Kolom

Demokrasi Tanpa Kekerasan

2 Mins read

Sampai per-hari ini, saya merupakan salah satu orang yang beranggapan bahwa demokrasi masih relevan menjadi sistem negara. Tidak pula menafikan jika demokrasi masih belum dapat, atau setidaknya menjadi representasi kebebasan dan kemerdekaan rakyat. Namun, terlepas dari maju-mundurnya demokrasi, untuk kurun waktu beberapa abad kedepan keberadaannya masih cukup diperhitungkan. Itupun dengan beberapa catatan, karena disadari atau tidak demokrasi dalam konteks asasnya sudah baik. Tinggal bagaimana merekonstruksi demokrasi menjadi sistem yang kontekstual dan tidak menghilangkan ruh dari demokrasi itu sendiri.

Adanya praktik demokrasi yang dihujani dengan caci-maki, ujaran kebencian, dan provokasi adalah bukti jika demokrasi telah dipisahkan dari ruhnya. Padahal, demokrasi merupakan konsep yang diyakini paling representatif mewakili kepentingan rakyat, terbukti masih relevan dianut oleh berbagai negara di belahan dunia. Demokrasi adalah konsep paling tua penentang absolutisme penguasa otoriter. Sementara demonstrasi adalah ruhnya. Sejatinya, demonstrasi adalah media aspirasi rakyat dalam proses demokrasi.

Namun, maraknya penafsiran serampangan, sehingga menjadikan segala bentuk demonstrasi dianggap bagian demokrasi. Anarkisme dan mobokrasi adalah dua contoh tindakkan yang dianggap seoalah-olah demokratis, padahal nyatanya bukan. Sebaliknya, keduanya merupakan bentuk dari proses penghancuran demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang mestinya menjadi representasi dari perdamaian dan keharmonisan, malah berubah dalam bingkai kekerasan. Tentu, kekerasan di sini tidak saja kekerasan fisik, tetapi juga non-fisik.

Pada hakikatnya, polemik kekerasan dalam paktik demokrasi bukanlah hal baru. Dalam sejarahnya demokrasi yang menjunjung asas kebebasan tidak pernah terlepas daripada tindak kekerasan baik fisik, maupun non-fisik. Karena itu, kebudayaan semacam ini cepat atau lambat mesti dapat dilerai, sehingga demokrasi tetap menjadi representasi kemerdekaan rakyat.

Yang perlu diketahui pula, praktik mobokrasi, anarkisme, dan kekerasan fisik, maupun non fisik dalam demokrasi tidak dibenarkan jika dilerai oleh pemerintah yang diktatorial. Sebab, kediktatoran bertolak belakang dengan prinsip demokrasi, yakni kebebasan. Gene Shap (1928-2018) dalam From Dictatorship to Democracy A Conceptual Framework for Liberation mengatakan, hakikat kediktatoran adalah penolakan terhadap pluralitas pandangan dan pendapat. Negara yang memperkenankan perbedaan pendapat dan menerima keberagaman pada dasarnya merupakan satu sikap penolakan terhadap diktatorial.

Walau dalam sejarahnya, harus diakui jika kekerasan merupakan jalan memperjuangkan demokrasi dari pemerintahan diktator, tetapi cukuplah itu menjadi sejarah kelam dan pelajaran. Kedepan, demokrasi mesti berjalan selaras dengan porsi asas dan tujuan di dalamnya. Yakni, kemanusiaan, kemerdekaan, dan kebebasan untuk hidup. Tidak menutup kemungkinan, dalam praktik kekerasan bakal memakan korban nyawa. Yang pada akhirnya, rakyat yang mestinya menjadi pemenang, malah menjadi korban.

Lanjut, Gene Shap dalam buku yang sama mengatakan, kekerasan bukan cara efektif dalam menggulingkan pemerintahan diktatoris. Walau kedengerannya mengecewakan bagi kita para romantisi revolusi, tetapi menurut saya kehebatannya adalah dapat memberikan argumentasi dan gagasan-gagasan yang konkrit. Pertama, menurutnya pemakaian kekerasan justru merupakan keunggulan diktator. Jadi, menggunakan kekerasan berarti memilih medan perjuangan yang menguntungkan lawan. Karena pemerintah diktator menguasai polisi, tentara, dan elemen keamanan lainnya.

Kedua, perjuangan revolusioner dengan kekerasan jarang menguntungkan, sebaliknya malah menambah ketertindasan rakyat. Di lain sisi, jika revolusi berhasil kemungkinan besar akan lahir kembali rezim diktator dalam mempertahankan tujuan-tujuannya. Tentu, hal semacam ini tidak sama sekali kita harapkan dalam praktik demokrasi. Alih-alih membunuh rezim diktator, malah lahir diktator baru.

Dalam kaitan ini saya sependapat dengan Sharp. Namun, yang terpenting daripada itu semua adalah bagaimana antara pemerintah dan rakyat memiliki kohesi dalam menciptakan demokrasi yang damai dan pro-rakyat. Demokrasi mesti menjadi infrastruktur kemerdekaan rakyat dalam berbangsa dan bernegara, serta menjadi representasi keadilan. Sebab, demokrasi adalah perdamaian, bukan kekerasan.

Related posts
BeritaDunia IslamKolom

Zuhairi Misrawi akan Harumkan Indonesia di Arab Saudi dan Timur-Tengah

Pengamat Timur Tengah, merupakan identitas pertama yang saya kenal dari seorang Zuhairi Misrawi atau yang kerap disapa Gus Mis. Persisnya, perjumpaan awal…
BeritaKolomNasihatNgopi

Tepat Sekali, Presiden Jokowi Pilih Zuhairi Misrawi Jadi Dubes RI Untuk Arab Saudi

Zuhairi Misrawi atau yang akrab dipanggil Gus Mis, dikabarkan dalam waktu dekat, akan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Hal ini diketahui, karena sejumlah daftar nama calon Dubes tersebar di media-media. Selain itu, beredar kabar, bahwa Pimpinan DPR RI sudah mengkonfirmasi telah menerima Surat Presiden (Surpres) yang berisi nama-nama calon Dubes RI. Menurut saya, Presiden Jokowi sangat tepat memilih Gus Mis sebagai Duta Besar Arab Saudi.
KolomNasihat

Membaca Fikrah Politik Ustadz Abdul Somad

Ustadz Abdul Somad, atau lebih dikenal luas dengan sebutan UAS kembali ramai dibicarakan. Dai kondang yang sedang diidolai oleh sebagian Muslim Indonesia,…