Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, dan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, resmi menerbitkan SKB 3 Menteri. Menurut Nadiem, penerbitan SKB 3 Menteri tersebut terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah negeri, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
Namun demikian, SKB 3 Menteri tersebut telah memunculkan beberapa penolakan di masyarakat. Salah satu penolakan tersebut datang dari Waketum MUI, Anwar Abbas dan mantan Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain. Seharusnya, tak perlu ada perdebatan dan penolakan dari SKB 3 Menteri tersebut, karena subtansi pendidikan yang sebenarnya tidak ada di seragam. Kenapa demikian?
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya mengembangkan potensi diri yang ada pada setiap diri manusia. Dalam bahasa undang-undang pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pandangan kaum filsafat pendidikan humanis, pendidikan dimaknai sebagai proses memanusiakan manusia. Dalam hal ini, pendidikan lebih ditujukan bagaimana seorang individu sebagai manusia dapat memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya secara utuh untuk mengaktualisasikan diri dalam lingkungan sekitarnya.
Sementara itu, Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis dari Brazil menyatakan pendidikan adalah sebagai bentuk praktik pembebasan manusia. Dalam hal ini, Paulo Freire lebih menekankan pentingnya kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Melalui pembelajaran dialogis dan hadap masalah, Paulo Freire mengharapkan pendidikan tidak hanya sebatas transfer of knowledge, melainkan pendidikan sebagai upaya memahami realitas hidup dan kehidupan serta bagaimana mengatasi berbagai masalahnya, sehingga ia menjadi manusia bebas seutuhnya.
Dengan demikian, substansi pendidikan di sini bisa dimaknai sebagai sebuah usaha sadar dan terencana dalam rangka mewujudkan individu yang memiliki kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan di sekitarnya. Melalui kesadaran kritis tersebut, tiap individu diharapkan mampu memahami dan memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk menjadikan dirinya manusia bebas dan merdeka, serta bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks ini, seragam bukanlah hal yang substantif dalam pendidikan. Yang paling penting dalam pendidikan adalah bagaimana seorang individu memiliki kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan di sekitarnya, serta mampu mendayagunakan segala potensi yang dimilikinya untuk menjadikan dirinya manusia yang kreatif, inovatif, bebas, dan merdeka. Seragam hanya syarat legal formal yang menjadi tutuntan dunia pendidikan, khususnya di madrasah atau sekolah formal.
Seharusnya, SKB 3 Menteri di atas tidak perlu diperdebatkan dan ditolak secara berlebihan. Sekali lagi, seragam tidaklah menjadi hal substantif dalam pendidikan. Karena itu, SKB 3 Menteri yang tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama di sekolah-sekolah negeri adalah wajar saja, justru kita patut mengapresiasinya. Kenapa? Sebab, mengingat kejadian sekolah di Padang yang mewajibkan seorang siswi Non-Muslim memakai jilbab adalah bentuk tindakan intoleran. Dan tentu saja, hal itu bertentangan dengan nilai-nilai bangsa kita yang menghargai perbedaan, keragaman, serta memupuk toleransi beragama yang tinggi.
Karena itu, SKB 3 Menteri itu pada dasarnya sebagai upaya mengikis budaya intoleransi yang lahir dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah. Saya pribadi malah mendorong pemerintah untuk tidak mewajibkan memakai seragam sama sekali bagi peserta didik di semua jenjang pendidikan. Tiap peserta didik dibebaskan untuk memakai seragam (pakaian) apapun. Yang terpenting adalah pakaian yang digunakan masih pada batas kesopanan, seperti halnya yang dilakukan oleh sekolah-sekolah alam.
Walhasil, SKB 3 Menteri di atas seharusnya tak perlu diperdebatkan dan ditolak secara berlebihan. Mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama tertentu bukanlah hal yang substantif dalam pendidikan. Yang perlu menjadi perhatian serius dan sasaran kritik adalah apakah pendidikan kita hari ini telah mengantarkan peserta didiknya pada kesadaran kritis terhadap lingkungan sekitarnya, serta menjadikannya sebagai individu yang kreatif, inovatif, bebas, merdeka, dan bermanfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara? Atau justru sebaliknya?