MUI baru saja melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) X di Hotel Sultan, Jakarta, 25-27 November 2020. Munas tersebut dimaksudkan untuk memilih ketua umum baru MUI beserta jajaran kepengurusannya. Namun, dalam struktur kepengurusan MUI periode 2020-2025, nama Tengku Zulkarnain tidak masuk dalam kepengurusan yang baru tersebut.
Sebelumnya, Tengku Zulkarnain menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI. Namun, pada struktur kepengurusan MUI yang baru ini namanya tidak ada, baik di jajaran dewan pertimbangan maupun dewan pimpinan MUI. Apakah dengan demikian Tengku Zulkarnain tidak disebut ulama lagi?
Sebagaimana diketahui, selama menjabat sebagai pengurus MUI, Tengku Zulkarnain kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial ke publik. Tak jarang, pernyataannya juga kerap menimbulkan kegaduhan bagi umat. Padahal, seharusnya sebagai pengurus MUI, Tengku Zul—sapaan Tengku Zulkarnain—harus mengayomi umat, sehingga sikap dan pernyataan yang ia lontarkan juga menjadi penyejuk dan pemersatu umat.
Beberapa pernyataan Tengku Zul—selama menjabat sebagai pengurus MUI—yang menuai polemik dan kontroversi yaitu, melegalkan pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri, menantang Jokowi menerapkan hukum potong tangan, usul membuat Undang-Undang untuk presiden yang bohong, sebut ibukota baru mudah terancam rudal China, fitnah pemerintah legalkan zina, mau membantu pemerintah kalau Presiden Jokowi wafat, dan ceramah Tengku Zul yang membanding-bandingkan gaya ustadz Sumatera dan gaya ustadz Jawa.
Selain kerap memberikan pernyataan nyeleneh dan kontroversi, Tengku Zul juga tidak bisa menasrif. Pada salah satu kesempatan ceramah misalnya, Tengku Zul pernah mencoba tasrif kata kafara. Hasilnya, ia keliru dalam menasrif kata tersebut menjadi kafara-yukaffiru-kufran. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar dan menimbulkan keraguan terhadap status keulamaan Tengku Zul. Salah satu hal yang paling elementer bagi seseorang yang tengah mendalami ilmu-ilmu agama, yaitu ilmu sharaf.
Kiranya, atas berbagai pertimbangan tersebut, Tengku Zul memang tidak tepat disebut sebagai ulama. Ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang mampu menyelesaikan problem permasalahan dunia dan akhirat. Dengan kata lain, ulama adalah seorang yang sudah makrifat kepada Allah, yang mengantarkannya pada perasaan takut kepada-Nya.
Hal ini juga ditegaskan oleh Wahbah az-Zuhaili bahwa ulama ialah orang yang memiliki kemampuan untuk menganalisis problem dan fenomena alam dalam kehidupan dunia akhirat dan memiliki perasaan takut kepada Allah. Orang yang maksiat kepada Allah tidak dikatakan sebagai ulama.
Sejalan dengan pendapat di atas, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan makna ulama adalah seorang yang mempunyai pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Quran, dan ilmu fenomena alam. Melalui pengetahuan tersebut, akan mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut) kepada Allah.
Dalam konteks ini, tentu Tengku Zul jauh dari pengertian ulama sebagaimana disebut di atas. Tengku Zul masih jauh dari kategori orang yang memiliki kedalaman ilmu agama. Untuk menasrif kata dalam bahasa Arab saja masih keliru, apalagi untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Idealnya, ulama adalah seorang yang tutur katanya santun, ilmunya mendalam, dan menyentuh kalbu. Segala tindak lakunya memberikan teladan yang baik. Ulama itu negarawan, resi, begawan, orang suci yang ditunggu-tunggu nasihat dan fatwanya. Di samping mempunyai keilmuan yang mendalam, seorang ulama juga harus memiliki wawasan kebangsaan, sehingga apa yang ia sampaikan tidak memicu timbulnya perpecahan di tengah kehidupan umat yang heterogen dan beragam.
Namun demikian, melihat realitas Tengku Zul yang kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial, menebar kebencian, permusuhan, dan provokasi yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan antarumat, maka Tengku Zul lebih ditepat disebut sebagai tukang nyinyir, bukan ulama. Lihat saja tweet Tengku Zul di twitter. Setiap hari kerjaannya nyinyir, menebar kebencian, dan memprovokasi umat.
Seharusnya, ulama itu seperti Quraish Shihab, Nasaruddin Umar, Gus Mus, Habib Lutfi dan lainnya. Mereka telah terbukti sebagai ulama-ulama yang memiliki kedalaman ilmu yang luas. Di samping itu, mereka juga memiliki wawasan kebangsaan yang moderat dan toleran. Lebih dari itu, ulama-ulama yang penulis sebut di atas secara nyata telah menjadi mercusuar bagi umat Islam di Indonesia.
Quraish Shihab misalnya, setiap tutur katanya selalu memberikan kesejukan dan kedamaian jiwa. Petuah dan nasihatnya selalu ditunggu oleh umat Islam. Begitupun karya-karyanya, Tafsir al-Misbah adalah salah satu karya magnum opusnya yang membuktikan ia merupakan ulama besar dan memiliki kedalaman ilmu yang luas.
Berdasarkan poin-poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tengku Zulkarnain tidaklah tepat di sebut sebagai ulama. Sedikitnya, ada tiga alasan yang dapat disebutkan. Pertama, Tengku Zul kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, Tengku Zul tidak memiliki kedalaman ilmu agama, terbukti dari kesalahannya dalam menasrif kata dalam bahasa Arab. Ketiga, Tengkul Zul tidak memiliki wawasan kebangsaan yang moderat dan toleran. Sebaliknya, Tengku Zul justru kerap menebar kebencian, permusuhan, dan provokasi antarumat.
Atas dasar itu pula, mungkin Tengku Zul kini tidak masuk dalam jajaran kepengurusan di MUI, baik sebagai dewan pertimbangan maupun dewan pengurus harian. Sebab, kapasitas Tengku Zul sebagai ulama di sini masih dipertanyakan dan diragukan. Bagi penulis, Tengku Zul lebih tepat disebut tukang nyinyir daripada disebut sebagai ulama.