidak mudah menyerah. Sifatnya yang satu ini, yang menarik perhatian saya. Bahkan sering mengundang tawa tersendiri, terimakasih Maaher at-Thuwailibi. Hal ini tidak terlepas dari penyampaian kritik-kritiknya yang vulgar dengan cara anti-mainstream. Ketika serangan-serangan balik menjurus padanya dengan formasi yang sama, ia dengan gigih bertahan secara konsisten. Dengan tanpa menyerah, ia terus menggunakan formasi lama dalam menyerang musuh.
Ketiga, Maaher sosok yang dicintai. Setiap kita pasti ingin menjadi seseorang yang dicintai. Dalam kesempatan lain, kita juga menjadi seseorang yang mencintai. Mau diakui atau tidak, menjadi seseorang yang dicintai itu sulit. Dan Maaher dalam hal ini, telah sukses menjadi figur yang dicintai, setidaknya oleh para simpatisannya. Walau dalam kesempatan yang sama, ia juga menjadi sosok yang dibenci. Namun, cinta dan benci adalah fitrah. Di antara kita tidak terlepas dari dua kosa kata itu.
Maaher at-Thuwailibi telah berpulang terlebih dahulu. Kepergiannya tentu adalah kehilangan terberat bagi keluarga dan simpatisannya. Yang jelas, kepergian Maaher jangan sampai menjadi kepergian figur-figur yang keras mengkritik kebijakan pemerintah pula. Sebab, dalam proses demokratisasi posisi oposisi sangatlah berarti.
Namun, bukan berarti tidak ada kritik dan masukan untuk kritikus-kritikus sepeninggal Maaher. Kedepan, baiknya kita dapat menjadi oposisi yang arif dan bijak. Selalu mengedepankan gagasan dan intelektualitas, daripada emosi dan kepentingan pribadi. Maaher at-Thuwailibi telah berpulang, tentu sudah seharusnya doa terbaik dan kebaikan kita harus juga menyertai. Selamat tinggal Maaher, semoga Allah SWT selalu memberkati.