Kolom

Nasionalisme Kita Bukan Membela Kriminal

3 Mins read

Penahanan Muhammad Rizieq Syihab (MRS), Sabtu (12/12/2024) di Mapolda Metro Jaya masih menuai pro dan kontra. Yang terakhir ini, tidak lain adalah sedikit pengikutnya yang militan itu. MRS ditahan setelah polisi memeriksanya sebagai tersangka dalam kasus kerumunan massa yang terjadi di sekitar rumahnya di Petamburan, Jakarta Pusat. Ia ditahan di Rumah Tahanan Ditres Narkoba Polda Metro Jaya untuk 20 hari ke depan. Penahanan terhadap MRS tidak saja membuat marah para pengikutnya, tetapi juga menuntut untuk dibebaskannya MRS dari tahanan. Seperti, yang dilakukan aksi massa di mapolres Ciamis dan Aliansi Umat Islam Sulses, Minggu (13/12/2024).

Hal ini wajar-wajar saja terjadi, jika kita melihat MRS dari kacamata FPI dan simpatisannya. Apalagi, doktrin yang dibangun dalam diri mereka adalah MRS selalu benar. Namun, lucu dan memprihatinkan jika persoalan MRS disimak dari kacamata objektif dan kebangsaan. Pasalnya, tidak saja dari segi historis tindak-tanduk MRS, tetapi juga dari segi yuridis keberadaan MRS sudah dalam posisi bersalah. Apalagi, ia disangkakan dengan dua pasal sekaligus. Yakni, Pasal 216 KUHP tentang melawan petugas dan Pasal 160 tentang Penghasutan. Karena itu, lucu dan kita patut menyoal kepada segelintir pengikut MRS itu. Kenapa membela mati-matian junjungannya sedemikian, padahal ia adalah kriminal. Dan tentu, jika kita melihat dari kacamata kebangsaan, nasionalisme kita adalah nasionalisme yang bukan membela kriminal, melainkan melawan!

Selayaknya kriminal atau pelaku tindak pidana, maka sudah seharusnya diproses hukum. Siapapun, baik penguasa, maupun masyarakat bawah harus dapat menghormati proses hukum. Tidak ada kata dan dalih yang dibenarkan dalam menuntut pembebasan kriminal. Di mana pun dan kapanpun, hukum harus tetap ditaati dan ditegakkan. Tidak menyoal ia orang kaya atau miskin, ia penguasa atau yang dikuasai, di mata hukum kita sama. Lucius Calpurus Piso Caesoninum (43 SM) menegaskan, fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Dalam artian, kondisi segawat apapun hukum harus tetap berdiri tegak tak tergoyahkan.

Kita hidup dalam ruang lingkup negara, di mana praktik berbangsa-bernegara di atur dengan apik oleh hukum atau undang-undang. Yang sudah barang tentu, dalam proses pembuatannya tidak kabur dari nilai-nilai dan norma kebangsaan kita, yang termaktub dalam Pancasila dan ditafsiri oleh UUD 1945. Dalam konteks ini, keberadaan MRS di mata hukum sama dengan kita, tidak punya tempat spesial dan dispesialkan. Tidak di bawah, tidak juga di atas. Karena itu, baik MRS, maupun pengikutnya sudah sepatutnya mentaati dan meghormati proses hukum.

Jika toh tidak setuju dengan putusan atau sangkaan yang diberikan kepada MRS, UU kita mengatur proses bagaimana prosedurnya, mengajukan praperadilan, salah satunya. Bukan malah turun aksi, menuntut dibebaskannya MRS tanpa syarat dan proses hukum. Dipastikan, hal demikian adalah kesalahan. Sebab, merupakan prilaku chauvinistic atau suatu tindakan yang berlebihan tanpa melihat dari kacamata objektif. Padahal, sudah jelas nasionalisme kita menolak perasaan dan sikap yang berlebih-lebihan.

Adanya hukum dibuat tidak lain sebagai suatu alat dalam mencapai sesuatu yang diinginkan bangsa menuju kebaikan. Karena itu, dalam praktiknya siapa pun harus dapat menjalani dan mentaati, demi terwujudnya tatanan negara-bangsa yang seimbang dan berkeadilan. Jika Aristoteles berpendapat, bahwa hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Maka, Jeremy Bentham memaparkan, bahwa hanya dalam ketertiban setiap orang akan mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan. Lantas, bagaimana kita menciptakan kebahagiaan, jika ketertiban hukum saja MRS langgar?

Keberadaan hukum di tengah masyarakat adalah untuk membuat batasan-batasan yang mengikat kita yang bergumul di dalamnya. Dan yang perlu diketahui, kebebasan yang dibatasi oleh keberadaan hukum, tidak lain sebagai upaya menciptakan masa depan bangsa yang lebih cerah. Dibandingkan, dengan kebebasan total yang berujung pada kekacauan. Sedemikian indah dan terstruktur nasionalisme kita menjadi jaminan dan konsep dalam membangun tatanan bangsa yang berkemajuan serta berkeadilan.

Dalam konteks kebangsaan, MRS harus dapat objektif dan kooperatif dalam menjalani proses hukum yang disangkakan kepadanya. Sebagai figur yang memiliki segelintir pengikut yang fanatik, sudah sepatutnya ia menjadi teladan dalam berbangsa-bernegara. Begitu pun massa FPI dan para simpatisan MRS, mereka harus dapat menghormati proses hukum MRS. Sebagai pengikutnya yang fanatik, seharusnya mereka dapat memberi semangat dan dukungan moral kepada MRS. Memberi masukan-masukan, bahwa penjara bukanlah akhir dari segalanya, melainkan jalan awal menuju perubahan yang lebih baik.

Pendek kata, sikap demikianlah yang telah diwariskan jauh-jauh hari oleh nasionalisme kita. Bukan malah membela mati-matian MRS, menganggap ia benar dan hukum salah. Ingat, nasionalisme kita bukan membela kriminal, tetapi melawan!

Related posts
Kolom

Vaksinasi Lintas Agama, Memperkuat Persatuan Bangsa

Masjid Istiqlal menjadi tempat untuk melakukan vaksinasi para pemuka agama. Kegiatan tersebut dilaksanakan bukan hanya kepada yang beragama Muslim saja, tetapi untuk semua agama. Aktivitas yang melibatkan tokoh lintas agama ini menjadi salah satu alat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pasti, nantinya hal tersebut akan menambah kerukunan warga antar agama. Sebab, para pemuka agama memiliki peran sentral demi meyakinkan masyarakat untuk membuktikan keamanan vaksin, sehingga program vaksinasi dapat berjalan dengan lancar.
Kolom

Indonesia Sehat Tanpa Hoaks

Angka penyebaran berita bohong atau hoaks masih terus tumbuh dengan pesatnya. Hoaks telah banyak menguasai media-media sosial, meracuni akal sehat pikiran manusia…
BeritaKolom

Edukasi Komunikasi Netizen Indonesia

Hasil laporan tahunan Microsoft tengah menampar netizen Indonesia. Pasalnya, netizen Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Tenggara oleh Microsoft dalam laporan yang…