Kemarin, sebuah tagar berbunyi, “kalian adalah syuhada”, menjadi perbincangan warganet di laman twitter. Kalian yang dimaksud dalam tagar tersebut, merujuk kepada 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang terbunuh dalam insiden penembakan di tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50, Senin (7/12/2024) dini hari. Namun, tagar tersebut tidak selaras dengan pernyataan Polda Metro Jaya dan sejumlah barang bukti, yang menunjukkan adanya penyerangan serta perlawanan dari pengikut Muhammad Rizieq Shihab (MRS) terhadap polisi.
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran mengungkapkan, peristiwa itu berawal dari penyerangan terhadap enam anggota Polri saat melakukan penyelidikan, terkait rencana pemeriksaan Pemimpin FPI, MRS yang dijadwalkan hari Senin (7/12) pukul 10.00. Kompas.id (8/12) juga mengabarkan, bahwa penyelidikan tersebut dilakukan karena ada informasi yang mengabarkan, akan terjadi pengerahan massa saat MRS diperiksa.
Karena keselamatan jiwanya terancam, polisi bertindak tegas dan terukur, ungkap Fadil. Setelah terjadi baku tembak di antara keduanya, enam orang dari kelompok yang diduga pengikut MRS meninggal dan empat orang lainnya melarikan diri. Tidak hanya pernyataan, Fadil yang didampingi Pangdam Jaya Mayor Jenderal Dudung Abdurachman juga memperlihatkan barang bukti berupa senjata api dan senjata tajam yang digunakan untuk menyerang polisi.
Meskipun terdapat berbagai pernyataan yang berseberangan dari apa yang dinyatakan oleh pihak kepolisian, tetapi pernyataan dan sanggahan tersebut diungkapkan tanpa dasar serta bukti konkret, sehingga kita tidak menerimanya sebagai argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Maka dari itu, penyerangan Laskar FPI terhadap pihak kepolisian mengindikasikan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Bahkan, perilakunya yang melawan hukum, tindakan yang mengandung ancaman dan kekerasan, serta intimidasi terhadap pemerintah yang dilanggengkannya termasuk ke dalam aksi terorisme.
Disebut sebagai perilaku yang melawan hukum, karena massa dan simpatisan FPI, termasuk Laskar FPI, tidak menghendaki jika Pemimpinnya, MRS terlibat dalam hukum negara. Terbukti dari mangkirnya MRS setelah dua kali dipanggil polisi yang didukung oleh para pengikutnya. Padahal, menurut Kombes Yusri Yunus, Kabid Humas Polda Metro Jaya, statusnya dalam pemeriksaan ini masih sebagai saksi. Jika memang tak bersalah, lantas mengapa ia harus berputar-putar dan terus-menerus menghindar? Kecuali jika MRS menginginkan sistem pemerintahan yang lain, maka sudah sewajarnya ia berlaku demikian.
Sedangkan kekerasan dan intimidasinya terhadap pemerintah yang sah, bukan hanya tampak jelas dalam insiden penembakan di tol Jakarta-Cikampek di atas, melainkan juga dalam sejumlah kasus yang marak belakangan, seperti massa FPI yang mendemo dan mengintimidasi ibunda Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) di kediamannya, sampai hasutan untuk memenggal pelaku maksiat di Tanah Air.
Ancamannya terhadap pemerintah mengingatkan kita tentang perilaku kaum Khawarij, sebuah sekte Islam paling awal yang menjadi pembelot dan penentang pemerintah yang mematikan, mereka tak segan mengangkat senjata demi melawan pemerintah. Akibatnya, fitnah, adu domba, perpecahan, dan pertumpahan darah menyeruak di mana-mana. Aksi pemberontakan yang disertai ancaman dan kekerasan dari pihak oposisi, kerap merusak kesejahteraan dan kedamaian, bahkan negara itu sendiri.
Pemenggalan, pembunuhan, dan kekerasan adalah ciri khas ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), salah satu kelompok teroris sadis. Persis, apa yang dilakukan oleh FPI saat ini serupa dengan tindakan-tindakan yang dilakukan ISIS. Mereka memanfaatkan media, terutama media sosial sebagai alat propaganda dan tak segan memenggal siapa saja yang tak sepaham dengannya.
Dari luar, mereka tampil seolah-olah sebagai pembela Islam terdepan untuk membela orang-orang kafir, melawan hegemoni Barat, dan membela masyarakat melawan penguasa yang dzalim. Namun, tingkah laku mereka sama sekali tidak mempraktikkan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Adapun melawan pemerintah yang sah dengan upaya berupa ancaman dan kekerasan berjubah membela kepentingan banyak orang atau menyuarakan suara rakyat adalah aksi teroris. Teroris tak hanya memaksakan tujuan dan kepentingannya untuk diterima publik, lebih dari itu, ia mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa FPI yang jelas-jelas melabeli kelompoknya sebagai pembela Islam tidak mempraktikkan ajaran Islam? Justru, sekelompok orang tanpa embel-embel Islam yang dengan sungguh-sungguh mempraktikkan ajaran Nabinya dalam keseharian. Mematuhi aturan pemerintah dan hukum negara, hingga hidup sadar kerukunan dan berdampingan antarumat beragama, seperti yang terjalin dalam masyarakat Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.
Dalam hal menaati pemerintah dan hukum yang berlaku dalam negara yang ditempati, Nabi Muhammad SAW berpesan, dengar dan taatilah sekalipun yang dijadikan pemimpin untuk kalian adalah seorang budak Habasyi, seolah-olah kepalanya seperti kismis [HR Bukhari].
Hadis tersebut membuktikan, Rasulullah SAW tidak melegalkan pemberontakan terhadap pemerintah, melainkan memerintahkan umatnya untuk mendengarkan pemimpin yang sah dan menaatinya, termasuk menaati hukum yang berlaku dalam wilayah tersebut. Sekalipun pemimpin itu adalah seorang budak Habasyi (Ethiopia), yang berkulit hitam dan berpenampilan buruk.
Oleh karena itu, melawan polisi, lembaga penegak hukum yang sah adalah bentuk pemberontakan dan terorisme, bukan jihad, sama sekali bukan! Apalagi di tengah situasi damai seperti sekarang. Jihad, jika bersandar pada hadis di atas, salah satunya dapat dilakukan dengan cara memperjuangkan keutuhan negara. Menaati pemerintah yang sah dan menyelesaikan masalah sesuai prosedur serta hukum yang berlaku.
Dengan segala aksi teror, tekanan, dan ancamannya terhadap lembaga pemerintah yang sah, menandakan bahwa 6 anggota Laskar FPI yang mati tertembak itu adalah teroris, bukan syuhada. Sebab mereka membela sesuatu yang tidak diperintahkan dalam ajaran Islam. Syuhada, bentuk plural dari kata syahid, baik dalam al-Quran, maupun dalam hadis Nabi Muhammad SAW, ditujukan kepada setiap Muslim yang mati saat menjalankan tugas kebaikan guna memperjuangkan kemaslahatan bersama.
Sayangnya, orang-orang yang tak memahami betul apa itu syahid dan kepada siapa kata itu disematkan, nampaknya dengan mudah terbungkam dan termakan narasi yang memutarbalikkan fakta. Bahkan, ikut-ikutan meramaikan akun media sosialnya dengan tagar kalian adalah syahid, tanpa tahu substansi mengerikan yang ada di baliknya.
Dengan demikian, 6 anggota Laskar FPI yang mati terbunuh dalam insiden penembakan di tol Jakarta-Cikampek itu disebabkan penyerangan dan ancaman yang dilakukannya terhadap petugas kepolisian. Dan barang siapa yang melawan pemerintah, termasuk petugas kepolisian adalah teroris, sehingga dapat dipahami, bahwa mereka adalah teroris, bukan syuhada.[]