Kolom

Politik Kerakyatan Gus Dur

5 Mins read

Virdika Rizky Utama, seorang jurnalis Majalah Berita Mingguan Gatra, Narasi.tv, dan Fellow Research di PARA Syndicate, menulis buku menarik tentang rencana dibalik penggulingan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berjudul Menjerat Gus Dur (2019). Buku ini mengungkap data dan fakta empiris historiografi secara rinci, seputar dilengserkannya bapak pluralisme dan guru bangsa itu oleh sebuah konspirasi kekuatan oligarki dan para seteru politiknya. Bahkan tidak hanya itu, buku ini juga yang membuka cakrawala yang lebih luas terkait keberhasilan kepemimpinannya yang transformasional kerakyatan demokratis.

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, Gus Dur terpilih menjadi presiden. Ia menghadapi tugas dan kewajiban sebagai ekses kondisi sosial-politik yang terjadi atas dampak tuntutan reformasi pembangunan dan demokratisasi. Tugas ini mengharuskan Gus Dur menghadapi pelbagai polemik kemelut politik dengan suhu mendidih, sepeninggal Orde Baru yang tentu saja anasir-anasirnya masih mendominasi jagat perpolitikan Indonesia. Apapun mereka lakukan, meski harus menumpahkan darah rakyat. Di negara demokrasi mapan, sekumpulan orang dalam persekutuan yang melakukan kejahatan kemanusiaan, mungkin akan dihukum berat. Namun, itu tidak terjadi di Indonesia.

Persekutuan elite politik yang tidak sejalan dengan transformasi kerakyatan yang membebaskan ala Gus Dur, membuat rencana-rencana intrik untuk menjatuhkannya dari kursi tertinggi negeri ini. Berbagai tuduhan dan fitnah keji dilancarkan dalam manuver politik yang hingga kini tidak terbukti. Politik kala itu, apapun dilakukan, menghalalkan segala cara dalam istilah Niccolo di Bernardo Dei Machiavelli. Hal ini perlu kita evaluasi sebagai pembelajaran histori agar tidak terjadi lagi di era demokrasi saat ini.

Banyak kalangan berpendapat, belum ada keadilan sejarah untuk Gus Dur yang jelas-jelas dijatuhkan secara paksa dengan alasan yang jauh dari kebenaran. Tidak ada bukti secuil pun pelanggaran hukum dan aktivitas inkonstitusional yang dilakukan oleh Presiden ke-4 Republik Indonesia itu. Walaupun demikian, Gus Dur tidak pernah bersikeras menunjukkan dan membuktikan jalannya cerita dibalik pelengserannya. Bagi dirinya, kisah pelengserannya dari kursi pemimpin tertinggi Indonesia itu, hanya sebuah kekalahan realitas kontestasi politik belaka.

Celakanya, bagi lawan politik Gus Dur. Barangkali sepak terjang cucu dari Kiai Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama) itu, telah mengganggu kenyamanan dan kemewahan mereka. Namun, masa jabatan presiden yang hanya kurang lebih dua tahun itu, menjadi penopang kokoh jalannya transisi konsolidasi demokrasi, yang pada waktu itu diselimuti spirit reformasi kerakyatan yang membebaskan, sehingga dipenuhi halangan rintangan yang menghadang secara bertubi-tubi.

Setelahnya, demokrasi Indonesia tumbuh cukup baik dengan konstelasi politik kian terbuka. Gus Dur memiliki moral politik dengan visi politik demokratis yang nyata. Sikap egaliter dan pembelaannya terhadap kaum minoritas melawan tirani mayoritas, dapat mencapai kesuksesan transisi menuju demokrasi. Hal tersebut menggambarkan jauh dari yang diperkirakan banyak orang. Meski kakeknya, KH. Hasyim Asyari dan ayahnya, KH. Wahid Hasyim merupakan pemain penting dalam konstelasi pendirian bangsa dengan mengompromikan nasionalisme dan agama.

Gus Dur sendiri bukan seorang elite politik seperti yang lainnya. Sepak terjangnya, dipandang kerap menimbulkan hal-hal kontroversial—terlalu nekad—idealis sempurna bagi seorang politisi yang memandang karir politikus jangka panjang. Akan tetapi, justru hal itulah yang mengantarkannya duduk berkuasa, seperti sebuah mukjizat untuk meletakkan dasar reformasi demokratis yang kita nikmati hingga kini. Apa yang dikerjakannya, menjadi teladan sosok pemimpin gerakan moral kebangsaan. Gus Dur memandang rakyat tidak dengan kacamata telanjang, melainkan kacamata keimanan, yakni dengan mata hati.

Bagi orang-orang terdekatnya, sebelum Gus Dur semasa menjabat sebagai Presiden RI dan setelahnya, gayanya sama saja. Ia tetap seorang humoris yang dekat dengan siapapun, tanpa memandang besar kecil, kaya miskin, seniman atau agamawan. Rakyat dibebaskan mondar-mandir Istana Presiden dengan berpakaian sederhana ala kadarnya. Kala itu, tidak banyak orang dapat membaca pikiran-pikirannya yang jauh kedepan. Bahkan ia adalah sosok pemberani, pendobrak kesetaraan, rela mengorbankan reputasinya, dan kritis rasional terbuka.

Seorang tokoh yang dicintai seluruh lapisan masyarakat ini, lahir dari kalangan tradisionalis pesantren dan Nahdlatul Ulama yang menguasai khazanah Islam klasik maupun kontemporer sekaligus. Karenanya, tidak sedikit orang yang menganggap dirinya seorang modernis universal dalam peradaban Islam di abad ke-21 ini. Lebih dari itu, beberapa kalangan kecil NU menganggap Gus Dur sebagai waliyullah (kekasih Allah). Manusia unik yang hampir tidak kita temukan dewasa ini.

Pemikiran Gus Dur yang menitikberatkan modernisme Islam transformatif atau dalam istilahnya ‘membumikan Islam’, tetap kritis pada fenomena modernisme universal dengan menggunakan pisau bedah tradisionalisme Islam. Menurut John L Esposito dalam buku Makers Contemporary (2001), menyebut Gus Dur adalah seorang pembaharu modern, tapi bukan seorang modernis. Apa yang dikatakan Esposito dalam menggambarkan sosok Gus Dur, sangat tepat. Pendekatan kultural dan corak tradisi pesantren, tetap setia menjadi dasar pemikiran dan perilaku kesehariannya.

Wataknya yang kosmopolitan dan universal itu, tercermin dalam pemikiran dan tindakan sebagai basis ajarannya yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia membuktikan dengan banyak memberikan perlindungan dan dukungan untuk masyarakat yang diperlakukan tidak adil—dizalimi oleh kesewenang-wenangan—menjadi sangat inklusif yang semakin membuka kemungkinan-kemungkinan saling pengertian di antara perbedaan dan toleransi pada era modern dalam perkembangannya. Karena konsep Islam sendiri merupakan agama terbuka dan universalisme atas relevansi sosial yang dalam bahasa kontemporer disebut demokrasi kerakyatan atau civil society. Demikian kiranya gambaran sikap moderat dan keseimbangan Gus Dur.

Ke depan, dengan apa yang telah ditanam oleh Gus Dur yang saat ini kita menikmati, membelalak mata rakyat Indonesia yang semakin terbuka. Multikulturalisme dalam komposisi penduduk yang beragam di negeri ini, terus menjadi tantangan integrasi dan identitas nasional yang berakibat pada pembangunan nasional (national building), dan juga keamanan nasional. Demokrasi pluralistis yang ditancapkan Gus Dur 20 tahunan yang lalu, tidak hanya estetika perkumpulan berbagai aneka warna perbedaan, tetapi sebuah cita-cita entitas yang telah dijanjikan para founding fathers kita, yakni keragaman yang mempersatukan. Dalam konteks kebangsaan kita disebut Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tetapi tetap satu kesatuan.

Kini, kita sedang menuju tangga demokrasi. Namun, beberapa pihak elite politik terus mendegradasi sosial demokrasi melalui wacana populisme dan politik identitas yang bersifat partikular. Bangsa kita terus mengalami resesi demokrasi yang merosot oleh biang kerok perilaku koruptif pejabat negara dan kelompok-kelompok fundamentalisme Islam yang dalam bahasa Menteri Agama, Gus Yaqut disebut sebagai populisme Islam. Mereka masih dihinggapi angan-angan utopis romantisme kejayaan masa lalu untuk membangun pemerintahan Tuhan. Tanpa memandang realitas kehidupan global.

Lembaga indeks demokrasi, The Economist Intelligence Unit, menunjukkan rating demokrasi yang terus menurun. Dari tahun 2016 yang masih menempati peringkat ke-48 dari 167 negara, menukik ke peringkat 64 dengan skor hanya 6,39%. Di sinilah peran kita sebagai penerus Gus Dur untuk tidak bosan-bosannya mengingatkan seluruh elemen bangsa ini, agar tetap pada jalur kritik-konstruktif dan prinsip moderat yang menjunjung tinggi sikap demokrasi kerakyatan.

Rapor Indonesia yang terus menurun itu dipandang sebagai negara dengan demokrasi yang cacat akibat budaya politik yang illiberal, menguatnya intoleransi, dan politisasi agama. Menurut Gus Dur (1999), di negeri kita, demokrasi belum tegak dan kokoh. Demokrasi masih pada tataran hiasan luar yang bersifat kosmetik daripada landasan pengaturan hidup yang sesungguhnya. Ia mencita-citakan umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas, mampu memahami orang lain, menumpahkan kebersamaan yang utuh dengan segala pihak, dan menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi. Akankah cita-cita Gus Dur dalam mentransformasikan politik demokratik kerakyatan dapat diinternalisasi menjadi budaya demokrasi Pancasila dalam konstelasi politik kita hari ini?

Seperti halnya keberhasilan Gus Dur dalam mentransformasikan reformasi menuju demokrasi kerakyatan, yakni memperjuangkan kebebasan yang dimulai dari ketersediaan moralitas spiritual dalam kehidupan berbangsa. Untuk itu, ia rela melepas jabatannya sebagai presiden RI ketimbang manuver politik untuk mempertahankan, akan tetapi konflik horizontal atau chaos penumpahan darah rakyat tak terhindarkan.

Karena baginya, tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan, ia dalam kalamnya yang dikutip banyak tulisan. Sebagaimana kemerdekaan, tidak begitu saja merah putih berkibar di atas tingginya tiang. Kita harus mencapainya dengan segala pengorbanan demi kerakyatan dan kemanusiaan.

Related posts
KolomNasihat

Merehabilitasi Sifat Narsis

Media sosial telah menjadi candu bagi masyarakat modern, khususnya anak muda. Banyak peningkatan terjadi setelah munculnya Medsos, salah satunya, meningkatnya narsisme dalam…
Kolom

HTI Bentuk Nyata Negara Teokrasi Yang Gagal

Walaupun Hizbut Tahrir Indonesia HTI) memang secara resmi dibubarkan pemerintah, akan tetapi cita-cita membangun negara berbasis keagamaan masih tetap mengngalir hingga saat ini. Entah simpatisan HTI yang memang cerdik menggunakan kesempatan, atau pemerintah yang terlalu baik sehingga impian HTI tentang negara teokrasi sampai sekarang masih subur.
Dunia IslamKolomNasihat

Ramadhan, Momentum Memperbaiki Diri

Hingga detik ini, masih banyak orang menyia-nyiakan keberkahan bulan suci Ramadhan. Masih banyak orang yang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga. Masih…