Hari Pahlawan dan Semangat Anti Khilafah

0
30
WhatsApp
Twitter

Sebagaimana biasanya, setiap tanggal 10 November bangsa ini memeringatinya sebagai hari besar nasional, yaitu Hari Pahlawan. Momentum ini tentunya bukan hanya sekadar seremonial semata, melainkan untuk mengenang jasa pahlawan yang berjuang melawan penjajah. Namun, dalam konteks hari ini semangat perjuangan itu harus di gaungkan kembali untuk mempertahankan Indonesia dari segelintir orang yang ingin mengganti Pancasila dengan sistem lainnya, yaitu khilafah.

Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu yang diperjuangkan para pahlawan kala itu. Mereka rela menempuh jalan bahaya dengan mengorbankan jiwa dan raga untuk membebaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari belenggu penjajahan. Para pahlawan juga membentuk sistem negara dengan ideologi Pancasila yang sebenarnya dirasa sudah pas dengan masyarakat Nusantara. Hal ini tentu membuat kehadiran ideologi lain, selain Pancasila tidak relevan dengan Bangsa Indonesia.

Khilafah sebenarnya merupakan bagian dari bayang-bayang ideologi yang sangat berbahaya bagi eksistensi dan akan mengancam kedaulatan bangsa, sebab dalam ideologi tersebut tidak memiliki akar budaya dari Bangsa Indonesia yang terkenal majemuk dan multireligi.

Pada konteks saat ini, memang Indonesia sedang dihadapkan pada benturan ideologi yang mengatasnamakan agama, baik itu dari gerakan Islam fundamentalis maupun konservatif. Gerakan-gerakan itu akan memperkeruh dan mempertentangkan dengan falsafah Pancasila. Padahal, Indonesia sendiri bukan negara Islam dan bukan juga negara sekuler, akan tetapi Indonesia adalah negara yang majemuk, plural dan multireligi dengan ideologi Pancasilanya. Tentu, benturan ideologi yang berbasis agama ini akan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Semangat anti khilafah juga seharusnya terus digaungkan, sebab di tengah masyarakat sendiri telah ada sebagian orang atau kelompok yang mendukung atau setuju Indonesia menjadi negara khilafah. Salah satu buktinya, dengan adanya survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 2017 menunjukkan ada 9,2 persen responden yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah. Ironisnya, Jika kita cermati, 9,2 persen dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia itu tidak sedikit. Jumlahnya bisa sampai 20 juta penduduk. Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika 20 juta orang tersebut terus aktif menyebarkan propaganda khilafah di tengah masyarakat. Jika kita tidak aktif menangkal, bukan tidak mungkin angka tersebut akan semakin bertambah.

Dalam sejarahnya, Sikap sang proklamator Bung Karno yang tegas menolak khilafah jelas terekam dalam tulisannya yang terbit sekitar tahun 1930-an, di masa ketika kekhilafahan Turki Usmani sudah dibubarkan oleh Kemal Ataturk beberapa tahun sebelumnya. Dalam tulisannya Bung Karno yang berjudul, Surat-Surat Islam dari Ende (1936), menuliskan bahwa alasannya menolak khilafah adalah karena sebagai Muslim, ia tak mau umat Islam menjadi mundur dan terbelakang. Baginya, khilafah sebagai lembaga politik sudah tidak relevan lagi di zaman modern yang dicirikan dengan sistem demokrasi dan nasionalisme.

Ungkapan Bung Karno mengkritik pendukung khilafah dalam suratannya tersebut yang justru tenggelam di masa silam, dan mereka anggap sebagai masa kebesaran, padahal hakekatnya terperosok dalam ketertinggalan. Dan itu bertentangan dengan spirit Islam yang diyakini Bung Karno sebagai spirit kemajuan. Islam is progress, begitulah kata Bung Karno. Islam adalah kemajuan dengan watak progresifnya, sebab Api Islam bukanlah Islam yang kuno. Api Islam bukanlah Islam yang ‘ngotot’ kembali ke zaman Khalifah. Dalam istilah Bung Karno, api Islam bukanlah “dupa dan kurma dan jubah dan celak mata.” Melainkan kemajuan.

Senada dengan ungkapan Bung Karno, pencarian titik temu Indonesia bukanlah negara sekuler yang ektrem, serta berpretensi menyudutkan agama tertentu. Pancasila juga tidak menghendaki perwujudan negara agama yang merepresentasikan salah satu aspirasi kelompok keagamaan tertentu. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara yang memiliki dasar Pancasila, bukan negara sekuler dan bukan negara agama (Islam).

Bahkan, Meminjam bahasa Edmund Husserl, penerimaan ulama dan para pahlawan terhadap Pancasila dalam wadah NKRI tidak lepas dari tahapan pemahaman trasendental, dimana para ulama dan pahlawan tersebut sebagai pendiri negara telah mampu menangkap substansi norma agama setelah melalui pemahaman komprehensif dari berbagai sudut pandang, sehingga mampu menawarkan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang inklusif dan aspiratif.

Ideologi Pancasila tidak hanya sebagai dasar atau falsafah Negara (philosophische grondslag), tetapi juga pandangan hidup (weltanschauung), ideologi, perekat segenap elemen bangsa, haluan dan tuntunan dinamis ke arah mana bangsa Indonesia akan melaju. Pancasila ini digali oleh para pahlawan dari berbagai kearifan suku bangsa, agama dan aliran kepercayaan yang telah berurat berakar dalam sanubari bangsa.

Alhasil, dalam mengenang dan merefleksikan perjuangan para pahlawan nasional, seharusnya kita sebagai generasi penerus menjaga, merawat NKRI dengan membumikan ideologi Pancasila, dan semangat mencegah khilafah. Sebab, bagi umat Islam, NKRI adalah daar al-‘Ahadl, negara kesepakatan, dan umat Islam komitmen dengan kesepakatan ini. Maka dari itu, tidak perlu ada yang mencoba-coba untuk merusak kesepakatan yang telah dibuat bersama dengan mengajukan cita-cita negara lain, selain Pancasila.