Sebuah video viral di media sosial, menampilkan ‘orasi’ yang mengajak pendengarnya untuk melakukan jihad dan mati syahid membela Islam. Tidak ada angin tidak ada hujan, aktor dalam video tersebut, Muhammad Rizieq Syihab (MRS), yang disebut-sebut sebagai Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), mengajak para pengikutnya untuk meridhoi anak-anaknya yang hendak pergi jihad dan merelakan mereka mati syahid.
Berapi-api ia menyeru, “kalau besok anak-anaknya berjuang bela Islam setuju atau tidak bu? Ridho tidak? Besok kalau anaknya datang ke ibu, bu permisi mau jihad, lu jihad ama siapa tong? Mau jihad ama habaib ama ulama jangan dilarang bu ya, ibu langsung angkat tangan, sono pergi tong mudah-mudahan gak balik lagi. Amin.”
Ia menyambung, “ibu punya anak mati syahid, orang yang mati syahid di jalan Allah, dia bakal berdiri di pintu surga, untuk apa? Untuk mengajak 70 anggota keluarganya masuk surga, jadi takut tidak mati syahid? Mau tidak mati syahid? Takbir!”. Begitu kiranya video singkat tersebut berbunyi.
Memprihatinkan memang, ketika sejumlah orang, khususnya ibu-ibu yang memiliki keterbatasan pengetahuan agama terbuai ceramah ajakan jihadnya itu. Di samping iming-iming tiket masuk surga yang merupakan ciri khas kelompok radikal, membela Islam yang dimaksud MRS adalah dengan cara menjadi anak buahnya. Tentu saja, menjadi salah satu dari barisan orang-orang yang membela kepentingannya dalam wujud apapun.
Secara faktual, ceramah yang disampaikannya adalah hoaks (kebohongan). Bukan hanya karena makna jihad yang dibelokkan, tetapi juga nash al-Quran dan hadis yang disalahpahami sekaligus ditafsirkan sembarang. Parahnya, masih saja ada yang terlena dengan orasinya, hanya karena gelar habib yang disandangnya. Padahal kita semua tahu, bahwa gelar tak serta-merta menjamin akhlak terpuji.
Sebelumnya perlu dipertanyakan kepada yang terhormat MRS. Apakah jihad hanya dapat dilakukan dengan habaib? Apakah jihad sebatas mu’amalah dengan ulama saja? Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah berpesan kepada seorang sahabat yang kedua orang tuanya masih hidup, untuk berjihad kepada mereka tanpa terjun ke medan perang melawan kafir harbi?
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Ash, dia berkata bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Nabi Muhammad SAW kemudian meminta izin (kepada beliau) untuk berjihad. Beliau SAW bertanya, apakah kedua orang tuamu masih hidup? Laki-laki itu menjawab, “iya”. Nabi SAW bersabda, maka kepada keduanya itulah kamu berjihad [HR Bukhari dan Muslim].
Melihat situasi sosial politik pada saat hadis ini disampaikan, jihad kepada orang tua yang dimaksud adalah mengabdi, berbakti, dan memuliakan keduanya. Menjaga kedua orang tua adalah jihad seorang anak, terlebih saat keduanya memasuki usia lanjut. Jihad kepada orang tua serupa dengan usaha berperang melawan orang-orang kafir harbi, yakni orang-orang non-Islam yang memerangi masyarakat Muslim dan mengancam wilayah serta keselamatan jiwa mereka.
Perlu ditekankan di sini, bahwa mati syahid, bukan tujuan jihad di jalan Allah, termasuk jihad di medan perang (khusus untuk melawan kafir harbi). Namun, mati syahid adalah apresiasi bagi setiap Muslim yang berjuang melakukan kebaikan di jalan yang benar. Jika MRS mengatakan, “sono pergi tong, mudah-mudahan gak balik lagi. Amin”, maka ia telah meletakkan kematian sebagai tujuan jihad. Salah besar wahai yang terhormat MRS.
Dapat dibayangkan, jika mati adalah tujuan jihad di medan perang, maka sudah berapa banyak sahabat Nabi SAW yang sengaja meninggal atau sengaja dikalahkan oleh musuh demi mati syahid. Faktanya, dari 27 peperangan, Rasulullah SAW berpartisipasi dalam 9 perang. Dan dari seluruh perang yang terjadi, terdapat sekitar 259 orang Muslim saja yang terbunuh. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan musuh yang tewas di lapangan, yaitu 759 orang (Mansurpuri: 1997).
Hal tersebut membuktikan, bahwa mati syahid, bukan tujuan jihad dan setiap nyawa Muslim itu berharga. Syahid adalah bentuk apresiasi yang diberikan kepada para pahlawan pembela bangsa negara atas kontribusinya guna menyelamatkan masyarakat Muslim dari ancaman musuh, kafir harbi, yang hendak memusnahkannya.
Adapun ceramah MRS yang menyebutkan, anak yang mati syahid akan berdiri di pintu surga dan mengajak 70 orang keluarganya ikut masuk surga itu hoaks. Memang, ada sebuah hadis hasan (hadis yang kualitas sanad dan matannya baik) yang menyebutkan bahwa seseorang yang mati syahid itu dapat memberikan syafa’at kepada 70 anggota keluarganya. Namun, perkataan MRS ditujukan agar masyarakat Muslim tak takut mati demi membela ‘Islamnya’, walaupun dengan cara kekerasan.
Misinterpretasi nash tersebut, dapat berujung kerugian. Bagaimana tidak? Keluguan ibu-ibu dimanfaatkan MRS untuk melancarkan aksinya, melawan masyarakat Muslim yang dianggapnya salah, sesat, dan dzalim. Bahkan, pemerintah yang juga Muslim, terus-menerus ditentang, seolah-olah ia dan para pengikutnya adalah implementasi orang-orang Muslim yang paling benar sejagat raya.
Padahal, jihad, yang bermakna usaha sungguh-sungguh, dalam kondisi damai, bukan jihad mengangkat pedang atau jihad saling membunuh. Jihad yang tepat untuk dilaksanakan pada kondisi saat ini adalah jihad berbakti kepada orang tua, jihad menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia, jihad orang tua merawat anak-anaknya, dan masih banyak lagi.
Barangkali, inilah saatnya kita memahami dan merefleksikan kembali perkataan Nabi SAW, al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi, seorang Muslim adalah orang yang menyelamatkan kaum Muslim dari lisan dan tangannya [HR Bukhari].
Artinya, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya, bahwa Muslim adalah orang yang membuat Muslim lain selamat dari lisan dan tangannya, baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Lisannya tak digunakan untuk melukai orang lain, apalagi berbohong. Perilakunya tidak merugikan orang lain, apalagi melanggar hukum.
Dengan demikian, ceramah jihad yang disampaikan MRS itu adalah hoaks. Teks hadis ditafsirkan seenaknya sendiri tanpa melihat sejarah, bagaimana teks tersebut diturunkan. Atau memang, ia mengedepankan hajat dan tak berniat memahami ajaran Islam secara utuh. Yang pasti, jangan sampai pembodohan ini benar-benar menjadi kepercayaan masyarakat Muslim Tanah Air, karena tak hanya dapat mengancam keutuhan bangsa, tetapi juga merusak kedamaian semua umat beragama.[]