KH Miftachul Akhyar resmi terpilih menjadi Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025 menggantikan KH Ma’ruf Amin dalam Musyawarah Nasional (Munas) X MUI, Kamis (26/11/2024). Terpilihnya KH Miftachul Akhyar tentunya membawa harapan baru bagi masyakat terhadap MUI. Pasalnya, beberapa tahun belakangan MUI kerap kali menjadi bahan perbincangan, atau lebih tepatnya kontroversial. Sebab, keterlibatannya dalam beberapa agenda politik nasional oleh beberapa tokohnya.
MUI sebagai wadah tokoh-tokoh Islam dari berbagai ormas dan tempat dilahirkannya berbagai fatwa, tentunya sangat diperlukan sekali oleh masyarakat kita, khususnya Muslim. Karena itu, sudah barang tentu cara kerja MUI dalam melahirkan fatwa harus dapat mewakili umat Islam. Dan pastinya, harus selaras dengan konstitusi kita yang berlaku, sehingga tidak ada ketimpangan antara kehendak umat dan negara. Apalagi, negara kita adalah negara dengan masyarakatnya yang plural.
Namun, dalam praktiknya tidak sedikit MUI mengeluarkan fatwa yang sama sekali tidak mewakili suara umat Islam. Atau setidaknya, bertolak belakang dengan kenyataan jika bangsa kita adalah bangsa yang plural, multi-etnik, ras, suku, bahasa, dan agama. Seperti, fatwa bahwa masyarakat boleh tak taati pemimpin yang bertentangan dengan agama dan fatwa haramnya Muslim memilih pemimpin Non-Muslim, misalnya. Jelas, dari kedua fatwa ini MUI sangat tidak adil dalam melihat konteks keindonesiaan. Sebab, Indonesia ada karena keberagamannya.
Karena itu, mendikotomi satu golongan dengan golongan lain yang sama-sama berperan besar dalam peradaban bangsa, sangat tidak etis. Dan adanya kepengurusan baru ini, tentu banyak yang berharap kepada MUI dalam membawa perubahan bangsa kedepannya. Menciptakan revolusi baru dalam tubuh internal MUI. Sebab, tujuan dari berdirinya MUI itu sendiri adalah memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat. Meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwwah Islamiyyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Fatwa tentang haramnya memilih pemimpin Non-Muslim bagi umat Islam sangat tidak bertolak belakang dengan kenyataan masyarakat bangsa kita. Kebangsaan kita tidak pernah mewariskan pemahaman demikian. Jika toh dalam agama demikian, setidaknya MUI dapat melihat secara adil dan jernih jika itu tidak selaras dalam konteks keindonesiaan. Dan tragedi pilkada DKI 2017 yang menyeret mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) ke penjara, yang bermula dari fatwa MUI adalah sejarah kelam yang tidak harus terulang di Indonesia yang beragam.
NU sendiri, pada tahun 1999 telah mengeluarkan fatwa bahwa boleh memilih pemimpin Non-Muslim, jika memang tidak ada orang Islam yang mampu memimpin. Kemudian, adanya calon beragama Islam, tetapi karena dikhawatirkan berkhianat maka boleh memilih Non-Muslim. Dan boleh memilih pemimpin non-Muslim selama tokoh itu dianggap tidak jadi ancaman bagi umat Islam. Dan jelas, jika kita melihat Non-Muslim dalam konteks keindonesiaan mereka adalah Non-Muslim yang sama sekali tidak mengancam. Justru, Non-Muslim banyak berperan besar dalam meraih kemerdekaan bangsa 75 tahun yang lalu.
Karena itu, selagi Non-Muslim itu dapat menjadi pemimpin yang baik, bisa membawa suatu perubahan besar, serta bermaslahat terhadap kepentingan umum maka sah-sah saja untuk dipilih. Dan MUI dalam hal ini seharusnya dapat menjadi garda terdepan melopori perubahan dan kemajuan bangsa. MUI harus dapat menjadi fasilitator dalam melahirkan titik temu di antara perbedaan masyarakat bangsa, menjadi ikon dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis, bukan menjadi faktor lahirnya kebencian dan perpecahan di antara masyarakat yang pluralis.
Meminjam istilah Theodor Herzl (1860-1904), bapak Zionisme, dalam Altneuland ia pernah bermimpi dan belum pernah terealisasi hingga sekarang, yakni terciptanya “masyarakat baru” di Palestina. Masyarakat baru yang harmonis di dalam perbedaan, setiap umat bebas beribadah di tempat ibadahnya masing-masing, di Sinagoga, di Gereja, di Masjid, di Museum seni, atau konser orkes simfoni. Dan MUI dewasa ini, harus menjadi lembaga solutif, membawa visi-misi revolusi baru, menjadi pelopor terciptanya tatanan masyarakat modern yang harmonis dan gotong royong, bukan masyarakat yang saling caci-maki dan saling senggol.