Di tengah pro dan kontra terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol (Minol) yang sedang dibahas oleh DPR RI. Organisasi Masyarakat Front Pembela Islam (FPI), merespons RUU itu, dengan meminta pemerintah menerapkan hukuman cambuk bagi para pelanggarnya. Hukuman ini dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi orang-orang yang suka mengonsumsi minuman keras.
Sebenarnya, hal tersebut sudah tidak aneh lagi. Sebab, itu merupakan tujuan dari FPI sebagai ormas yang memiliki visi dan misi menerapkan syariat Islam secara murni. Sebagaimana jelas telah termaktub dalam pasal 6 anggaran dasarnya, FPI memiliki visi dan misi untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah (murni) di bawah naungan Khilafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah (perintah melakukan kebaikan dan melarang keburukan), dan pengamalan jihad.
Selama ini, FPI pun keras menuntut DPR dan MPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai Piagam Jakarta karena mereka menganggap, bahwa Pancasila yang asli adalah Piagam Jakarta yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Menurut catatan Rendy Adiwilaga dalam Jurnal Wacana Politik (2017), pada tabligh akbar FPI tahun 2002, bahkan disepakati seluruh elite agar organisasi ini memiliki sikap menuntut syariat Islam dimasukkan pada pasal 29 UUD 1945 dengan menambahkan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Meskipun, ada kalangan yang menghendaki agama mayoritas Islam menjadi dasar negara, tetapi hal itu mendapatkan tentangan dari kelompok lain yang menilai bahwa ada hak-hak pemeluk agama lain agar tidak terjadinya diskriminasi. Dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tentunya telah menjamin hak-hak pemeluk agama lain, sejauh agama itu diakui oleh negara. Indonesia didirikan dengan dasar Pancasila yang menganut asas kebangsaan, artinya dasar kesamaan sebagai bangsa Indonesia, bukan atas dasar kesamaan agama, etnis, atau budaya.
Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi dari pelbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama, bukan hanya satu golongan. Dengan kelapangan golongan Islam pada saat itu, memberikan jalan kepada bangsa ini untuk memiliki konstitusi yang lebih ideal dan tahan banting. Adanya kelompok yang menginginkan Piagam Jakarta dikembalikan, menunjukkan semangat “politik identitas” yang masih menggelora sampai saat ini.
Hal ini tentunya berbahaya. Meminjam istilah dari Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kelompok Islam tersebut mengklaim sebagai pewaris tunggal kebenaran dan karenanya Muslim yang berbeda dianggap kurang Islami atau bahkan kafir.
Maka dari itu, sebagai warga negara yang tidak melupakan sejarah bangsanya, patut kiranya kita belajar kembali pada kejadian yang sudah terjadi 75 tahun silam di negeri kita tercinta, Indonesia. Yang mana, ketika itu, sebagai upaya mempertahankan kesatuan Indonesia, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyeru kepada segenap warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk berjihad mempertahankan kesatuan Republik Indonesia. Ia meminta agar pemerintah segera bertindak terhadap usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan Indonesia, agama, dan negara Indonesia dari pihak Belanda juga kaki tangannya.
Melihat hal tersebut, KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang ulama ia tidak menyebutkan untuk menjaga agama Islam, atau untuk mendirikan negara Islam dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada waktu itu. Walaupun, pada saat itu mayoritas rakyat sudah beragama Islam, tetapi ia memakai diksi “agama” serta tetap menjaga kesatuan sebagai negara Indonesia, bukan negara Islam.
Indonesia bukan negara Islam, namun sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem yang Islami, Pancasila dan Konstitusi mengandung nilai-nilai Islam, bila dalam Islam menyeru untuk senantiasa berbuat adil dan baik sesama manusia, Indonesia juga menyuruh kepada hal yang sama yang tertera dalam sila kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.
Gus Dur pernah mengatakan, bahwa Indonesia bukan negara agama, namun negara beragama. Terdapat enam agama di Indonesia, jadi tolong hargai lima agama lainnya. Meskipun terlihat sepele, kata ini bermakna bagi orang yang merasakan bagaimana keragaman agama itu ada di Indonesia. Dengan keragaman ini, semua agama seharusnya bisa saling menghargai dan tidak mengklaim Indonesia sebagai negara agama, melainkan negara yang beragama.
Semangat FPI dalam bernegara memakai semangat “politik identitas”, yang bertujuan untuk mendirikan negara bersyariatkan Islam. Pasalnya, sepanjang perjalannya FPI selalu melakukan aksi-aksi kekerasan yang dianggap sebagai bentuk perjuangan dalam menumpas kezaliman. Memiliki sikap intoleran di negara plural, tentunya akan menimbulkan perpecahan. Terbukti, pimpinannya pun yakni Rizieq Syihab banyak terkena kasus dugaan penghinaan terhadap suku dan agama lain.
Dan dalam hal permintaannya kepada pemerintah agar dapat menerapkan hukuman cambuk, FPI menunjukkan bahwa mereka benar-benar mencita-citakan Indonesia menjadi negara bersyariatkan Islam. Dengan demikian jelas, sebagai salah satu ormas yang ada di Indonesia, FPI tidak patuh dan telah melanggar aturan Konstitusi Indonesia yang demokratis.