Setiap tahun, kasus intoleransi yang sama kembali terulang. Seolah-olah tanpa kesudahan, kasus penolakan terhadap keyakinan dan rumah ibadah yang berbeda dari mayoritas kembali terjadi, sehingga perlu adanya jaminan dari hukum diperlukan.
Konflik pendirian rumah ibadah acapkali menjadi hambatan upaya penciptaan kerukunan umat beragama di negeri ini. Tidak jarang pula ditemukan dalam pendirian rumah ibadah mengalami problematika dan gangguan, sebab permasalahan rumah ibadah merupakan kasus yang sangat sensitif dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat kita.
Seperti diketahui bersama, salah satu faktor utama melatarbelakangi konflik antar umat beragama di Indonesia adalah pendirian rumah ibadah. Tentunya, rumah ibadah seperti masjid, gereja, vihara, ataupun klenteng merupakan bagian yang terpenting bagi agama, belum bisa dikatakan lengkap agama apabila tidak memiliki sistem peribadatan yang jelas dan tempat ibadah yang permanen serta tidak memiliki pengalaman spiritualitas jika tanpa adanya rumah ibadah.
Menurut catatan Pusat Pendidikan Agama dan Lintas Budaya Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2008 termasuk dua belas kasus konflik seputar rumah ibadah. Sedangkan ditahun 2009 setidaknya ada 18 kasus dan penyerang terhadap rumah ibadah, sementara ditahun 2010, ada 39 kasus dan terus menanjak naik hingga sekarang. ‘Bagaikan api didalam sekam’ pepatah ini bisa menggambarkan bagaimana gejolak penolakan maupun pelarangan pendirian rumah ibadah terus terjadi, walaupun kecil namun sangat sulit untuk diminimalisir dan semakin menjamur.
Beberapa faktor lainnya juga menjadi pemicu utama, seperti perbedaan ideologi, perbedaan kelas kesetaraan dan faktor lainnya. Tentunya, sebagai negara yang menganut asas Bhineka Tunggal Ika membuat wajah negara tercoreng dengan adanya kasus intoleransi ditengah-tengah masyarakat apalagi sudah membawa agama sebagai penyebab utama lainnya.
Seperti dikutip dari CNN Indonesia dengan judul ‘Kemenag Bahas SKB 2 Menteri Soal Rumah Ibadah Jadi Perpres’ tentunya SKB 2 Menteri ini akan menjadi legalitas sebagai jaminan untuk membangun rumah ibadah sesuai dengan keyakinan. Namun, dengan jumlah pemeluk agama tertentu yang minim di sebuah wilayah. Ternyata berdampak pada kesulitan pendirian rumah ibadah, hal ini berdampak pada syarat administrasi dalam pembangunan sebuah rumah ibadah, seperti dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Tentunya, hal ini akan berdampak kepada yang lainnya sehingga menimbulkan krisis kepercayaan sosial terhadap sebuah agama. Namun, perlu diketahui dalam peraturan tersebut belumlah merata di tengah-tengah masyarakat apalagi terkait permasalahan yang bersangkutan dengan agama. Selain itu dalam interaksi sosial, setiap penganut agama-agama senantiasa menampilkan eksklusivitas agama dengan mengedepankan klaim kebenaran atau claim of truth secara sewenang-wenang, maka akan berakibat kepada konflik antar pemeluk agama. Tapi jika yang selalu ditampilkan agama yang terbuka akan perbedaan antar agama maka yang akan terjadi adalah persaudaraan dan kerja sama antar umat beragama.
Secara legalitas, pemeluk agama di Indonesia dijamin akan kebebasannya. Hal tersebut tercantum dalam pasal 18 dalam Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan kebijakan yang menafikan kebebasan seseorang untuk mengamalkan agamanya adalah satu kezaliman spiritual. Selain itu, pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan: ‘Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.’
Dalam pasal 28J ayat 1 UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Selanjutnya, pasal 28J ayat 2 UUD 1945 mengatur pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Sehingga kebebasan tersebut masih bisa dikontrol oleh pemerintah dan tidak menimbulkan konflik antar beragama dikemudian hari, mengingat Indonesia yang berbeda etnis, suku, bahasa, agama, dan lainnya.
Singkatnya, dalam SKB 2 Menteri tersebut perlu adanya pengurangan terkait syarat administratif seperti syarat minimal 90 orang untuk pendirian sebuah rumah ibadah. Selanjutnya, perlu adanya payung hukum pidana bagi kelompok minoritas untuk memberikan rasa aman dalam membangun ataupun melakukan peribadatan, sehingga benar adanya hukum menjamin kebebasan dalam membangun rumah ibadah.