Semangat Beragama, Semangat Kemanusiaan

0
19
WhatsApp
Twitter

Memasuki era globalisasi, dunia kembali diramaikan dengan maraknya diskursus tentang agama dan kemanusiaan. Hal ini sebagaimana lazimnya sebuah wacana, tentu tidak berdiri sendiri. Banyak faktor yang ikut mendorong kelahirannya. Salah satunya, ialah apa yang oleh Gilles Kipel sebut dengan “krisis modernitas”. Modernitas yang disinyalir dengan bangkitnya berbagai paradoks, meningkatnya kasus kemanusiaan, dan disintegrasi bangsa membuat sebagian banyak orang untuk kembali pada agama.

Pada hakikatnya, memanglah demikian, di dunia ini tidak ada agama yang tidak menjunjung tinggi kemanusiaan. “Kemanusiaan mendahului keberagamaan,” demikian kata Quraish Shihab. Dalam Islam misalnya, dengan keindahan akhlaknya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, telah menjadikan Islam sebagai agama yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu pula Islam hadir, sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Begitu pun dalam agama-agama lain, di Indonesia khususnya. Dalam Kristen, kitab Perjanjian Baru mengabadikan ajaran cinta kasih, sebagaimana dalam Lukas surah 10 ayat 27 dikatakan, bahwa Kasihanilah sesamamu sama seperti kamu mengasihani dirimu sendiri. Hindu dan Buddha pun demikian, terdapat ajaran dhammah untuk mengasihi seluruh makhluk hidup. Pun dalam ajaran Tao dan Kong Hu cu mereka diajarkan untuk saling menghormati dan tidak menyakiti orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Kong Qiu, pembawa agama Kong Hu cu bahwa “jangan melakukan pada orang lain apa yang tidak kau inginkan untuk dirimu sendiri.”

Pada dasarnya agama-agama di dunia maupun di Indonesia mengajarkan prinsip cinta kasih sesama manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena itu, dalam kehidupan sosial haruslah saling menghormati sesama manusia, tanpa harus memandang agamanya. Tidak penting apa pun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik buat semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu, begitu kata Gus Dur yang nerupakan bapak pluralisme kita. Hakikatnya, kita harus saling tolong menolong, sehingga kehidupan rukun dalam perbedaan dapat dicapai. Kerukunan umat beragama pun dapat dijaga. Saling hormat-menghormati sebab kita semua adalah ciptaan Tuhan.

Namun, seperti Karen Amstrong dalam karya monumentalnya, History of God mengatakan, mempertanyakan tentang masa depan agama, Does God have a future? Pertanyaan itu jelas, diajukan bukan tanpa alasan. Hal ini lahir dari analisa tajam Karen Amstrong dalam mengkaji kesejarahan manusia dalam memahami Tuhan semenjak 4000 tahun yang silam. Meskipun ia sangat optimis tentang masa depan agama, tetapi ia melihat bahwa kehidupan manusia memasuki era ini sangat jauh berbeda dengan kehidupan manusia pada era-era sebelumnya. Agama pada saat ini dihadapkan pada tantangan-tantangan kemanusian, perpecahan, dan kerusakan lingkungan hidup secara global.

Sebut saja tragedi Timur Tengah, yang sampai per dektik ini belum juga berkesudahan. Setiap hari, setiap menit dan jam suara-suara gemuruh bom selalu menjadi momok yang sangat menakutkan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa juta nyawa melayang. Di Indonesia misalnya, kita tidak dapat menafikan jika kasus-kasus intoleran masih kerap terjadi. Belum sudah pembantaian Jemaah Ahmadiyyah hilang dalam ingatan, kasus-kasus persekusi di tempat peribadatan masih terjadi. Belum lagi, maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan anarkisme di media sosial. Jelas, hal ini tidak sama sekali mencerminkan manusia yang beragama. Manusia yang menjunjung kemanusiaan di antara perbedaan.

Padahal, agama bukan alat pemecah belah. Ia hadir membawa misi kemerdekaan dan perdamaian, bukan ujaran kebencian apalagi pertumpahan darah. Hakikatnya manusia adalah manusia, walaupun berbeda agama dengan kita, tetapi manusia berhak atas kemanusiaannya. Perbedaan agama bukanlah alasan untuk kita memutuskan kemanusiaan dengan manusia. Muslim yang baik pastilah sangat memahami hal ini, sebab dalam Islam sendiri Nabi Muhammad saw berpesan, bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).

Karena itu, Perbedaan agama bukan alasan untuk mayoritas menindas minoritas dan memberangus rasa kemanusiaan dalam diri kita. Perbedaan agama harus menjadi pangkal dan alasan kita hidup, saling bahu membahu merajut kerukunan, gotong royong, dan menghormati satu sama lain. Perbedaan agama bukan alasan pemutus tali silaturahmi.

Kebhinnekaan adalah Indonesia. Sebab, Indonesia lahir dan masyhur karena perbedaan dan keberagamnnya. Kita besar bukan saja karena agamanya yang plural, tetapi juga sifat kemanusiaan kita yang telah membumi, merasuki setiap sendi-sendi masyarakat kita dari dulu hingga nanti, dan ini mesti harus lestari.

Tingginya semangat beragama adalah keniscayaan. Namun, beragama yang baik adalah yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena semangat ialah adalah semangat kemanusiaan!