Amien Rais bersama sejumlah tokoh, seperti Abdullah Hehamahua, Busyro Muqodas, dan Neno Warsiman membentuk Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan atau disingkat TP3. Tim yang beranggotakan 18 orang tersebut bertujuan untuk melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan terhadap peristiwa baku tembak yang menewaskan 6 orang eks laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12/2024) dini hari. Padahal, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis hasil investigasinya, disertai bukti dan saksi yang konkret. Komnas HAM mengatakan, peristiwa tersebut tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Menurut pandangan LP3 yang digawangi Amien Rais, penanganan kasus yang dilakukan pemerintah dan Komnas HAM sangat jauh dari harapan dan cendrung berlawanan dengan kondisi yang objektif. Bahkan, tanpa bukti yang valid, TP3 menuduh kasus tersebut sebagai pelanggaran berat. Sebagai seorang politikus senior, sepertinya Amien Rais tidak paham, bahwa mendeligitimasi rekomendasi Komnas HAM, adalah sama saja tidak menghormati undang-undang dan konstitusi.
Komnas HAM adalah lembaga negara yang dimandatkan oleh undang-undang dan juga diakui dunia internasional. Tidak mungkin Komnas HAM bekerja menangani sebuah kasus secara serampangan dan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Oleh karenanya, pembentukan LP3 oleh Amien Rais dan kawan-kawan, tak ubahnya hanya ingin mempolitisasi kasus kematian enam eks laskar FPI untuk menyerang dan memojokkan pemerintahan. Tujuannya adalah, agar masyarakat tidak lagi mempercayai pemerintah, dan lembaga-lembaga yang dinaunginya. Amien Rais sebagai pihak oposisi, tentu sadar betul untuk memanfaatkan momen ini. Ia dan kelompoknya sengaja memelintir kinerja Komnas HAM. Dan sebagai kelompok barisan sakit hati yang tidak memiliki tempat, terbuang dari rumahnya, Amien Rais merasa memiliki alasan untuk terus membuat kegaduhan.
Dengan demikian, semakin jelaslah kemana arah tujuan Amien Rais ini, yakni hanya mencari momen sakit hati dan menciptakan masalah, melampiaskan sakit hati dan dendamnya, lalu menuduh pemerintah yang bertanggung jawab. Langkah Amien Rais tidak hanya akan menambah masalah baru, tetapi juga berpotensi menghambat kinerja Komnas HAM kedepannya. Amien Rais, kita tau adalah seorang poltikus yang licin, pandai memprovokasi dan propaganda. Jika ini dibiarkan, tentu akan berbahaya. Akan memecah fokus negara yang tengah serius membangkitkan perekonomian nasional yang tengah redup akibat pandemi Covid-19.
Wacana melaporkan kasus kematian eks laskar FPI ke pengadilan internasional, senyatanya adalah upaya yang sia-sia. Sebab, Indonesia bukan termasuk negara pihak Statuta Roma, juga karena kasus kematian eks laskar FPI tersebut bukan termasuk pelanggaran berat. Namun dengan alasan Komnas HAM tidak objektif dan ketidakpercayaan, serta ketidakpuasan terhdadap Komnas HAM, Amien Rais dan kelompoknya tetap melanjutkan langkah tersebut.
Sebelumnya, Amien Rais juga membuat sensasi dengan mengajukan diri untuk jadi penjamin penangguhan penahanan Mohammad Rizeq Syihab (MRS). Ia menyambangi Mabes Polri Jakarta Selatan, Kamis (17/12/2024). Namun hingga kini, tidak ada kabar yang yang menyebutkan permintaan Amien Rais dikabulkan. Pembelaannya terhadap MRS, cukup membuktikan, Amien tengah kebingungan mencari koalisi menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan dominasi Presiden Jokowi.
Amien Rais tidak lagi memandang mana kelompok intoleran mana kelompok toleran. Mana yang merusak mana yang membangun, tak dapat ia bedakan. Mata hatinya telah dibutakan oleh nafsu kekuasaan. Yang dia inginkan, kekuasaan segera berpindah ke pangkuannya, bagaimanapun caranya. Sayang, segala upaya propaganda, provokasi, dan hoaks yang dia buat bersama gerombolannya tak pernah membuahkan hasil. Ia tetap menjadi gelandangan politik.
Sebagai orang yang tidak berada di lingakaran kekuasaan, Amien Rais seharusnya bisa menjadi penyeimbang dan pendamping masyarakat yang membutuhkan. Amien Rais pun sebenarnya bisa tampil elegan, menjadi juru damai, ketika bangsa dibuat kacau akibat ulah kelompok intoleransi. Jangan hanya mengkritik, menyerang, dan memprovokasi, memperkeruh keadaan, namun juga memberi solusi yang tepat untuk kemaslahatan bersama, bukan kepentingan diri dan kelompok. Akan tetapi amat disayangkan, kesadaraan itu tak pernah datang pada sosok Amien Rais, ia tetap menjelma gelandangan politik, kendati usianya tak lagi muda.
Sesewatu yang ditabur, maka itulah yang akan dipetik. Jikalau menanam angin, maka badai yang akan dipetik. Demikian sebuah pribahasa mengibaratkan Amien Rais saat ini, yang hilang kejayaannya dalam perpolitikan, layaknya gelandangan politik. Alih-alih menjadi orang tua yang bijak, Amien Rais masih bersusah payah mencari pamornya yang telah habis termakan zaman. Ia tidak pernah belajar dari banyak kegagalanya menjadi politikus.
Tempo dulu memang ia berhasil membuat sang guru bangsa (Gus Dur) jatuh dari jabatan Presiden, namun kini kita saksikan sekarang, Amien Rais bukan siapa-siapa dalam perpolitikan, juga tidak memperoleh jabatan istimewa apa-apa di negeri ini. Dengan demikian, baiknya Amien Rais berhenti menjadi gelandangan politik. Mulailah intropeksi diri. Negara sedang banyak dilanda bencana, lebih baik ulurkan tangan bantu sesama, ketimbang mempersoalkan kematian eks laskar FPI yang bukan bidangnya. Amien Rais, berhentilah jadi gelandangan politik.