Khilafah Anti-Sekulerisme, Tapi Banggakan Pimpinan Sekuler

0
83
WhatsApp
Twitter

Pemberitaan khilafah, nampaknya selalu menjadi topik yang tak ada hentinya diperbincangkan di jagat siber. Terkait sekulerisme, oleh khilafah ia disejajarkan dengan sistem kafir karena dianggap tidak islami. Mestinya pantang bagi penggerak khilafah, ikut berorientasi pada apapun tentang sekulerisme, apalagi membanggakan Erdogan sebab dikenal tegas membela Islam. Padahal ia jelas pimpinan sekuler, bukankah ini sebuah kerancuan. Karena itu, referensi agar menjadi umat yang berjaya ialah terletak pada kesadaran dan semangat pribadi, tidak sistem khilafah.

Recep Tayyip Erdogan merupakan presiden Turki yang menjabat sejak 2014 hingga 2023 (dua priode). Oleh majalah The Economist, Erdogan dibuatkan tulisan berjudul ‘Erdogan new sultanate’ karena sekarang ini ia dikenal sebagi pemimpin Muslim yang paling kharismatik di dunia (2016). Khususnya simpatisan khilafah, melihat Erdogan sebagai pewaris ottoman, langsung saja mengelu-elukan pimpinan sekuler ini, terlebih saat Erdogan berhasil mengubah Ayasofia dari museum menjadi masjid (10/07), dan sikap keras Erdogan kepada Israel. Selain itu, ia juga dinilai sebagai pemimpin yang mencerahkan Islam di negara sekulernya.

Sebagaiamana kolomn Nuray Mert di Hurriyet Daily News, sikap kritis Erdogan dan partainya yang ingin menggantikan Republik Turki dengan ‘Turki Baru’ lebih menekankan pada identitas Muslim, menjadi pertentangan para pemegang tegus kemalisme. Corak Islam dalam sekuler di pemerintahan Erdogan tengah diperjuangkan. Melihat ini Muslim Indonesia patutnya bersyukur karena corak Islam yang ada disistem negara kita telah ada sejak Indonesia berdiri. Akan tetapi para penggerak khilafah di Indonesia, sepertinya tak melihat itu sebagai sesuatu yang membanggakan, seperti halnya ia melakukannya pada pemerintahan Erdogan.

Mungkinkah para simpatisan khilafah, ketika melihat Turki justru bayangan mereka tenggelam dalam mimpi di masa kejayaan Ottoman? Kaum seperti ini bisa juga disebut gerakan revivalisme. Nostalgia ini merupakan bumerang dan hanya menyebabkan siapapun menjadi sulit move-on menatap masa depan.

Menyoalkan revalisme di masa kejayaan Islam agar lebih adil, ada baiknya kita juga mengungkap sisi lain yang jarang keluar dipermukaan khalayak awam tentang masa tersebut. Menurut Nadirsyah Hosen dalam buku Islam Yes, Khilafah No, selepas masa Khula al-Rasyidin ternyata hanya pada masa Umayyah dan awal masa Abbasiyah saja terdapat satu khalifah untuk semua umat Muslim. Di masa Abbasiyah, Cordova (Andalusia) memisahkan diri, selanjutnya membangun kekhalifahan sendiri (Umayyah II). Di masa ini umat Islam menoreh sejarah tinta emas. Namun pada waktu yang sama terjadi dualisme kepemimpinan umat, buktinya masih dianggap sukses. (2018, h. 38)

Sementara kisah ironis pada masa Bani Abbasiyah yakni perebutan khilafah, ketika para pasukan tentara Bani Abbas menaklukan kota Damsyik, permainan pedang mengakibatkan pertumpahan darah terjadi di mana-mana, sehingga lebih lima puluh ribu orang terbunuh. Khilafah Ottoman juga mempunyai masa kelam yang sama penuh berlinangan darah. Sudah seharusnya simpatisan Khilafah menyadarinya. Jadi khilafah yang selama ini dilantangkan sebagai solusi, itu hanya skenario fiktif belaka.

Seandainya orang-orang melihat sejarah suram tentang khilafah, seperti contoh di atas. Mestinya mereka tidak lagi mengatakan anti-sekulerisme, anti-demokrasi atau mengatakan anti kepada sistem selain khilafah. Erdogan pun dengan tegas mengatakan Republik Turki akan berdiri selamanya, seperti yang di lansir al-Araby (27/7).

Sedikit catatan, dari buku Turki Revolusi Tak Pernah Henti karya Trias Kuncahyono, Erdogan dan pemerintahannya kerap kali menargetkan wartawan secara perorangan (2018). Konsekuensi besar menanti wartawan yang berani mengkritik. Paling tidak 59 wartawan dipaksa keluar atau dipecat karena protes di Gezi. Selanjutnya tentang penghinaan Erdogan misalnya (2013), dua orang kartunis dijatuhi hukuman 11 bulan 20 hari penjara. Namun pada 2014, hukuman tersebut diubah menjadi denda.

Pada akhirnya, seorang pimpinan yang dibanggakan penggerak khilafah, seperti Erdogan tetap masih melawan arus terjang untuk menerapkan sistem bercorak Islam. Kendati Indonesia bukan sistem khilafah, tetapi secara substansi Indonesia adalah negara bernuansa Islam, fakta di antaranya semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Bahkan boleh jadi nuansa Indonesia adalah perihal yang diperjuangkan oleh Erdogan dan pemerintahannya.

Walhasil, patutnya kita tak terpengaruh dengan doktrin khilafah yang kerap kali mengatakan anti selain sistem dirinya. Bangga dan kritis terhadap kepemimpinan negara merupakan bukti kepedulian sebagai bangsa dalam bernegara.