Setiap tahun, pada 10 Desember, kita dan seluruh masyarakat dunia selalu tidak luput merayakan Hari Hak Asasi Manusia. Merayakan juga mengingatkan, jika hak asasi yang ada dalam diri setiap manusia harus dapat diperjuangkan kebebasannya, tanpa terkecuali dan tentu dengan batasan-batasannya. Negara kita, dengan ikhtiarnya melindungi dan menegakkan hak setiap warganya, maka dibentuk suatu lembaga hukum, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Satu wadah yang mengkaji dan meneliti berbagai instrumen nasional hingga internasional yang terkait hak asasi manusia. Namun, yang menjadi persoalan dalam perjalanannya, Komnas HAM kerap kali bahkan cenderung lalai menjalani fungsinya sebagai lembaga aspirasi masyarakat. Keberadaannya selalu menjadi soal banyak kalangan, masihkan komitmen ia memperjuangkan hak-hak asasi setiap warga negara?
Setiap negara berhak melindungi dan menjamin hak-hak warganya. Baik dalam sektor pendidikan, sosial, kesehatan, maupun hak hidupnya. Warga negara berhak atas hak untuk menikmati kehidupannya serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai kehidupan yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera. Karena itu, manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dikaruniai seperangkat hak yang melekat kepadanya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang. Kita, sebagaimana termaktub dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945, dijamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Namun, masalah penegakkan HAM masih menjadi persoalan, sebab ketidakseriusan menegakkan kasus-kasus HAM oleh penegak hukum dan ketidakkonsistenannya Komnas HAM sebagai lembaga masyarakat. Padahal, penegakkan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Harus diakui, bersamaan dengan terbukanya arus globalisasi dan informasi telah membawa kita masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional. Guillermo O’Donnel memahaminya, sebagai suatu interval waktu setelah berakhirnya suatu rezim otoritarian menuju ke arah berkuasanya rezim baru yang diharapkan lebih demokratis. Tinggal, bagaimana kita, negara, dan Komnas HAM mawas diri tentang fungsinya masing-masing dalam memperjuangkan hak asasi manusia.
Kenyataannya yang terjadi, di samping kurang keseriusannya negara dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM. Di sisi lain, Komnas Ham sebagai lembaga independen yang diharapkan dapat menjadi wadah aspirasi masyarakat dalam menuntut hak-haknya, malah kerap kali luput terhadap fungsinya. Dua puluh tujuh tahun, sejak lahirnya 7 Juni 1993 yang lalu, Komnas HAM belum menampakkan kinerjanya yang memuaskan. Malah, selama ini ia cenderung alpa dan politis.
Bukan tapa alasan dan bukti, sedikitnya ada beberapa kasus HAM yang mestinya diperjuangkan, tetapi dikesampingkan. penyelidikan kasus penembakan warga sipil di Paniai Timur, Papua Barat, Desember 2014 yang melibatkan TNI dan Polri, misalnya. Usai insiden berdarah itu, Komnas HAM membentuk tim penyelidikan pada Januari 2016 dan tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM di Paniai, Maret 2016. Namun, usai membentuk tim penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan tak ada aktivitas pelanggaran di sana.
Penyelesaian kasus vaksin palsu yang mencuat dan mengagetkan masyarakat pada Juli 2016 yang lalu. Hingga kini, Komnas HAM belum merilis rekomendasi publik tentang bagaimana pemerintah harus menindaklanjuti kasus ini. Padahal, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah mengajukan laporan kepada Komnas HAM pada 25 Juli 2016, bahwa telah ada seorang bayi yang ditemukan meninggal setelah terpapar vaksin palsu di sebuah klinik di Jakarta pada 18 Mei 2017 lalu.
Terbaru dan belum lama dirilis, Kejaksaan Agung belum putuskan tragedi Semanggi 1998 masuk dalam pelanggaran HAM berat. Pasalnya, Komnas HAM sampai perdetik ini belum juga melengkapi dan merampungkan pengusutan kasus perkara, sehingga berkas-berkas yang ada belum memenuhi syarat formil dan materil. Penanganan kasus HAM mandeg karena terus menerus terjadi bolak-balik berkas kasus antara Komnas HAM dan sejumlah lembaga pemerintah lain, seperti Polri. Ketidakadaannya kejelasan dari Komnas HAM hingga saat ini, sehingga berdampak pada tiga kasus di atas dan masih banyak kasus-kasus yang lainnya terbengkalai. Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi, Khalisah Khalid mengatakan Komnas HAM seolah hanya berlindung di bawah kewenangannya.
Memang, kewenangan Komnas HAM terbatas hanya sekadar mengajukan rekomendasi penanganan pelanggaran HAM kepada pemerintah. Namun, di balik keterbatasan itu, seharusnya Komnas HAM dapat bekerja ekstra, setidaknya dapat lebih memperjuangkan penegakkan kasus-kasus HAM tersebut. Bukan malah, keterbatasan wewenang menjadikannya lemah dan tidak transparan, sehingga yang terlihat publik dari Komnas HAM adalah lembaga penuh dengan sarat politik. Tebang pilih, mana yang lebih menguntung dan mana yang tidak.
Komnas HAM harus dapt kembali ke khittahnya sebagai lembaga perjuangan hak-hak asasi warga negara. Mawas diri, jika dilahirkan dengan segala beban dan tanggung jawabnya memperjuangkan HAM, sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993. Yakni, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undangundang Dasar 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Serta, dapat meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Sejujurnya, masyarakat masih memiliki harapan besar kepada Komnas HAM sebagai lembaga independen dalam memperjuangkan hak-hak warga negara. Dua puluh tujuh tahun, adalah usia yang relatif masih muda sebagai lembaga. Masih banyak waktu untuk berubah dan kembali pada jalan yang baik. Dan tentunya, untuk tetap konsisten pada jalurnya, yakni memperjuangkan hak asasi manusia, bukan hak-hak hidup pribadi segelintir orang di dalamnya. Cepat atau lambat, Komnas HAM harus sadar dengan hal ihwal ini. Jika tidak, masyarakat tidak saja melayangkan mosi tidak percaya, tetapi juga meredupkan Komnas HAM dengan segala beban-beban yang ditanggungnya, end!
Pendek kata, menyaksikan kejanggalan-kejanggalan kinerja Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM yang sedemikian itu, masihkan ia komitmen berada dalam jalur memperjuangkan hak asasi manusia?
Keren bgt jar tulisannya