Kolom

Maher At-Thuwailibi Bukan Ulama

2 Mins read

Setelah menghina Habib Luthfi bin Yahya di akun Twitternya, Maaher At-Thuwailibi alias Soni Eranata ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersebut berdasarkan laporan polisi dengan nomor LP/B/0677/XI/2020/Bareskrim pada 27 November 2020. Ia dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah mengunggah konten di media sosial pribadinya dengan cuitan yang dinilai mengandung ujaran kebencian yang bernuansa SARA.

Bukan pertama kali Maaher At-Thuwailibi melakukan ujaran kebencian. Sebelumnya, ia pernah dilaporkan oleh Polda Jawa Timur karena dugaan menghina Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Laporan ini dibuat oleh Ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) Jawa Timur. Dengan adanya fenomena ujaran kebencian yang dilakukan Maheer sudah bisa dipastikan, jika orang tersebut tidak layak dipanggil ulama. Kelakuannya mencoreng nama baik Islam serta gelar ulama negeri ini.

Kiranya, fenomena Maaher At-Thuwailibi, kian memperpanjang daftar kasus ustadz atau ulama yang gemar menghina dan menebar kebencian terhadap sesama anak bangsa. Padahal, seorang ustadz sejatinya adalah ulama yang harus menyampaikan kebaikan, cinta kasih, persaudaraan, dan perdamaian dalam dakwahnya. Menebar kebencian bukanlah ajaran agama, terlebih dalam Islam.

Sebenarnya, benteng terakhir umat Islam berada di tangan para ulama. Jika muruah ulama baik, Islam akan baik. Jika muruah ulama bopeng, Islam pun akan bopeng. Premis ini tentu bukan dalam konteks Islam sebagai ajaran, melainkan untuk konteks citra yang memberikan warna bagi kehidupan beragama.

Sementara itu, ulama memang tidak semuanya lurus. Ada juga ulama yang tidak mencerahkan, tidak mengedukasi, tetapi justru memprovokasi umat yang disebut dengan istilah ulama suu’. Ulama suu’ atau tercela memang bisa saja kehadirannya tidak mudah diendus oleh umat, karena ia pandai bersembunyi di balik retorika agama yang ia mainkan.

Meskipun demikian, satu hal yang pasti bahwa ulama suu’ merupakan bagian dari kelompok perusak agama. Dalam QS. Al-Baqarah Ayat 11 dam 12. Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi:” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya. Artinya, ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa ulama suu’ dan kaum perusak agama harus dijauhi, jangan diikuti apalagi dipatuhi.

Dalam konteks ini, ulama suu’ memang jumlahnya tidak banyak. Artinya jika dibandingkan dengan ulama otentik dan sejuk, masih banyak ulama yang sejuk. Meskipun demikian, gerakan ulama suu’ ini sangat meresahkan umat, pun selalu ‘merecoki’ negara. Alih-alih menyerukan persatuan sebagai bagian dari amanat agama, mereka justru malah memecah belah umat dan bangsa.

Bahkan ulama suu’, dalam konteks kehidupan kebangsaan, selalu menghembuskan narasi yang sangat tidak mendidik. Misalnya, ulama yang berada dalam pusaran kekuasaan (pemerintahan) dan selalu mendukung kebijakan pemerintahan disebut dengan ulama ‘gadungan’. Tentu saja, yang demikian itu sangat sesat dan fatal. Sebab, ulama dan politik, baik itu yang menjadi opisisi atau koalisi, sah-sah saja dan dibenarkan oleh agama serta sama-sama mulia, dengan catatan perannya untuk kepentingan dan kemajuan umat.

Memang, harus diakui bahwa ketegasan adalah salah satu model dakwah yang harus dijalankan oleh para ulama. Bahkan ketegasan ini pula yang dicontohkan oleh Nabi dalam membela Islam. Namun, bukan berarti tegas itu harus diejawantahkan dengan mengatakan sesuatu yang kotor-kotor dan kasar serta mudah tersulut (marah). Karena, marah akan menghantarkan orang pada kondisi di mana hawa nafsu lebih dominan menguasai dirinya.

Selain itu, ulama suu’ juga tidak hanya sekedar gemar memprovokasi dan menyebarkan narasi yang tidak benar, namun juga selalu mencari celah untuk selalu meracuni rakyat atau pengikutnya dengan argumentasi yang ‘kaleng-kaleng’, misalnya saja seperti kriminalisasi ulama, pelecehan ulama, penghinaan terhadap Islam dan lain-lain. Singkatnya, tiada hari tanpa menabur kebencian terhadap kelompok yang tidak sependapat dengan mereka. Kata-kata kasar pun menjadi strategi mereka untuk menyulut emosi umat.

Dengan demikian, jelas bahwa Maaher At-Thuwailibi bukanlah seorang ulama sebab ia tidak memahami ajaran agama Islam secara mendalaman. Bahkan, ia sendiri tidak mengamalkan ajaran al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Atas dasar itu, kiranya Maaher At-Thuwailibi tidak memiliki kapasitas untuk berdakwah, ia tidaklah pantas disebut sebagai ulama, karena sejatinya menjadi ulama itu tidak cukup hanya dengan kepandaian retorik saja, tetapi juga dapat melembutkan perilaku.

Related posts
Kolom

Pentingnya Memelihara Peninggalan Bersejarah Untuk Peradaban Dunia

Semua peninggalan sejarah dunia harus dijaga, utamanya yang ada di Indonesia. Karena peninggalan sejarah adalah sebuah warisan pendahulu kita, yang akan menjadi sarana pendidikan dan ilmu pengetahuan baru untuk memperluas wawasan. Banyak sekali manfaat peninggalan bersejarah, yang fungsinya melimpah untuk kemajuan manusia. Maka itu, kita harus terus menjaga dan memelihara peninggalan bersejarah untuk peradaban dunia demi kemaslahatan umat manusia.
Kolom

Myanmar dan Krisis Kemanusiaan

Keadaan genting di Myanmar masih berlanjut, pasca kudeta yang dilakukan Junta Militer 1 Februari yang lalu. Unjuk rasa menuntut dibebaskannya pemimpin de…
KolomNasihat

Paradoks Kaum Khilafah

Pada Tahun 2017, pemerintah mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Dikeluarkannya Perppu tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) No. 2/2017 tersebut…