Menyandang gelar habib bagi sebagian orang adalah keagungan besar bagi nasabnya. Sebab itu, tak heran bila Rizieq Syihab mengatakan lonte yang diduga ditunjukkan kepada Nikita Mirzani berani menantang dirinya seorang habib di kanal Youtube Front TV (14/11). Istilah lonte pun berkali-kali disebutkannya, sehingga memicu kemarahan banyak publik karena ia mengatakan yang dinilai tidak pantas dan bernada mengejek pada acara keagamaan Maulid Rasulullah SAW.
Sikap mengagungkan nasab diri sendiri dan merendahkan derajat orang lain dengan sebutan lonte merupakan salah satu kategori ‘ujub, yakni penyakit hati yang berbahaya. Menurut Rachmad Ramadhan al-Banjari, garis keturunan mulia rentan berlaku ‘ujub, sekalipun ia seorang yang dipandang shaleh dan berilmu, tabiat ini akan tetap melekat pada mereka (Membaca Kepribadian Muslim Seperti Membaca Al-Quran: 2008).
Seorang yang membanggakan nasab sekadarnya saja masih dibolehkan. Namun yang dilarang adalah jika yang merasa dirinya keturunan Nabi SAW, tetapi tutur kata yang keluar justru lebih banyak hinaan, ketimbang sebagai penjaga ukhuwah. sebab itu selain ‘ujub perilaku demikian juga dekat dengan takabur (angkuh). Hendaknya jangan mudah mentertawakan seorang semata karena status. Kita tidak pernah mengetahui siapa yang lebih baik di hadapan Allah SWT. Terkadang besar atau kecil sebuah amalan tidak bisa menjamin ketaqwaan seseorang.
Maka dari itu, beberapa seorang yang memiliki nasab mulia terkadang merasa berat untuk dipanggil habib, seperti cendekiawan Muslim Muhammad Quraish Shihab. Kendati telah jelas nasabnya bersambung pada Rasulullah SAW, dia lebih senang disapa dengan panggilan ‘Abi’ sesekali muridnya memanggil Profesor. Bagi Prof. Quraish panggilan habib sangat berat untuk disandingkan sembari menjelaskan istilah habib memiliki makna yang dicintai atau penuh cinta, sedangkan dirinya masih butuh cinta. Terangnya, belum pantas dicintai dan menjadi teladan (Cahaya Cinta dan Canda M. Quraish Shihab: 2015).
Bermula dari sini dapat disadari, semakin mulia nasab hakikatnya kian berat pula tanggungan moralnya. Sebab itu, sebuah ironi kalau hanya mengagungkan nasab tetapi lupa mengamalkan akhlak mulia para leluhurnya. Padahal, yang dibutuhkan masyarakat adalah teladan dari akhlaknya. Yakni perkataan yang mendamaikan, bebas dari mencaci, membenci, dan perilaku asusila.
Terus terang saya yang baru-baru ini aktif di media sosial, sebelumnya belum pernah mendengar istilah lonte sesanter yang dikemukakan Rizieq Syihab. Terbilang uniknya, sekali istilah tersebut sampai di telinga, justru yang keluar dari lisan seorang habib. Di mana dalam perkatannya, tidak sedang menjelaskan hadis Nabi SAW atau kisah hikmah lainnya.
Demikian kita tidak boleh mengkultuskan seseorang, meski dari kalangan habaib. Bagaimana pun para habib juga manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan. Seandainya dari pihak habib dijumpai perkataan kasar dan tidak elok, maka jangan ragu untuk menegur dan mengkritisinya. Islam sendiri mengajarkan kita untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran (QS. Al-‘Asr: 3).
Dalam konteks ini, mengagungkan nasab tapi lupa mengamalkan akhlak Rasulullah SAW merupakan benalu bagi umat Islam sendiri. Jadi sudah semestinya masyarakat jangan terkecoh dengan para habib yang perkataannya berdalilkan al-Quran dan hadis, tetapi tidak mencerminkan keteladanan yang baik. Perilaku tidak terpuji akan tumbuh bersamaan bagi mereka yang turut mengikutinya.