Fenomena dakwah atau ceramah yang bernuansa penghinaan, cacian, makian, dan ujaran kebencian bukanlah omong kosong. Rizieq Shihab misalnya, dalam beberapa kali kesempatan dakwah, ia pernah melontarkan penghinaan terhadap agama lain. Akibat dakwahnya tersebut, Rizieq Shihab dilaporkan oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), karena dianggap menghina umat Kristen (26/12/2024).
Tak berhenti sampai di situ saja, Rizieq Shihab juga kembali dilaporkan ke Polda Metro Jaya (30/12/2024) oleh Rumah Pelita (Forum Mahasiswa-Pemuda Lintas Agama) terkait ceramahnya di Pondok Kelapa. Rizieq dilaporkan karena ceramahnya diduga mengandung ujaran kebencian berbau SARA yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan Repbulik Indonesia, memecah belah umat Islam, serta menimbulkan rasa benci terhadap sesama anak bangsa.
Seharusnya, dakwah itu dengan hikmah, kebijaksanaan, dan keteladanan yang baik. Bukan dakwah yang menghina, mencaci maki, dan menebar kebencian kepada yang lain. Pertanyaannya, bagaimana mengimplementasikan dakwah dengan hikmah tersebut?
Dakwah secara harfiah berarti mengajak. Dalam al-Quran, dakwah haruslah dengan bi al-hikmah, kebijaksanaan, wisdom. Al-Quran secara tegas menekankan dan lebih mengedepankan pentingnya pendekatan bi al-hikmah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nahl ayat 125, Serukanlah ke jalan Tuhanmmu dengan hikmah (bijaksana).
Ayat tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk memahami tujuan, metode, sekaligus etika dalam berdakwah. Artinya, dakwah tidak hanya cukup berbekal penampilan yang hanya mampu membangkitkan emosi kolektif umat, tetapi dakwah harus dapat menyampaikan pesan-pesan universal agama, sekaligus mengajak umat untuk memahami ajaran, tradisi, dan konteks keumatan dengan baik, tepat, dan benar.
Dalam konteks ini, dakwah sebagai cara untuk memahami ajaran Tuhan yang Mahaluas dan Mahakaya membutuhkan hikmah atau kebijaksaan yang luas dalam praktiknya. Dengan kata lain, hikmah merupakan unsur yang dominan dan determinan dalam dakwah. Tanpa pendekatan hikmah, maka dakwah tidak akan mendatangkan kebenaran dan kebaikan, apalagi kemaslahatan. Bahkan sebaliknya, bisa memicu timbulnya tindakan anarki dan provokasi seperti contoh kasus di atas.
Karenanya, dakwah haruslah menggunakan pendekatan hikmah. Sebab, sasaran akhir dari proses berdakwah adalah terbentuknya kepribadian yang baik dan luhur (akhlak al-karimah), baik sebagai seorang individu maupun sebagai kelompok sosial. Sebagaimana sabda Rasul, Aku sendiri diutus oleh Allah tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia.
Sebagai makhluk individu, akhlak yang dimaksud adalah karakter, kepribadian, atau perilaku yang baik dari seseorang. Sementara sebagai makhluk sosial, akhlak yang dimaksud adalah relasi sosial yang baik antara individu dengan individu lain ataupun antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Artinya, sebagai individu seseorang harus memiliki sikap yang jujur, berani membela kebenaran, menepati janji, suka menolong, menghargai sesama, pekerja keras, dan sebagainya. Sedangkan sebagai makhluk sosial, seseorang harus memiliki sikap demokratis, toleran, moderat, adil, mengedepankan kemaslahatan, memiliki kepedulian terhadap kepentingan orang banyak, dan seterusnya.
Jika hal ini diabaikan dalam berdakwah, maka dakwah yang disampaikan pun tidak akan mengandung unsur kebaikan dan kemaslahatan sebagaimana penulis sebutkan di atas. Dakwah tanpa hikmah, hanya akan menghasilkan tindakan anarki dan provokasi. Dalil-dalil agama tidak digunakan dalam rangka menyeru jalan kebaikan kepada Tuhan, melainkan digunakan sebagai dalih pembenaran terhadap tindakan anarki dan provokasi, seperti menghina, mencaci maki, menebar ujaran kebencian, dan mengadu domba antara sesama umat Muslim dan sesama anak bangsa.
Begitu juga sasaran akhirnya, orang yang didakwahi tidak akan berperilaku baik. Namun, mereka akan ikut terprovokasi untuk ikut menghina, mencaci maki, menebar kebencian, dan mengintimidasi orang yang berbeda pandangan dengan mereka. Bahkan, yang paling parah mereka membenarkan tindakan kekerasan yang didasarkan pada seruan dakwah orang yang mereka ulamakan.
Pendek kata, dakwah dengan hikmah adalah dakwah yang telah dianjurkan dan diperintahkan oleh Tuhan, sebagaimana QS. al-Nahl ayat 125. Nabi pun menegaskan bahwa ia diutus Tuhan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Artinya, dakwah Nabi di dunia ini pastinya dilakukan dengan hikmah atau kebijaksanaan. Sebab, tanpa hikmah tujuan beliau untuk menyempurnakan akhlak dan terciptanya kebaikan dan kemaslahatan umat tidak akan pernah tercapai.
Dakwah, sekali lagi artinya mengajak, mendorong orang, baik secara mental maupun sosial untuk menuju kebaikan dan kemaslahatan. Meminjam istilah Kiai Masdar (2020), “Dakwah itu memberdayakan, bukan memperdayakan�?. Dengan kata lain, dakwah itu memberdayakan umat untuk menggunakan segala potensi yang dimilikinya dalam hal kebaikan, bukan memperdaya dan mengelabuhi umat untuk hal-hal keburukan. Maka dari itu, sudah seharusnya Rizieq Shihab merenung sekali lagi, apakah dakwahnya mengajak kepada kebaikan dan kemaslahatan, atau sebaliknya?