Pro kontra terkait pilkada serentak di tahun 2024 patut disikapi. Pasalnya, ada kontradiktif regulasi antara UU No. 10 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan draf RUU Pemilu. UU Pilkada mengamanatkan, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Namun, berbeda halnya dengan yang ada dalam draf RUU Pemilu, yang memuat ketentuan, bahwa Pilkada dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Terlepas dengan alasan apapun, persoalan demokrasi dari dualisme regulasi ini mesti dipertanyakan.
Demokratisasi merupakan suatu transformasi atau proses untuk mencapai suatu sistem yang demokratis. Sedangkan makna dan substansi kata demokrasi itu sendiri, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam artian yang agak luas, demokrasi sering dimaknai sebagai pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola, dijalankan dengan menjadikan rakyat sebagai subjek dan titik tumpu roda penentu berjalannya kepolitikan dan kepemerintahan. Oleh karena demokrasi merupakan sistem yang bertumpu pada daulat rakyat, maka nihilisme terhadap daulat elite, atau daulat partai, atau daulat Negara, atau pun daulat militer mesti disingkirkan.
Dalam kaitan ini, sedikitnya saya menemukan dua kekhawatiran dalam praktik demokrasi kita kedepan. Pertama, terkikisnya hak pilih rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya. Jika pilkada serentak tetap dilaksanakan pada 2024, dan memaksakan mengganti kepala daerah dengan plt maka sangat berdampak terhadap kebijakan dan regulasi kedaerahan. Sebab, sangat minim dan terbatasnya hak-hak plt dalam mengeluarkan kebijakan. Di lain sisi, jumlah kepala daerah yang bakal berakhir tidak sedikit, tercatat ada 101 pemimpin daerah hasil Pilkada 2017 yang akan selesai masa jabatan pada 2022 dan 170 pemimpin daerah hasil Pilkada 2018 yang akan selesai jabatan pada 2023.
Bayangkan, akan ada 101 posisi kepala daerah yang akan dijabat oleh Plt, hingga dua tahun dan Plt 170 daerah selama satu tahun. Kenyataan ini, tentu kurang etis jika ditilik dalam perspektif demokrasi. Yang dampaknya, warga dan hak publik akan sulit dalam mendapatkan pelayanan yang maksimal. Mengacu pada pendapat Robert A Dahl (1915-2014), warga negara harus berpartisipasi dalam memerintah dan menduduki jabatan kota.
Kedua, memudarnya humanisme demokrasi. Seperti kita ketahui bersama, pada perhelatan pemilu serentak 2019 yang lalu, sedikitnya ada 440 petugas KPPS di berbagai daerah meninggal dunia. Padahal, barometer daripada demokrasi adalah rakyat itu sendiri. Jika menafsirkan demokrasi hanya sekadar euforia pemilihan pemimpin, menurut saya terlalu sempit.
Lebih jauh, demokrasi bukan hanya sekadar rakyat mencari perwakilannya untuk menjadi sosok yang dapat mewakili. Namun, harus pula dapat menjadi representasi kemerdekaan rakyat, baik itu dalam segi ekonomi, politik, pendidikan, maupun hak hidup. Alih-alih demokrasi menjadi infrastruktur rakyat pada kejayaan hidup, ini malah sebaliknya.
Diakui atau tidak, dua persoalan terkait polemik pilkada serentak ini harus dapat menjadi bahan refleksi dan kajian pemerintah dan wakil rakyat. Sebab, bagaimana pun juga demokrasi adalah proses bercocok tanam, di mana rakyat sebagai pemilik tanahnya. Jangan sampai, karena ulah penggarap lahan yang tidak kompatibel malah membawa petaka dan kerugian terhadap tuan tanah.
Adanya rencana plt sebagai pengganti kepala daerah dengan jangka waktu yang relatif lama, menurut saya dapat mengikis eksistensi demokrasi. Demokrasi dalam hal ini, hanya mempresentasikan hak elite bukan rakyat. Padahal, mengacu pada pendapat Robert A Dahl (1915-2014), dalam pemerintahan demokrasi perwakilan modern, kendali pemerintah berada di tangan pejabat yang dipilih warga negara dan pejabat terpilih tersebut ditentukan melalui pemilu.