Kolom

Mengangkat Pedang Bukan Nasionalisme Kita

2 Mins read

Viral, jagad media sosial dihebohkan dengan beberapa video seruan hayya ‘alal jihad di sela-sela adzan dan iqamat. Video kontroversial ini marak beredar di beberapa kanal media sosial. Dengan memperlihatkan beberapa orang dalam video itu membawa dan mengangkat pedang sangat memprihatinkan. Pasalnya, mereka tidak hanya mencoreng nama Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, tetapi juga bangsa Indonesia.

Aneh rasanya dan tidak masuk akal jika seruan jihad di tengan bangsa yang damai seperti Indonesia. Apalagi, seruan jihad itu disebabkan karena pemanggilan Habib Rizieq Syihab (HRS) oleh aparat yang berwajib. Seperti, terdapat dalam narasi di video kanal YouTube LDTV Senin (30/11/2024) dan klaim-klaim yang beredar. Namun, apapun alasannya, seruan jihad di tengah keadaan pandemi dan bangsa Indonesia yang damai ini sangat berbahaya dan tidak dapat dibiarkan, tidak hanya dari segi agama, tetapi juga kebangsaan kita.

Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama kalimat adzan bersifat paten tidak dapat diubah. Hal ini karena Rasulullah SAW sendiri tidak pernah selama hidupnya merubah kalimat adzan. Adzan itu hukumnya Sunnah muakkadah. Kalimatnya adalah tauqifi. Tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambahi. Dan ini berlaku bagi semua Muslim, tanpa terkecuali. Kalo toh nyatanya ada yang demikian, jelas mereka bergama tidak menggunakan ilmu dan akal, melainkan hawa nafsu dan kebodohan.

Lagi pula, jihad mengangkat pedang dan berencana memerangi musuh yang masih samar objeknya sangat bias persoalan. Apalagi, jihad dalam medan perang dan pertumpahan darah sangat tidak dibenarkan dalam konteks hari ini. Baik itu agama, maupun nasionalisme kita. Sebab, jihad sesungguhnya yang kita perlukan hari ini adalah jihad kemanusiaan. Hal ini selaras dan solutif diterapkan di tengan pandemi. Di mana banyak orang mengalami resesi dalam ekonomi keluarganya akibat Covid-19.

Melantunkan jihad dalam adzan dan iqamah, sangat jelas, saya pastikan itu adalah penyimpangan, kekeliruan yang harus disadarkan dan berangus. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika terus dibiarkan akan ada tragedi-tragedi Sigi selanjutnya. Dan tentu, Sigi cukup menjadi pengalaman kelam yang tidak boleh terulang di tengan bangsa yang plural, seperti Indonesia.

Cukuplah, persoalan kemanusiaan di negara-negara Timur Tengah menjadi contoh bagi kita. Pertumpahan daran dengan dalih agama sama sekali tidak dapat dibenarkan. Yang ada hanya akan membawa rasa sakit dan derita berkepanjangan. Timur Tengah telah kehilangan kebahagiaannya, sebab hawa nafsu kekuasaan dan menguasai. Sudah sukar sekali kita temukan di antara mereka, para pembantai, rasa kemanusiaan dan perasaan akan perdamaian.

Sedangkan, kita semua adalah bersaudara, percis seperti yang pernah dikatakan Bung Karno. Kita adalah bangsa yang penuh dengan cinta dan kasih. Bangsa yang tidak mengenal lelah dalam berjuang, tanpa kekerasan. Sebaliknya, jika ada di antara kita yang dengan dalih berjuang, membela kebenaran, tetapi menggunakan kekerasan dan ancaman peperangan itu bukan Indonesia, bukan juga jihad nasionalisme kita. Sebab, nasionalisme kita adalah jihad kemanusiaan.

Pidato Bung Karno dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955 sudah cukup untuk kita jadikan pedoman dalam berbangsa bernegara. Yang mana ia mengatakan, “marilah kita lahirkan Asia dan Afrika baru”. Inilah peristiwa historis yang mempertemukan dan mempersatukan ideologi baru negara-negara Asia dan Afrika: nasionalisme, agama, dan kemanusiaan.

Karena itu, atas beredarnya video seruan hayya alal jihad di sela-sela azan sangat tidak mencerminkan umat yang beragama dan berkemanusiaan. Di antara kita harus waspada, sebab itu bukan jihad nasionalisme kita. Perlu diketahui, jihad sesungguhnya adalah jihad kemanusiaan, bukan jihad mengangkat pedang.

Related posts
Kolom

Demokrat Sudah Menjadi Partai Dinasti Bukan Demokrasi

Peralihan kekuasaan, posisi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat (PD) dari orang tua ke anak, menjadikan organisasi tersebut dicap sebagai partai dinasti. Pada umumnya di negeri ini, partai-partai menganut sistem demokrasi. Namun, apa yang dilakukan PD telah melukai sistem demokrasi partai. Awalnya hal itu terjadi, karena dipilihnya secara aklamasi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Kongres ke-V PD tanggal 15 Maret 2020. Maka itu, terlihat sekali bahwa PD sudah menjadi partai dinasti, bukan lagi demokrasi.
KolomNasihat

Diskursif Agama dan Negara Kontemporer

Gelombang populisme Islam menguat sejak kran reformasi dibuka. Berbagai arus aliran Islam transnasional masuk dan menginfiltrasi kaum Muslim Indonesia. Negara penganut Islam…
BeritaKolom

Zuhairi Misrawi, Jubir Arab Saudi

Tersebar berita, bahwa Kiai Zuhairi Misrawi atau yang akrab disapa Gus Mis ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab…