Pada mulanya, keberadaaan kelompok Muslim yang gemar berperilaku intimidatif dan keras di negeri ini, kurang mendapat simpati maupun sorotan masyarakat. Namun, setelah berhasil menginisiasi gelombang massa protes dalam ‘Aksi Bela Islam’, citra kelompok Islam garis keras berubah dari anarkis menjadi sosok yang heroik. Kelompok tersebut menonjolkan isu etnis dan agama untuk menarik simpati jutaan orang kedalam afiliasinya beberapa tahun silam, dan terus berkembang hingga saat ini. Tidak dapat dipungkiri, ormas konservatif seperti FPI, kini mengayomi tidak sedikit umat Islam yang memiliki semangat keberagamaan yang melonjak tinggi.
Bagaimanapun, kita dapat mengapresiasi orang-orang yang bersemangat untuk mempraktikan apa yang mereka yakini sebagai amal keagamaan, serta mulai mencari tahu tentang ajaran agama. Namun, masyarakat awam yang dalam sekejap memiliki antusiasme atau gairah berlebihan terhadap agama, sangat rentan terjangkit penyakit fanatisme.
Ada sebuah keprihatinan di sini, kebanyakan masyarakat yang sangat bersemagat dalam trend beragama, selanjutnya justru diakomodasi oleh kelompok Islam konservatif dan keras. Hasilnya, kini semakin banyak masyarakat yang mengadopsi paham keagamaan yang berwajah sangar, keras, temperamental, serta berwatak fanatik dan tidak logis, seperti yang disorot media akhir-akhir ini.
Fanatisme ialah keyakinan yang berlebihan terhadap nilai-nilai atau sesuatu yang tidak berdasar pada akal sehat, serta sulit menerima pandangan orang lain. Sikap ini ditandai dengan kepercayaan yang mendalam tanpa pertimbangan yang logis. Karena absennya pertimbangan logis, sikap ini dapat mendatangkan hal-hal yang negatif, seperti emosi yang tidak terkontrol.
Yusuf al-Qaradhawi, seorang cendikiawan muslim modern, menggunakan istilah al-Tatarruf ad-Din untuk menandai praktik ajaran agama dengan tidak wajar dan berlebih-lebihan. Tatarruf ad-Din ialah mengambil posisi pinggir yang berat, memberatkan, dan berlebihan. Kefanatikan jauh dari substansi ajaran agama Islam yang moderat atau di tengah-tengah. Sebagaimana dijelaskan Syaikh Qaradhawi, Berlebih-lebihan, termasuk dalam keagamaan, pada dasarnya tidak disukai oleh tabiat kewajaran mansia, sulit dilakukan secara konsisten, dan sangat rentan mendatangkan pelanggaran atas hak orang lain. Hal demikian merupaka kelemahan dari memilih jalan pinggiran yang sulit.
Fenomena fanatisme bertautan erat dengan berbagai aksi dan reaksi kelompok garis keras (hardliners) di kalangan muslim. Kelompok Islam yang fanatik, acapkali menargetkan beberapa elemen masyarakat yang dirasa tidak mengikuti atau menentang agenda politik keagamaan mereka, sehinga terjadi ketegangan. Mereka tidak segan-segan melakukan persekusi, menyatakan kebencian dan permusuhan, serta menyebarkan intensi konflik pada kelompok lain. Benih perpecahan, kekerasan, dan konflik, sepanjang sejarah manusia, disemai di antaranya melalui fanatisme.
Kelompok Islam garis keras yang menebarkan fanatisme, memang mebuat publik menjadi gerah dan dipenuhi prasangka negatif. Tidak jarang, golongan lainnya bersikap keras pula dalam menghadapi mereka, menggunakan perkataan buruk sebagaimana kalimat-kalimat buruk mereka, secara tidak langsung menjawab tantangan permusuhan mereka. Namun, hal demikian tidak dapat dianggap sah-sah saja, menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam bukunya Islam Jalan Tengah (2017) tindakan kekerasan dan kekasaran tidak akan berhasil melawan sikap ekstrem dan fanatik, malah justru akan menyuburkannya.
Sikap kekerasan tidak akan melahirkan sesuatu selain kekerasan lagi, setiap penekanan yang kuat pasti mengakibatkan ledakan yang dahsyat. Syaikh Qaradhawi memperingatkan bahwa kita tidak seharusnya mengkonfrontir sikap keras seseorang dengan sikap yang sama. Melawan pikiran ekstrem dengan pikiraan ekstrem, fanatisme agama dilawan dengan fanatisme negara, penolakan dengan penolakan, atau kejahatan dengan kejahatan serupa, merupakan pola respons yang tidak tepat dan berbahaya. Syaikh Qardhawi tidak menyetujui penggunaan berbagai bentuk tindakan yang keras kepada kelompok-kelompok ekstrem dan fanatik. Inilah keunikan kita, melawan kebatilan dengan kebaikan merupakan kekhasan dari etika Muslim sejati.
Dalam hal ini, Amirul mu’minin Ali RA adalah suri teladan terbaik dalam menghadapi kelompok fanatik dan ekstrim. Imam Ali RA memiliki pendirian untuk tetap menjaga hak-hak kaum khawarij sebagai muslim, walaupun mereka memerangi dan menuduh Ali RA dengan tuduhan yang sangat keji.
Dengan penuh ketenangan, Imam Ali RA mencukupkan responsnya dengan mengambil sikap mengingkari kebatilan mereka, tanpa melawan tuduhan mereka dengan tuduhan serupa atau mengkafirkan mereka sebagaimana mereka mengkafirkan beliau. Beliau tidak pernah menerima usulan untuk mengambil tindakan represif atau ofensif untuk meluruskan kaum Khawarij. Bahkan, beliau menetapkan mereka dalam lingkaran Islam, sebagai prasangka yang baik terhadap mereka, mempertimbangkan keadaan mereka dengan pertimbangan yang sebaik-baiknya.
Peristiwa yang menggambarkan bagaimana Imam Ali RA menoleransi dan berusaha menjaga agar kaum Khawarij tetap diakui sebagai muslim, layak untuk disebarluaskan. Di dalamnya mengandung bukti yang jelas, bahwa kebebasan dan keterbukaan berpendapat yang dimiliki kaum oposisi, pada masa permulaan Islam tidak dihadapi menggunakan kekerasan seperti masa-masa setelahnya.
Oleh sebab itu, kita sendiri perlu menjaga kesadaran islami yang bijaksana berdasarkan inti moral Islam yang paling utama, yaitu kedamaian (salam). Hal yang paling mendasar untuk tetap merawat ukhwah ialah dengan memahami kondisi orang lain dan hambatan-hambatan mereka, karena pada dasarnya manusia memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda. Adakalanya, orang yang fanatik dan ekstrem dikarenakan kondisi, hambatan, dan kelemahan mereka dalam memperoleh ajaran agama yang sebenarnya damai dan penuh kasih.
Jadi, dibanding menggunakan respons yang keras terhadap kefanatikan dan ekstimisme, Syaikh Yusuf Qaradhawi menganjurkan untuk mendekati mereka, berusaha memahami pendirian dan pemikrian mereka (2017: 213). Kita patut berbaik sangka pada niat mereka dalam setiap usaha untuk memahami mereka, sambil berusaha menghilangkan kesenjangan antara mereka dan keadaban masyarakat yang sewajarnya. Tujuannya ialah membawa sesama umat muslim kembali dalam persatuan. Salah satunya, ditempuh melalui dialog ilmiah dengan mereka secara baik.
Selain itu, perlu disadari juga bahwa saat ini kita berada dalam suasana yang bebas dan terang. Pikiran-pikiran fanatik dan ekstrim muncul kepermukaan secara terang-terangan sehingga para ulama dan orang yang berpengetahuan dapat mendiskusikan, atau menyoroti dengan berbagai kritik. Dengan demikian, pikiran-pikiran fanatik dan ekstrem itu menghadapi berbagai alternatif, yakni tetap betahan, menghilang, atau mengalami moderasi dan perbaikan.
Oleh sebab itu, kefanatikan dapat diredam dengan sikap keterbukaan dan toleransi. Sumber sikap ekstrem itu adalah pikiran, pengobatannya harus dengan pemikiran yang menggugah dan mencerahkan. Melawan kefanatikan dengan kekerasan hanya akan menyuburkannya. Tidak ada seorang pun yang yang menyenagi atau menyukai orang-orang yang bersifat ektrim atau fanatik, sehingga siapapun yang ingin mencegah atau meredamnya, menurut Syaikh Yusuf Qaradhawi, dianjurkan tidak dengan cara yang keras, melainkan dengan pendekatan dan pemahaman yang simpatik. Jadi, solusi untuk meredam sikap fanatik adalah sikap pertemanan dan bersaudaraan.