Wasiat Kebangsaan Tan Malaka

0
69
WhatsApp
Twitter

“Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”, Tan Malaka.

Tepat hari ini, 10 November, bangsa kita diingatkan kembali ke masa di mana perjuangan tidak sekadar dikobarkan dengan semangat dan gagasan belaka, tetapi juga tumpahan darah. Hari Pahlawan menjadi simbol refleksi, jika Indonesia tidak sekonyong-konyong lahir. Ia ada tidak lain dari hasil pergulatan dan perjuangan panjang, sebagaimana kata Tan Malaka, terbentur, terbentur, terbentur dan akhirnya terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak terhitung berapa jumlah masyarakat kita yang harus membayar demi kemerdekaan dengan darah dan nyawanya. Banyak yang terlibat, banyak yang diingat, banyak pula yang terlupakan. Salah satunya ialah Tan Malaka. Tan Malaka adalah sosok yang memiliki andil besar dalam pergulatan dan perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan. Namun sayang kebesarannya seakan redup oleh sejarah dan ingatan. Di antara kita, dewasa ini, hanya sedikit yang tahu nama Tan Malaka. Padahala, jika ditilik perjuangannya untuk bangsa, ia pun salah satu sosok yang pantas disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar bangsa lainnya, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, dan lain sebagainya. Terlepas dari isu yang melekat padanya sebagai tokoh pemberontak, tetapi sudah barang tentu, mengingatnya sebagai pahlawan adalah keharusan. Karena, tidak dapat kita pungkiri gagasan-gagasan dan wasiat kebangsaannya adalah salah satu pondasi yang menjadikan bangsa ini kokoh berdiri dalam kemerdekaan hingga kini.

Bagi Tan Malaka kemerdekaan Indonesia adalah suatu nilai yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam hal ini Tan Malaka memiliki jalan dan caranya sendiri, yakni menempa masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang melek akan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan sains. Menurut ia, perkembangan suatu bangsa seiring dengan kemajuan illmu atau sains. Jika bangsa tidak merdeka, maka ilmu akan terbelenggu pula. Meskipun Indonesia bangsa yang kaya, tetapi jika sains dan teknologi tidak berkembang, maka ia akan menjadi budak sepanjangan sejarah, seperti yang dialami Indonesia selama 350 tahun. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam literatur-literatur kebangsaan diceritakan bahwa awal mula perjuangan Tan Malaka adalah sebagai pengajar. Ini pula yang membedakan Tan Malaka dengan tokoh-tokoh bangsa lainnya.

Tan Malaka merupakan sosok pejuang yang dikenal dengan berbagai kontroversi yang dimilikinya. Namun, ia pun merupakan salah satu tokoh penggerak kemerdekaan Indonesia yang ditakuti oleh para kolonialis Belanda. Faktornya, tidak lain karena kritik dan semangatnya dalam merebut kemerdekaan yang tiada henti, sehingga menyebabkan ia dipenjara dan diasingkan ke luar negeri. Dari perjalanannya diasingkan dan dipenjara dari satu penjara ke penjara lain, tidak malah membuatnya berubah. Tan Malaka adalah Tan Malaka, revolusioner yang selalu mengatakan “tidak” dalam hal perundingan dengan penjajah. Karena, cita-cita ia adalah sebagaimana dalam bukunya, “menuju merdeka 100 persen, tanpa terkecuali.

Di samping kegigihannya yang tidak mengenal kata kompromi, yang membedakan ia dengan tokoh-yokoh bangsa lain. Pun gagasan-gagsan kebangsaannya yang tertata apik dan abadi dalam karyanya. Salah satunya adalah Gerpolek (Gerilya, Politik, dan Ekonomi). Buku Gerpolek (2010) merupakan salah satu buku yang ditulisnya pada masa pasca kemerdekaan. Pada tahun tatkala ia meringkuk di dalam penjara. Gerpolek merupakan konsep perlawanan Tan Malaka menolak jalur perundingan yang dilakukan pemerintah dengan pihak kolonialis dan imperealis. Seperti yang ia katakan, bahwa “tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya. Konsep ini adalah siasat perang gerilya, baik politik, sektor ekonomi maupun sosial.

Dalam konteks ekonomi mislanya, ia membuat sebuah frame dalam gagasannya untuk terlepas dari sisa atau kembalinya kapitalisme Belanda, yakni dengan membuat konsep ekonomi berjuang dan muslihat. Konsep ekonomi berjuang demikian, yang menurut ia dalam buku Gerpolek (2010) adalah salah satu cara kita dapat menetapkan dan melestarikan kemerdekaan bangsa. Begitu pun dalam hal perlawanan, di saat yang lain memilih jalur diplomasi, ia lebih memilih jalan gerilya. Gerilya menurut ia adalah alat yang ampuh dalam menghancurkan apa saja, siapa saja yang memusuhi Proklamasi kemerdekaan 100 persen. Bagi ia perang gerilya ‘hit and run’ adalah satu-satunya jalan dalam memenangkan perang melawan Kapitalisme -imperialisme.

Tan Malaka mengharapkan bangsa kita tidak hanya mandiri dalam hal kemerdekaan, tetapi juga ekonomi, sosial, dan politik. Dan hal demikian, tidak akan tumbuh subur tanpa adanya semangat revolusi di setiap sendi-sendi jiwa masyarakat kita. Karena itu, ia tidak pernah bosan menyadarkan pentingnya hal ini. Bagi ia sebagaimana mengatakan dalam Aksi Massa (2013), revolusi bukan sesuatu yang lahir serta merta begitu saja ada, melainkan diperoleh melalui pergaulan masyarakat.

Cukup banyak kontribusi yang disumbangkan Tan Malaka untuk bangsa ini. Sebagai tokoh ia adalah pejuang, pahlawan yang militan, revolusioner, dan juga banyak menghasilkan gagasan-gagasan kebangsaan yang brilian. Karena itu, tidak mengherankan jika Bung Karno sendiri menyebutnya “seorang yang mahir dalam revolusi.”

Hari pahlawan kali ini, sudah seharusnya menjadi hari tidak hanya untuk kita mengenang Bung Karno, Bung Hatta seabagai pahlawan proklamasi, tetapi juga Tan Malaka dengan gagasan dan wasiat-wasiat kebangsaannya yang adiluhung. Kita sebagai generasi yang memegang estafet kebangsaan harus dapat adil, tidak hanya dalam tindakan, tetapi juga dalam pikiran.

Pendek kata, Wasiat kebangsaan Tan Malaka adalah salah satu harta berharga yang dimiliki bangsa kita. Selayaknya harta berharga, sudah barang tentu, kita sebagai yang diwasiati harus menjaga, merawat, dan mengimplementasikannya dalam bentuk nyata, tanpa terkecuali.