Aksi terorisme di Indonesia, tentunya bukan lagi hal baru. Termasuk tragedi berdarah yang telah menewaskan 4 orang korban di Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11/2024). Aksi biadab dan tak berperikemanusiaan ini, diduga melibatkan jaringan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora.
Dalam hal ini, tentu kita sepakat untuk bersama-sama mengutuk aksi kekerasan yang menggunakan jubah “agama”. Sebab, teror telah merusak persatuan dan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Sebagaimana yang disampaikan Presiden Jokowi bahwa, “Tindakan yang biadab itu jelas bertujuan untuk menciptakan provokasi dan teror di tengah-tengah masyarakat yang ingin merusak persatuan dan kerukunan di antara warga bangsa”, Senin (30/11/2024). Dengan begitu, atas nama umat beragama, khususnya Islam, kita tidak boleh membiarkan tindakan semacam ini terus terjadi, karena ini sangat merendahkan umat Islam.
Oleh karena itu, tragedi keji yang merusak nilai-nilai kemanusiaan di Sigi, harus dimaknai lebih dari sekadar kutuk-mengutuk. Yang mana, hal ini juga harus dimaknai sebagai peringatan keras bagi umat Islam khususnya, bahwa gerakan-gerakan keislaman yang selama ini dikampanyekan untuk memutus rantai dan jaringan kelompok Islam radikal, ternyata tidak tepat sasaran.
Saat ini, umat Islam harus lebih fokus lagi dalam membangun gerakan anti-radikalisme secara maksimal. Hal itu dapat diwujudkan dengan cara menyatukan persepsi keislaman dan keluar dari konflik keagamaan yang berkepanjangan. Umat Islam harus menjadi solusi atas kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercipta situasi aman, damai, dan tentram, bukan malah sebaliknya, seperti perilaku caci-mencaci sesama umat Islam harus segera diakhiri. Sebab, pada prinsipnya kita semua adalah saudara. Musuh kita yaitu kejahatan dan kekerasan atas nama apapun.
Pasalnya, Islam terlahir sebagai agama yang rahmatan lil’alamin (anugerah bagi alam semesta). Namun, pada kenyataannya, saat ini agama Islam terkesan menunjukkan sisi gelapnya sebagai penghancur dan perusak, serta kalimat takbir yang agung seperti menjadi penyemangat dalam berbuat kerusakan. Hal ini pada dasarnya berakar pada kesalahan pemahaman terhadap pemaknaan ayat-ayat jihad ditambah dengan kedangkalan ilmu agama, sehingga menimbulkan penafsiran yang sempit. Akibatnya, mereka merasa melakukan tindakan kekerasan sudah sesuai dengan ajaran agama yang didapatkan pada teks-teks al-Quran.
Oleh sebab itu, perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam, dapat dipahami dengan jelas bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan semangat dan inti ajaran damai dalam Islam. Islam yang benar adalah Islam yang mengajarkan damai, dan jika ada Islam yang tidak mengajarkan damai, maka itu bukanlah Islam yang diinginkan al-Quran dan Nabi Muhammad SAW karena bertentangan dengan ajaran Islam normatif dan historis sebagai agama damai. Dengan begitu, kita perlu menjadi seorang Muslim yang menghantarkan kedamaian, bukan perpecahan.
Ted Robert Gurr seorang pakar konfik dan terorisme modern sebagaimana yang dikutip Zubaedi (2007), menyebutkan bahwa sejumlah kondisi yang secara umum menjadi penyebab munculnya terorisme modern, yakni, deprivasi relatif (rasa tertindas dan rasa diperlakukan secara tidak adil) yang berlangsung lama, rasa tertekan di bawah sistem yang korup, kolonialisme, ultranasionalisme, separatisme, radikalisme agama, fanatisme ideologi, ras maupun etnik.
Terlepas dari indahnya ajaran agama, memang harus diakui, bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama. Yang mana, proses radikalisme agama dan interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras yang pada akhirnya melahirkan sosok muslim fundamentalis, yang cenderung ekstrem terhadap kelompok lain, serta menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh, meskipun satu agama.
Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang akhirnya mengarah pada aksi teror.
Pemahaman ajaran agama Islam yang sempit, juga menjadi salah satu faktor penyebab munculnya radikalisme. Radikalisme ini yang kemudian melahirkan para pelaku teror. Para pelaku teror yang rela menjadikan diri mereka sebagai martir bom bunuh diri, membuat ketidakstabilan politik, dan memerangi aparat keamanan.
Seperti yang terlihat dalam beberapa minggu terakhir, kita menyaksikan sebuah lakon keberagaman kita yang tak menyenangkan. Yang mana, Front Pembela Islam alias FPI yang merupakan ormas Islam, sering memercikan api provokasi di tengah masyarakat.
Maka dari itu, kita berharap agar FPI segera mengakhiri semuanya dan bersedia menyesuaikan gerakan keislamannya dengan kultur kebangsaan kita. Kemudian dapat menyatukan persepsi dan pandangan keislaman dengan NU dan Muhammadiyah untuk berjuang bersama-sama dalam menjaga Indonesia, yakni salah satunya dengan menumpas paham dan ajaran radikalisme dan terorisme.
Dengan demikian, melihat peristiwa berdarah di Sigi, sebagai umat Islam kita harus tersadar dan cepat bergerak untuk segera menyelesaikan kejadian tersebut. Sebab, tragedi ini bukan hal remeh dan tidak bisa diremehkan. Bagaimanapun, gerakan yang menimbulkan tragedi berdarah ini, melibatkan nama Islam di dalamnya. Oleh karena itu, tragedi ini sangat merendahkan kita sebagai umat Islam. Islam merupakan agama yang memberikan kedamaian, bukan malah menimbulkan kerusakan, bahkan sampai menghalalkan pembunuhan! Stop kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sebab, kalian bukan bagian dari umat beragama.