Fenomena Kesadaran Beragama di Indonesia

0
0
WhatsApp
Twitter

Belakangan, media sosial kembali diriuhkan dengan berbagai sejumlah pamflet yang mengabarkan akan dilaksanakannya reuni 212. Meskipun banyak penolakan dari berbagai pihak serta tidak dikabulkannya izin tersebut, sebagaimana gantinya, reuni itu tetap memaksakan kehendaknya di tengah pandemi, dengan acara yang bertajuk Dialog Nasional pada 2 Desember 2020. Dengan adanya fenomena tersebut, hal ini merupakan bentuk kebangkitan beragama di ruang publik yang telah menjadi gejala dari tahun ke tahun di negeri ini.

Fakta tentang kebangkitan agama di ruang publik hingga kini masih menjadi tren penting. Di berbagai belahan dunia misalnya, saya jadi teringat dengan kebangkitan agama yang muncul dalam beragam dimensi dan implementasi. Kurang lebih satu dasawarsa silam, Diana L Eck membaca fenomena itu untuk konteks Amerika Serikat. Di negara adidaya itu, ternyata ada gejala kebangkitan agama yang cukup menyolok. Diana menyebut fenomena itu sebagai New Religious America.

Sementara itu, hal yang kurang lebih sama terjadi dalam konteks Eropa. Seorang mantan anggota parlemen Belanda, Geertz Wilders, sepuluh tahun silam memproduksi sebuah film berjudul Fitna yang nyata-nyata menyudutkan Islam. Secara akademis, film itu dinilai sebagai pencitraan dan pemahaman tak terpelajar tentang Islam. Di luar soal kontroversi film itu, rupanya salah satu faktor pemicu kelahirannya adalah keresahan Wilders tentang kebangkitan Islam di Belanda kala itu.

Senada dengan itu, Tariq Ramadan (2004) memotret dinamika Muslim di Eropa dan bagaimana masa depan Islam di benua itu. Hal-hal yang menjadi perhatian Tariq adalah makna menjadi Muslim di Eropa dan bagaimana peran yang harus dimainkan oleh Muslim Eropa dalam konteks kehidupan sosial politik. Tak terkecuali persoalan identitas. Di luar semua analisis Tariq yang kompleks, hal mendasar yang melandasi semua ini adalah adanya kebangkitan peran agama pada ruang publik di Eropa dengan berbagai dimensi dan variasinya.

Singkat kata, rupanya kebangkitan agama telah menjadi fenomena global. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Gelombang kebangkitan kesadaran beragama menampakkan gejala yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kaitan dengan teori peminggiran peran agama di ruang publik, tak sedikit pula yang lalu membawanya ke dalam konteks matinya teori sekularisasi.

Jika sekularisasi dimaknai sebagai pemisahan urusan agama dari urusan dunia, maka dari itu sekularisasi telah mendekati ajalnya di Indonesia. Karena, sesungguhnya, kesadaran beragama yang ekspresif dan masif telah menjadi warna dominan dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini, dan merambah hampir semua dimensi kehidupan.

Karena itu, menjadi hal yang menarik untuk membaca fenomena beragama yang terus bergerak dari tahun ke tahun. Setidaknya, di Indonesia sendiri terdapat tiga hal dalam membaca fenomena beragama di Indonesia, diantaranya pertama, kesadaran beragama yang berorientasi politik, sulit dimungkiri bahwa kesadaran beragama yang semakin meningkat di kalangan umat Islam telah menjadi daya tarik politik yang memikat. Karena itu, lalu muncul kekuatan-kekuatan tertentu yang berusaha menyeret agama dalam kancah politik. Seolah-olah berpolitik dengan atas nama agama adalah bagian dari syarat keimanan.

Sehingga mereka yang tak berada dalam barisan itu, dianggap mengalami masalah dengan keimanan. Misalnya saja, reuni aksi 212 atau Dialog Nasional pada 2 Desember 2020 nanti. Reuni yang bertubi-tubi itu betapapun menamakan diri membela Islam, tetap tidak bisa menyembunyikan wajah aslinya sebagai gerakan politik.

Meskipun begitu, jika dicermati kelahiran aksi dari jilid ke jilid, aksi-aksi itu rupanya mengalami pergeseran agenda. Dari fakta ini saja, amat terang aroma politik dari gerakan ini. Belum lagi jika ditambah dengan fenomena keretakan para pendukung aksi, akibat perbedaan pandangan dan sikap atas hal tertentu, untuk tidak menyebut perbenturan kepentingan. Fenomena beragama yang berorientasi politik ini hanya mendiami alam pikiran segelintir elite agama yang menguasai massa lewat berbagai media.

Sementara pada level akar rumput, kesadaran untuk terlibat dalam berbagai aksi itu adalah murni kesadaran membela agama. Karena itu, terdapat kesenjangan kesadaran antara elite dan massa. Pada tingkat elite, kesadaran beragama itu menjadi modal untuk pencapaian tujuan politik. Sementara pada tingkat massa, kesadaran beragama itu benar-benar kesadaran beragama yang tidak bertendensi apa-apa, selain membela agama.

Dengan melihat apa yang berlangsung dalam dinamika keagamaan di Indonesia, tahun-tahun mendatang, kesadaran beragama dengan orientasi politik ini akan tetap dominan dan bahkan semakin menguat. Ini mengingat perebutan kekuasaan akan menjadi warna dominan kehidupan politik di Indonesia, dan agama akan sekali lagi ditampilkan sebagai sumber legitimasi untuk menunaikan kepentingan politik kelompok tertentu.

Kedua, di luar persoalan politik, fenomena kesadaran beragama juga terwujud dalam bentuk orientasi ekonomi dengan sentimen beragama. Jika diamati, dinamika dunia bisnis dengan mengusung label agama semakin ramai belakangan ini. Dari dunia mode, makanan, kosmetik hingga properti dengan pelabelan simbol-simbol Islam menjadi semakin dominan dan masif.

Jika dilihat dari satu aspek, gejala seperti ini memang bermakna positif, yaitu bermakna bahwa umat mendapatkan sarana untuk menjadi lebih melek wacana secara keagamaan, setidaknya dalam hal mengindentifikasi halal dan haram dalam konteks konsumsi. Atau juga dalam konteks kampanye meninggalkan unsur-unsur riba dalam setiap transaksi eknomi.

Sayangnya, pada saat yang sama, terjadi monopoli tafsir atas konsep agama tertentu dan kemudian identifikasi sebagai pemegang paten kualitas keagamaan. Secara tidak disadari, terjadi identifikasi kualitas keagamaan dengan merk produk berlabel agama yang dipakai.

Barangkali saya berlebihan. Tetapi dalam banyak konteks sering ditemukan, jika seseorang menggunakan busana dengan merk tertentu, maka perasaan religiusitasnya akan meningkat atau lebih baik dibandingkan dengan jika ia memakai merk lainnya yang sudah kadung dilabel tidak syar’i. Maka dari itu, di sinilah kesadaran beragama itu berkelindan dengan orientasi bisnis dan ekonomi yang telah menjadi nilai komoditas.

Ketiga, kesadaran beragama yang berorientasi peradaban. Fenomena ini biasanya melibatkan kelompok yang pada umumnya memiliki kesadaran kritis untuk memilah mana elemen-elemen yang substantif dan elemen-elemen yang formal dalam beragama. Dengan bahasa lain, kelompok dengan kesadaran seperti ini berusaha menghadirkan keseimbangan Islam sebagai nilai dan sebagai simbol.

Di samping itu, orientasi ketiga ini berusaha melakukan refleksi kritis atas keterpurukan yang menimpa umat Islam dan kemudian berusaha mengajukan solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Salah satu perwujudan dari orientasi ini adalah ajakan untuk memaknai Islam sebagai spirit ilmu, ilmu sebagai nilai, dan bukan semata-mata Islam sebagai identitas. Misalnya saja organisasi NU dan Muhammadiyyah yang kerap kali memiliki kesadaran kritis tentang hakikat, makna dan tujuan beragama itu sendiri.

Dengan demikian, melihat adanya fenomena kesadaran beragama di Indonesia yang kian kompleks ini, otentisitas dalam beragama mengalami pergeseran makna yang sesungguhnya, bahkan kesalehan kini berubah wujud menjadi komoditas simbolis dalam beragama. Hal ini tentu menjadi catatan bahwa beragama merupakan bentuk kemaslahatan, bukan kemudaratan.