Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), tentunya ASN menjadi perpanjangan tangan pemerintah yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Wajar apabila ASN banyak bergaul dan berorganisasi untuk memperbanyak mitra strategis, namun apa jadinya jika ASN terlibat atau menjadi simpatisan organisasi yang radikal.
Berdasarkan laporan data statistik PNS diperoleh dari Badan Kepegawaian Negeri atau BKN. Hingga Juni 2020, PNS berstatus aktif di Indonesia mencapai 4.121.176 orang atau mengalami penurunan 1,62 persen dibandingkan dengan posisi 31 Desember 2019 yang tercatat 4.189.121 orang. Walaupun demikian, peminatan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) terbilang sangat tinggi, dalam laman statistik PNS milik BKN didominasi kategori Tenaga Guru sebanyak 69,23 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata diatas 10 persen setiap kategori pekerjaan.
Tentunya jika menggunakan data diatas, akan tampak berapa banyak masyarakat menjadi ASN dengan segala bentuk keyakinan, kemahiran, ideologi, dan latar belakang organisasi. Hal tersebut membuat pemerintah harus lebih berhati-hati dalam meloloskan ataupun mengawasi ASN dalam berbagai hal termasuk ideologi dan keorganisasian. Menurut UUD 1945, dan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, ASN diwajibkan loyal terhadap negara, tidak menjadi simpatisan ormas terlarang ataupun mendukung kelompok ormas tersebut.
Sebagai negara bernuansa demokrasi, masyarakat dibolehkan berkumpul ataupun mendirikan organisasi dengan syarat, menetapkan Pancasila sebagai ideologi pergerakan organisasi. Namun, Undang-Undang keormasan terbilang sangat mudah dikelabui, apalagi fakta lapangan membuktikan setidaknya dalam 5 tahun kebelakang pemerintah telah membubarkan dua ormas radikal dan berideologi selain Pancasila seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Tak ayal membuat pemerintah mengambil tindakan, dengan menguatkan kembali UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dengan melalui Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN tentang Larangan bagi ASN untuk Berafiliasi dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya.
Selain itu, ASN diwajibkan pula tidak memiliki hubungan dengan partai politik manapun, seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, yang pada Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan: Ayat (1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan.
Ayat (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ayat (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Tentunya, jika ASN terlibat dalam partai politik akan membahayakan lawan maupun rekan instansi dengan menggunakan kekuasaannya.
Keterlibatan ASN dalam sebuah organisasi terlarang yang telah dicabut status badan hukumnya, tentunya dapat memunculkan sikap radikalisme dan perilaku negatif dalam lingkungan kerja ASN dan instansi pemerintah. Untuk itu, perlunya pencegahan agar ASN dapat tetap fokus berkinerja dalam memberikan pelayanan prima bagi masyarakat. SE Bersama ini, sebenarnya merupakan tindak lanjut dari BKN dan Pemerintah Pusat setelah membuat portal aduan ASN atas pelanggaran yang dilakukan ASN seperti perilaku yang bersifat menentang atau membuat ujaran kebencian.
Melihat dinamika yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang, tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa banyak ASN menjadi pendukung kelompok radikal. Setidaknya beberapa organisasi yang tercantum dalam SE Bersama tersebut seperti: Partai Komunis Indonesia, Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI).
Pelarangan lainnya, adalah seperti menjadi anggota atau memiliki pertalian, memberikan dukungan langsung dan tidak langsung, menjadi simpatisan, terlibat dalam kegiatan, menggunakan simbol serta atribut organisasi, menggunakan berbagai media untuk menyatakan keterlibatan dan penggunaan simbol dan atribut, serta melakukan tindakan lain yang terkait dengan organisasi terlarang dan ormas yang dicabut badan hukumnya.
Jika dinilai saat ini, pemerintah sebenarnya sudah tertinggal satu langkah. Dimana kasus ASN yang terlibat ormas terlarang ataupun menjadi pendukung kelompok teroris sudah banyak terjadi, dan tidak mendapatkan teguran keras ataupun pemecatan. Namun, walaupun tertinggal upaya pemerintah sebenarnya patut didukung dan diapresiasi oleh masyarakat, tak elok dilihat mata apabila ASN menampilkan ideologi selain Pancasila dan atribut lainnya, sedangkan ASN digaji menggunakan pajak dari masyarakat.
Singkatnya, permasalahan ASN yang terlibat dalam kelompok radikal bukan sekadar permasalahan yang biasa dan bisa dimaafkan. Perlu penindakan tegas jika mendapati ASN Radikal seperti pemberhentian ataupun lainnya, dengan menggunakan Undang-Undang sebagai sebagai acuan. Selain itu, negara hendaknya menerapkan seleksi yang ketat tentang kepancasilaan calon pegawai. Hal ini demi menjaga agar tidak tumbuh sikap anti-Pancasila dalam tubuh ASN. Menumbuhkan dalam diri mereka bahwa NKRI harga mati dan loyal terhadap negara. Secara umum ASN haruslah berjiwa Bhinneka Tunggal Ika, berasaskan UUD 1945, dan berideologi Pancasila.