Acara memperingati harlah NU ke-95 yang dihelat oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kemarin, patut diapresiasi khususnya oleh kalangan nahdliyin dan nasionalis. Pasalnya, melihat ini kita kembali dibawa dalam nostalgia keharmonisan antara kaum nasionalis dan santri yang mulai dilupakan. Padahal, kenyataan bahwa antara nasionalis dan santri sama-sama memiliki peran dalam membangun negara memang benar adanya. Keduanya sukses dan abadi dalam berkoalisi menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Sejarah kebangsaan kita mencatat, tidak pernah ada dikotomi antara kelompok nasionalis dan santri yang berarti. Baik kelompok nasionalis, maupun santri sama-sama memiliki andil besar dalam membangun pondasi sekaligus rumah yang dinamakan Indonesia. Nasionalis, yang dalam hal ini diwakili oleh Bung Karno memiliki sejarah panjang yang harmonis dengan santri, khususnya NU. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sampai per-detik ini keduanya tetap konsisten menjadi garda terdepan dalam mengawal keutuhan bangsa dan negara.
Dalam membuktikan kecintaannya terhadap NU misalnya, Bung Karno sampai-sampai berkata pada Muktamar NU ke-23, 28 Desember 1962 di Surakarta, “saya sangat cinta sekali kepada NU. Saya sangat gelisah jika ada orang yang mengatakan bahwa dia tidak cinta kepada NU. Meski harus merayap, saya akan tetap datang ke muktamar ini, agar orang tidak meragukan kecintaan saya kepada NU!”. Walau saat itu, suasana politik nasional sedang dalam ketegangan dan memanas akibat keputusan-keputusan kontroversial Bung Karno. Ditambah beberapa elemen kelompok terlibat dalam pemberontakan DI-TII dan kemudian PRRI Permesta. Namun, tidak menyulutkan hubungan antara Bung Karno dan NU. Hal ini, tentu tidak terlepas daripada kedewasaan keduanya dalam memandang satu sama lain.
Bung karno sebagai seorang nasionalis tahu betul karakteristik dan arah politik NU, yang dalam pandangan NU, politik kebangsaan lebih tinggi daripada politik kekuasaan. Karenanya tidak mengherankan jika Partai Masyumi dan PKI diperlakukan berbeda dengan NU oleh Bung Karno. Kecintaan Bung Karno pun, tidak terlepas dari peran besar NU yang memiliki andil besar di belakang terpilihnya menjadi Presiden Indonesia pertama.
Dikisahkan dalam Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940, diputuskan bahwa Bung Karno menjadi sosok yang pantas dijadikan sebagai negara Indonesia merdeka. Hal ini bisa dibaca dari verslag (laporan) muktamar yang diadakan di akhir kekuasaan Hindia Belanda. Verslag muktamar hanya memuat 18 persoalan keagaman dan 35 keputusan yang ditetapkan Hoofdbestuur NU. Dalam pengantar verslag disebutkan, tidak semua keputusan yang terdapat dalam muktamar ditulis dalam verslag karena beberapa hal yang tidak dapat bisa disebutkan. Salah satu keputusan muktamar yang tidak dimuat adalah perihal orang yang kompeten menjadi presiden untuk negara yang akan merdeka. Persoalan ini dibahas oleh 11 kiai terkemuka NU. Rapat tertutup tersebut diadakan di Praban Surabaya dengan dipimpin langsung Ketua Tanfidziyah NU kala itu, KH. Machfoedz Shiddiq. Peserta rapat mengajukan dua nama: Bung Karno dan Bung Hatta. Dan hasilnya para kiai sepakat untuk memilih Bung Karno dengan perolehan suara 10 banding 1.
Masih banyak sebenarnya fakta-fakta yang menggambarkan keharmonisan koalisi antara kelompok nasionalis dan santri. Namun, yang menjadi persoalan banyak dari kita sekarang tidak mengetahui sejarah besar ini. Padahal, diakui atau tidak yang menjadikan NKRI masih ada sampai hari ini tidak lain dari konsistensi antara kelompok nasionalis dan santri menjaga keutuhan negeri dan setia pada Pancasila. Maka dari itu, adanya PDIP ikut ambil bagian dalam memperingati harlah NU ke-95 menjadi noktah penting dalam sejarah kebangsaan kita saat ini.
Dari sini kita kembali diingatkan, betapa berarti dan berharganya koalisi antara kelompok nasionalis dan santri. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip kelompok nasionalis dan santri tentang mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah prinsip utama bagi keduanya dari dulu hingga kini. Merefleksikan koalisi antara keduanya, semakin penting untuk bahan renungan kita. Sebab, Indonesia tengah menghadapi persoalan serius di tengah pandemi, yakni krisis ekonomi, politik, dan disintegrasi bangsa. Mari bersama-sama kembali kita menyongsong Indonesia maju. Selamat Hari Lahir ke-95 NU. Tetap setia dalam menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan.