Pertarungan antar peradaban—sejarah antara ideologi agama dan sekularisme modern—kembali menyeruak. Diskursus mengenai agama dengan negara kembali mencuat, pasca-insiden pemenggalan seorang guru SMP bernama Samuel Patty di Perancis, akibat metode pengajarannya menggunakan media kartun Nabi Muhammad SAW kepada muridnya dalam pembelajaran kebebasan berpendapat. Lalu kejadian berlanjut, pada 29 Oktober 2020, tiga warga Perancis ditikam pisau di gereja Basilika Notre Dame di Nice.
Hal itu memperlihatkan banyak kalangan Barat, utamanya Perancis, belum memahami sosok Nabi Muhammad SAW dan ajarannya secara menyeluruh—etik-moral (akhlak), nilai kejujuran, nilai keadilan, cinta kasih, perikemanusiaan dan seterusnya—puncak dari agama Islam yang sebenar-benarnya. Beberapa peristiwa di Perancis, tidak menjustifikasi Islam sebagai ajaran kekerasan dan terorisme. Sebagaimana kekekeliruan pada pandangan Presiden Perancis, Emmanuel Macron yang berpidato mengenai peristiwa tersebut dan media satire Charlie Hebdo.
Dampak yang diakibatkan dari pernyataan Macron soal Islam dan terorisme, akhirnya menuai kecaman dari pemimpin-pemimpin negara Islam. Berdasarkan Tajuk Rencana pada harian kompas, Senin (02/11/2024), tidak hanya para pemimpin negara Islam, Presiden Joko Widodo pun turut mengecam Macron, seusai menggelar pertemuan dengan para pemimpin agama di Istana Merdeka, Sabtu (31/10/2024). Indonesia juga turut mengutuk aksi kekerasan yang terjadi di Paris dan Nice yang telah memakan banyak korban jiwa.
Menyikapi peristiwa yang terjadi di Perancis, kita harus memahami konteks akar sejarah dan latar belakang kasus secara mendetail dan komprehensif. Jika tidak, maka berakibat pada reaksi berlebihan yang tidak perlu dan dapat merugikan. Moralitas individu Muslim sendiri harus lebih dikedepankan. Jangan sampai perilaku ekspresif kita yang kelewat batas, semakin meyakinkan pihak Barat bahwa memang benar Islam sebagai agama kekerasan.
Islam memang agama kebenaran, lurus, dan rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Akan tetapi, tingkah laku penganutnya belum tentu mencerminkan Islam itu sendiri. Untuk itulah, kita sekali lagi diuji kehati-hatian oleh kasus semacam ini, apakah kita akan mencerminkan Islam yang sesungguhnya? Atau justru mendistorsi nilai-nilai keislaman? Karena perlu jujur, introspeksi dan disadari secara kolektif, beberapa diantara kita, masih banyak terjebak pada pemutarbalikkan ajaran Nabi Muhammad SAW, yang berimbas pada stigma negatif Barat terhadap Islam terus menerus.
Perlu diketahui, Reformasi dan Revolusi Perancis (1788-1789) yang terjadi secara radikal, berdampak abadi pada perjalanan budaya, politik, dan sosial yang mengubah tatanan kehidupan Perancis, bahkan Eropa secara keseluruhan. Sistem sosio-politik monarki absolute dalam cengkraman aristokrat dan gereja selama berabad-abad lamanya, diruntuhkan oleh kelompok radikal sayap kiri. Kemudian digantikan oleh prinsip-prinsip baru, yakni liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan) sehingga lahirlah ideologi Laicite (semacam ideologi sekularisme).
Dalam prinsip dasar Laicite, agama tidak boleh muncul ke ruang publik—tidak boleh terlembagakan, baik instansi pemerintahan, maupun penggunaan simbolistik (kalung salib atau jilbab) dalam sekolah dan kampus-kampus negeri—agama diserahkan ke individu masing-masing. Laicite sama halnya dalam konteks Indonesia yang memiliki dasar ideologi Pancasila, menjadi sesuatu yang amat mendasar bagi negara. Dalam konteks ini, pembelaan Macron pada kebebasan berpendapat perihal kartun Nabi Muhammad SAW, berada pada posisi pemerintahan yang membela ideologi negaranya.
Namun perlu dicatat, bahwa dibukanya sekularisme di Barat pasca-kematian komunisme pada perang dunia kedua yang dahsyat sejak abad ke-20, semakin membangkitkan agama-agama besar dunia. Khususnya menyeruaknya Islam sebagai agama yang tumbuh paling pesat di Eropa, bahkan dunia. Tatkala agama Kristen Barat yang kian merosot jumlahnya, Islam tumbuh berkecambah sebagai dampak dari imigran Arab dan Afrika ke Eropa untuk mencari suaka. Imigran inilah yang kemudian menancapkan nilai-nilai dan dakwah Islam di Barat.
Sementara Pew Research Centre Edisi 26 Mei 2017 menegaskan bahwa penduduk Muslim di dunia pada saat ini nomor dua terbesar sesudah jumlah Kristen, tapi penduduk Muslim akan berkembang paling cepat diantara agama-agama lain di dunia. Untuk pertumbuhan pemeluk agama di dunia periode 2015-2060, diproyeksikan bahwa penduduk Muslim akan bertambah 70%, sedangkan penduduk Kristen bertambah hanya 34%.
Laporan Pew tersebut juga memprediksikan bahwa populasi Muslim di Eropa akan tumbuh hampir sepertiga dalam 20 tahun, dari 44,1 juta jiwa, atau sekitar 6% dari seluruh penduduk Eropa pada tahun 2010, menjadi 58,2 juta jiwa, atau 8% dari prediksi total jumlah penduduk Eropa pada 2010. Jumlah tersebut belum memperhitungkan 80 juta penduduk Muslim Turki yang tentu saja secara otomatis menambah persentase keseluruhan jumlah penduduk Muslim di Eropa. Penduduk Muslim di Perancis juga diprediksi semakin bertambah menjadi 12,7% dari 8,8% pada saat ini. (Sudibyo Markus, 2019: 41-45).
Tapi, yang lebih penting dari angka-angka persentase di atas, penganut agama Islam sebagai makhluk Tuhan dan penghuni langit-langit Eropa, mampu atau tidak mengemban misi dan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai tanggung jawab kemanusiaan? Atau justru tenggelam dalam kebencian, intoleransi dan ekstremitas ala teroris yang semakin menciderai wajah Islam di mata Barat yang sama sekali belum memahami ajaran Nabi Muhammad SAW. Ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk membenahi secara internal terkait ajaran nabi yang begitu memanusiakan manusia.
Terorisme dan kekerasan tidak memiliki agama, demikianlah kata-kata yang sering kita dengar. Akan tetapi tidakkah teroris itu telah menunggangi agama sebagai basis ajaran moral? Dengan memekkikan lafaz suci Allahu Akbar terus menggorok leher seseorang itu bagian daripada agama? Sungguh mereka (kelompok ekstrem) telah mempeyorasi ajaran Nabi Muhammad SAW yang sesungguhnya. Akibatnya, pidato Macron dan pandangan Barat secara umum, telah memperlihatkan kebutaannya terhadap ajaran nabi. Akhirnya umat Islam hanya mengecam Macron, tanpa memandang sisi problematika ajaran Nabi Muhammad SAW yang diputarbalikan oleh kelompok ultra-konservatif seperti Ikhwanul Muslimin atau Salafisme dan Wahabisme yang bukan bagian dari mayoritas umat Islam.
Kelompok mainstream Muslim yang berada di Perancis, sangat bisa beradaptasi dengan sistem politik Perancis. Kalau harus mengecam, tentu saja tidak hanya Macron, akan tetapi tindakan ekstrem yang dilakukan oleh pelaku teroris juga patut lebih dikecam. Sabab mereka benalu agama—kalau tidak mengecam aksi pembunuhan itu dengan keras juga sebagaimana kecaman kita terhadap Macron—sama halnya melegalisasi sebagai preferensi agama Islam untuk membunuh atau meneror orang lain. Kita tidak bisa parsial dalam memahami persoalan ini, tidak hitam putih. Persoalan ini begitu kompleks, belum lagi soal geopolitik di sana. Kalau dalam bahasa Jawa disebut ambyar.
Yang ingin kita nyatakan kepada Macron bahwa ekstremisme itu bukan representasi dari Islam secara mayoritas. Agama Islam adalah agama perdamaian, agama Islam mengajarkan toleransi, terorisme sangat kita kecam dan seterusnya.
Kelemahan terkait persoalan Perancis dan wacana internasional lainnya, seringkali kita bereaksi tanpa memahami konteks secara utuh sehingga kita melakukan kecaman yang tidak adil. Terkait permasalahan yang ada di Perancis dalam konteks sejarah Laicite, latar belakang insiden dan lain sebagainya itu, menjadi sedemikian rumit dan kompleks.
Charlie Hebdo bukan hanya menghina Nabi Muhammad SAW, akan tetapi yang beragama Kristen juga—mocking atau mengejek Yesus yang dibuat kartun serupa, bahkan lebih parah—sama bernasib seperti Islam sebagai akibat dari kebebasan berpendapat tadi. Perancis memperlakukan sama terhadap semua agama (Yahudi, Kristen dan Islam). Jadi bukan berarti Perancis membela Kristen. Ini yang kadang-kadang disalahpahami oleh kita lantaran tidak menyelami secara utuh tentang persoalan yang muncul.
Kasus aktual yang terjadi belakangan di Perancis, kebetulan memiliki latar belakang agama Islam. Jadi respons yang diberikan oleh Macron lebih spesifik atas gejala kebangkitan Islamisme (Islam politik, Ikhwanul Muslimin, Salafisme-Wahabisme yang ultra-konservatif). Perancis memang menghormati semua agama, tapi tidak menjadi hal yang penting di ruang publik, dan itu sejak dulu.
Pandangan Barat terhadap Nabi Muhammad SAW memang sejak abad pertengahan, menyebut nabi penipu yang terkenal dengan Song of Antiochia (nyanyian Antiochia), al-Quran bukan kitab suci dan seterusnya, banyak dibantah oleh kalangan orientalis seperti Edward Gibbon (1737-1794), Arnold J. Toynbee (1889-1975). Bahkan Johann Wolfgang Goethe (1749-1832), mulai mempelajari Islam dan al-Quran yang ditulis dalam bahasa puisi tingkat tinggi yang dikaguminya pada tahun 1771, terutama karena Islam mengajarkan kembali ke tauhid murni, keesaan Tuhan. Tidak hanya itu, seorang pujangga besar Inggris kedua setelah William Shakespeare, yakni George Bernard Shaw (1856-1950), walau ia mengaku sebagai ateis, tetapi ia begitu dikenal sebagai pengagum berat Nabi Muhammad SAW, dan menyebut manusia agung itu sangat layak disebut sebagai penyelamat kemanusiaan.
Sekali lagi, menjadi tugas kita bersama dalam menyikapi persoalan ini adalah memberi pemahaman yang baik tentang ajaran Nabi Muhammad SAW dengan menunjukkan dan mengaktualisasikan akhlak. Ritual ibadah yang kita lakukan, seyogyanya terimplementasi dalam perilaku sosio-kultur di tengah masyarakat. Mari kita tunjukkan kepada komunal kita sendiri, maupun dan terutama sekali kepada Macron dan Barat yang belum sepenuhnya mengetahui ajaran Nabi Muhammad SAW, bahwa ajaran nabi adalah ajaran cinta dan kasih terhadap sesama. Bukannya marah-marah yang semakin menimbulkan perselisihan dan ketegangan. Utamakan musyawarah dan dialog untuk mendinginkan.
Posisi Indonesia dalam hal ini, dapat menjembatani dan memberikan pemahaman yang terbukti bahwa Macron dan Barat, belum sama sekali menyelami ajaran Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya mengecam; mengutuk, dan mencaci maki, melainkan mencari titik temu demi kebaikan Islam dalam mewujudkan perdamaian dunia. []