Aku berserah di alas kaki Mu, Ya Allah.
Belaian kasih atau hantaman palu
Akan kusyukuri, Ya Allah, sebagai sentuhan Mu,
—-Jalaluddin Rumi, Sang Sufi
(1207-1273)
Setiap manusia memainkan peran sentral
dalam sejarah dunia.
Dan biasanya ia tidak menyadarinya
—–Paulo Coelho, Sang Alkemis
Pembuka
Duduklah sejenak bersamaku senja ini, bareng ngopi-ngopi. Kita sama-sama memperhatikan wabah pandemi yang terjadi, menyebar dimana-mana. Sekian lama kecemasan, kegelisahan dan ketakutan membumi di hati saudara-saudari kita di penjuru negeri. Allah, Allah, Allah!
Terkenang selalu, detik-detik wabah pandemi terjadi, merekah. Rasa kemanusiaan bangun meregangkan urat nadi, urat otot dan mengucek-ngucek kedua bola mata. Kembang-kembang tidur yang masih tersisa masih melayang-layang di pikiran. Ada sesuatu yaitu rantai dan kawat berduri yang masih membelenggu ummat manusia.
Ah, semua itu jadi nightmare. Kemudian beranjak ke kamar mandi, kemanusiaan mencuci wajahnya, menyisir rambutnya dan memeriksa kerut-kerut di cermin kaca, lalu meracik secangkir kopi. Membuka dengan khusyu’ sebuah catatan-catatan diri. Marilah dengan rileks kita pandang apa yang terjadi, yang juga perlu kita syukuri. Senantiasa mengabdi dengan segala teki-teki takdir dari ilahi.
Menjadi Manusia, Being A Men
Alkisah Albert Camus pernah menulis dalam karyanya yang masyhur, dengan berjudul Wabah. Novel yang berisi tentang seorang dokter yang bergerak untuk menolong korban-korban wabah, ternyata juga membahayakan keselamatannya sendiri. Bener-bener inspiring!
Dokter itu berkata,”Aku tak tahu apa yang sedang menanti aku atau apa yang akan terjadi sekiranya ini semua berakhir. Untuk saat ini, yang aku tahu hanya ini: ada orang-orang yang sakit yang perlu diobati, tak ada perkara heroisme di sini. Hanya masalah kesopanan yang biasa. Aku kira, heroisme dan kesucian tidak menarik hatiku. Yang menjadi kepentinganku hanyalah menjadi manusia, being a men.”
Sejujurnya, tulisan khusus ini didedikasikan untuk para dokter dan tenaga medis, dan siapa pun yang berjuang mengobati korban virus corona. Sekaligus untuk seluruh rakyat Indonesia yang bergerak bersama mengakhiri pandemi. Bumi manusia yang dikarantina corona. Tetep ya kita ngopi pagi di jum’at berkah, selalu sehat wal afiat dan do’a-doa kita senantiasa. Saling mendo’akan ya bro!
Ada cerita juga, kali ini seorang pelancong Barat datang ke Tokyo, Jepang. Ketika ia sedang antri untuk membeli tiket kereta bawah tanah, ia melihat tumpukan uang tak bertuan di dekat loket. Ia melihat dengan heran, setiap orang yang mengambil tiket tidak menghiraukan uang itu. “Akhirnya,” lapor pelancong itu,”saya senang ketika melihat seorang perempuan berjalan mendekati dan mengambil uang itu. Tetapi, ia membawanya kepada seseorang. Ia bertanya apakah uang itu miliknya. Ketika orang itu menjawab,”Tidak,’ ia mengembalikan uang itu ke tempat semula.”
Saat pelancong itu ditanya mengapa ia senang melihat ada yang mengambil uang, ia menjawab,” Ya, paling tidak masih ada orang yang normal”. Ia menganggap bahwa orang-orang yang membiarkan uang itu sebagai abnormal, karena seharusnya mereka mengambilnya. Jadi, kita normal kalau mengambil uang orang lain untuk kepentingan kita. Manusia normal hanya memikirkan dirinya sendiri. Egoisme adalah sifat asli manusia. Hati kita pasti menginginkan uang itu. Kalau kita tidak mengambilnya, kita adalah seorang munafik, kata Pak Ustadz.
Oh ya, saya punya temen ngopi, yang dibesarkan dalam sebuah pendidikan Islam, tetapi sangat modern sependapat dengan pelancong tadi.”Egoisme itu adalah fitrah,” katanya. Ketika ideologi komunisme roboh dan sempal di benua Eropa, ia berkata,”Lihat, hanya Barat yang berhasil mendatangkan kesejahteraan dan perdamaian dunia.
Ideologi komunisme jatuh karena tidak sesuai dengan fitrah manusia. Komunisme mengajarkan orang untuk menghilangkan kepentingan dirinya. Kapitalisme Barat bertahan karena karena berpijak pada fitrah manusia. Fitrah manusia adalah kepentingan diri. Manusia hanya melakukan sesuatu untuk keuntungan dirinya sendiri.”
Dalam warna-warni pikiran, terdapat teori yang disebut “manusia egois” menjadi dasar falsafah dari paradigma sains modern saat ini. Filsuf George Santayana menyimpulkan pandangan ini dalam kalimat singkat,”dorongan untuk berbuat baik hanyalah kemunafikan yang menipu diri. Galilah sedikit di bawah permukaan, anda akan mendapatkan manusia yang rakus, serakah, kepala batu dan benar-benar mementingkan diri”. Pemikir bernama Jeremy Bentham bertutur juga tentang manusia yang perilakunya dikendalikan oleh prinsip mengejar kesenangannya sendiri.
Dari titik inilah dirumuskan prinsip ekonomi.”Prinsip pertama dalam ekonomi ialah setiap manusia hanya digerakkan oleh kepentingannya sendiri,”tulis Francis Edgerworth tahun 1880-an. Seratus tahun kemudian, Dennis Mueller menulis,”satu-satunya pandangan yang mendasari ilmu perilaku manusia adalah egoisme.” Ekonomi tampaknya ditegakkan di atas prinsip yang dikemukakan seratus tahun yang lalu.
Banyak pakar ekonomi mengambil homo economicus dari ilmu biologi. Dalam alam raya, makhluk berebut dan bertarung mempertahankan hidup. Seluruh model evolusi yang dimaksud adalah untuk membela kepentingan diri sendiri. Hanya yang kuat yang akan menang, survival of the fittest.
Dalam alam raya, kata pakar biologi, tidak ada tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan pihak lain. Tidak ada sedekah atau amal sosial. Dari para biolog, ilmuwan sosial memungut konsep ini. Ragam teori sosial dirumuskan. Hampir seluruh teori psikologi yang berkaitan dengan motivasi manusia hampir tanpa kecuali, didasarkan pada egoisme.
Jika para filsuf sudah sependapat dengan ilmuwan, orang banyak yang menyakini pendapat itu sebagai kenyataan, rujukan moral, dan perspektif untuk memandang dunia. Di dunia ini, kita hanya melihat kerakusan, keserakahan, perampokan, penindasan, dan kebakhilan manusia. Manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain, Homo homini lupus. Manusia adalah serigala, kata Thomas Hobbes dari Barat.
Bila kita “memergoki” manusia yang berbuat baik, kita berusaha melacaknya pada motif-motif kepentingan diri itu. Pokoknya, tidak pernah ada orang yang beramal dengan ikhlas. Semua itu mengingatkan kita semua pada piwulang dari Hadratussyaikh KH.Hasyim Asy’ari,”Jika suatu amal tidak dilandasi pada keikhlasan, maka tidak akan tambah kecuali kegelapan dalam hati.”
Situasi terkini, banyak orang meragukan teori “manusia egois” ini. Hari demi hari kita menemukan orang yang dengan ikhlas mengorbankan kepentingan dirinya, orang yang tidak memperhatikan keselamatan dirinya ketika menolong orang lain, seperti halnya pahlawan bangsa. Ada juga orang kaya yang mendermakan hartanya untuk membantu orang miskin, atau beberapa pejabat, betapa pun sedikit jumlahnya, yang hidup sederhana dan tidak mau diajak berkomplot alias bareng-bareng kolusi atau korupsi untuk menggarong duit negara.
Ada banyak temuan yang mendaftarkan sejumlah besar penelitian yang menolak teori manusia egois ini. Teori ini salah secara logis dan lemah secara empiris. Berbeda dengan sahabat ngopi saya di atas, Islam memandang manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik. Menurut Al-Quran, fitrah manusia adalah cenderung (hanif) kepada ajaran Islam: Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), fitrah Allah yang telah menciptakan manusia pada fitrah itu.
Jadi pada dasarnya DNA kita semua adalah manusia baik, menjadi being a men. Keren kan bro?
Cuaca Darwinisme Sosial
Mohon izin sruputt kopi. Sekali, lagi hanya yang kuat yang akan menang, survival of the fittest. Itu adalah sebuah doktrin yang kakeane tenan.
Berpijak pada pandangan filsuf Nietzsche, tak selesainya isu peradaban dapat dilihat dari kelanjutan debat antara Voltaire dan Rousseau. Spirit Voltaire diikuti oleh ide tentang persaingan pasar bebas Adam Smith, rasionalisme Emanuel Kant, dan evolusi Darwinisme. Para filsuf ini setuju setiap manusia untuk berkompetisi dan memaksimalkan keuntungan pribadi. Manusia modern memiliki hasrat yang sama, memiliki rumah, mobil cepat, dan gadget paling top markotop misalnya. Karena itu, kita harus berkompetisi memenuhi nafsu, yang sesungguhnya juga bagian dari nafsu orang lain.
Itulah doktrin Darwinisme sosial yang disebarkan geng kapitalisme, yakni fantasi bahwa setiap orang wajib menjadi entrepreneur dan terus melatih dirinya dalam perkembangan ekonomi yang menggelora. Setiap orang harus terus membranding dirinya, mendekorasi warung, tokonya, dan mengalahkan orang lain dalam persaingan bebas.
Dampak kompetisi tersebut menyebabkan rasa marah, malu dan hina terhadap mereka yang kalah. Era modern bahkan menimbulkan saudara-saudari kita jadi orang tertinggal dalam kemajuan zaman digital. Peradaban selalu ditujukan pada kelas elit oligarki yang sedikit, tapi tidak untuk massa yang banyak. Seluruh janji-janji manis di papan iklan bukan lagi milik orang kebanyakan yang melihat iklan tersebut. Hasrat yang dibangun dari hasrat orang lain, tidak mampu dipenuhi. Setiap nyawa bersaing satu sama lain, dan manuver persaingan menghapus ‘solidaritas’ antar sesama manusia. Tak ada empati, no mercy. Ini mengerikan banget mas bro!
Bersyukurlah kita punya Pancasila, warisan luhur dari pendiri Republik, yang ajarkan kita untuk gotong royong dan empati kepada semua anak bangsa di era wabah yang melanda.
Akhirnya
Adalah Romo Mangunwijaya, dalam karyanya yang keren berjudul Burung-Burung Manyar:,“….Tanah Air ada di sana, dimana ada cinta dan kedekatan hati, dimana tidak ada manusia yan menginjak manusia lain”. Seperti halnya Wak Kaji yang pernah memahami sabda Sang Muhammad Nabi,” hidup kita akan bermakna bila kita bermanfaat bagi orang lain”.
Menarik sekali bagi kita renungkan pitutur Syams At-Tabrizi Maha guru misterius yang membisikkan sesuatu yang menggetarkan ke telingga Jalaluddin Rumi kala itu. Rumi berubah total 360 derajat hidupnya:“gunakan hidupmu dengan baik, atau aku akan merenggutnya darimu!”.
Dengan demikian, inilah hidup yang kita bersama impikan di era pandemi. Hidup yang terasa seger, inspiring dan ambyar, seperti halnya rasa nyruput kopi di pagi hari setelah nonton film berjudul Miss India. Film yang berkisah kegilaan manusia dalam menumpuk harta, tahta dan menghancurkan nama demi sebuah kesuksesan. Ampunn!
Yuk berbuat baik seperti dokter di atas yang berkepentingan ingin jadi being a men. Jadi manusia ramah dan indah terhadap semua makhluk-Nya. Tak seperti si fulan yang baru datang dari bandara. Kata-katanya penuh caci-maki kepada sesama. Bahkan pernah menghina Gus Dur dengan menyebutnya buta mata dan buta hati. Padahal tak pernah Sang Nabi mengajarkan seperti ini. Bener-bener dah, wajid direvolusi akhlak si fulan!
“Tidak ada satu pun dzuriyah Nabi baik dari Sayyidina Hasan maupun Sayyidina Husain yang berdakwah dengan mencaci maki,”dawuh keren, pamungkas dari Habib Umar bin Hafidz yang wajib kita amalkan, meniti hari demi hari di era pandemi.
Ala kulli hal, hampir seluruh umat manusia menganggap secangkir kopi itu puncak kenikmatan. Hanya para penikmat yang menganggap secangkir kopi itu pencerahan, pikiran dan hati. Ngeri!
Shollu alannabiy.[]