Hoaks Tantangan Demokrasi Digital

0
130
WhatsApp
Twitter

Teknologi komunikasi menggunakan internet telah mempengaruhi pembentukan identitas politik. Perkembangan teknologi komunikasi yang kemudian diikuti dengan kemajuan dalam teknologi informasi, memberikan warna baru bagi kehidupan politik di berbagai negara. Teknologi informasi dan Komunikasi menyediakan akses lebih terhadap informasi dan kemampuan warga negara dalam mereflesikan aspirasinya di luar lingkup individu.

Informasi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi mulai bergerak membentuk ruang-ruang publik virtual sebagai sarana mempersentesikan kehendak menyatakan eksistensi mereka. Keberadaan teknologi-teknologi baru tersebut mengundang kita berfikir ulang mengenai demokrasi di era digital.

Dalam teorinya, demokrasi digital menjelaskan bagaimana Teknologi dan Komunikasi (TIK) mempengaruhi demokrasi dan politik yang sedang berjalan. Saat ini, TIK memainkan peranan yang signifikan dalam pencapaian demokrasi yang kuat berdasarkan jaringan komunitas. TIK merupakan faktor yang potensial untuk mendorong perkembangan demokrasi dan memfasilitasi sebuah lompatan jumlah dalam konteks demokrasi politik.

Demokrasi digital menjembatani kesempatan untuk membuat sebuah jaringan global yang tidak kenal batas wilayah, menyediakan sebuah level atau model baru dalam kebebasan berpendapat dengan tidak dibatasi. Selain itu, demokrasi digital juga menciptakan sebuah level baru, asosiasi yang bebas, menciptakan dan menyebarluaskan informasi yang tidak terikat pada subjek hukum tertentu, serta membongkar identitas nasional berdasarkan pada adopsi lokal dan global, demikian menurut Hague dan Loader, 1999:6.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat saya pahami bahwa demokrasi digital adalah sebuah bentuk demokrasi yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang, waktu dan geografis. Demokrasi digital menjadikan masyarakat menjadi lebih bebas dalam mengeluarkan pendapat melalui saluran informasi teknologi komunikasi dan informasi, dengan memindahkan kekuatan suara rakyat dari politik tradisional kepada dunia maya atau cyberspace yang bersifat global.

Munculnya fenomena tersebut disebabkan oleh globalisasi yang memiliki ciri penyebaran komunikasi global dan meluasnya permintaan akan lembaga-lembaga dan norma-norma demokrasi. Demokrasi digital kemudian memunculkan ruang publik yang menjadi mediasi antara masyarakat dan negara dimana publik mengatur dan mengorganisasikan sendiri sebagai pemilik opini publik yang berfungsi untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah.

Era teknologi informasi memaksa kita untuk meninjau kembali praktik demokrasi yang telah berjalan saat ini, baik dalam konteks aktor, insitusi, dan pelaksanaannya, dipandang berada dalam kondisi yang rapuh. Perubahan yang cepat dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya yang ditandai oleh munculnya era informasi, memberikan sebuah peluang untuk memikirkan dan jika mungkin memperbaiki kondisi demokrasi dalam konteks aktor, insitusi dan pelaksanaannya.

Hasil riset dari Setudi Polling Indonesia dan Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet di Indonesia tumbuh 10,12 persen, dari totoal populasi 264 juta jiwa penduduk, ada sebanyak 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen sudah terhubung ke internet. Berdasarkan data lapangan yang diambil selama periode Maret hingga April 2019.

Dari data diatas kita dapat melihat bahwa pengguna internet di Indonesia terbentuk dan bertambah secara signifikan. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai pengguna jejaring sosial facebook terbesar keempat dan pengguna twitter terbesar kelima. Jakarta sebagai ibu kota negara bahkan dijuluki sebagai ibukota twitter, karena menjadi kota yang memiliki pengguna twitter terbanyak dibandingkan kota-kota lain di dunia. Hal tersebut memperlihatkan bahwa partisipasi dalam komunitas on-line sangat penting di kalangan kelas menengah, dan mulai menggeser pengaruh media konvensional.

Keterlibatan kelas menengah, khususnya dari kalangan generasi muda dalam media sosial baru menduduki porsi yang sangat besar, baik untuk mendapatkan hiburan, interaksi sosial, maupun untuk ruang ekspresi diri. Yang juga menonjol adalah banyak pula aktivis sosial memanfaatkan media sosial digital ini untuk terlibat dalam diskursus publik menyangkut isu-isu yang selama ini mereka kerjakan secara off-line.

Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan demokrasi digital adalah situs change.org. Change.org adalah platform petisi terbesar di dunia, memberdayakan orang di mana pun untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat. Terdapat lebih dari 70 juta pengguna change.org di 196 negara, dan setiap hari orang menggunakan alat ini untuk mentransformasi komunitas mereka secara lokal, nasional dan internasional.

Di Indonesia, change.org resmi membuka kantor perwakilan pada tahun 2012. Di tahun 2019, change.org Indonesia chapter telah memiliki sekitar 13 juta pengguna. Angka itu meningkat 6 juta lebih pengguna dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan pengguna itu, diklaim berimplikasi pada sejumlah kemenangan. Tercatat sejumlah petisi yang menuai kemenangan mencapai 2,5 juta ditahun itu, dengan didominasi kampanye bertema demokrasi dan anti korupsi, antara lain: #Revormasidikorupsi, yang menolak beberapa undang-undang yang dinilai tidak demokratis, lalu ada #SemuaBisaKena, yang berhasil mendapatkan dukungan dan kemenangan lebih dari 1 juta tanda tangan dari masyarakat.

Perkembangan komunikasi dan teknologi informasi juga menantang netizen untuk mencari cara terbaik dan efektif mengawasi proses-proses demokrasi dan pembangunan. Para netizen membuat aplikasi yang memudahkan orang mengawasi pemilu, pilkada, hingga pengawasan penggunaan dana desa. Kian hari kian banyak orang berpartisipasi dalam pembangunan, meski itu dari pojok kamar dengan berbekal smartphone dan sambungan internet.

Tanpa kita sadari, kita sudah menjadi bagian dalam catatan sejarah demokrasi digital di negeri ini. Netizen menjadi saksi sekaligus pelaku perubahan di banyak hal. Mulai dari politik, hukum, lingkungan, dan banyak isu publik lain. Tahun 2019 yang telah berakhir telah membuktikan, kekuatan netizen luar biasa dahsyat. Ini patut menjadi perhatian bagi para elit politik, penguasa, pemangku jabatan publik agar tidak main-main dalam membuat kebijakan. Jika tidak mau berhadapan dengan kekuatan netizen yang tidak bisa dibendung lagi.

Tantangan

Demokrasi digital meski begitu terlihat mudahnya, bukan berarti tanpa hambatan. Media sosial yang menjadi alat menjalankan demokrasi digital sangat rentan disusupi berita bohong atau hoaks. Informasi sekarang dapat beredar secara bebas dan tidak diverifikasi di internet, memberikan kemungkinan kesalahan informasi dan propaganda pada skala yang sebelumnya hampir tidak mungkin terjadi. Akibatnya, sekarang mungkin untuk berbagi berita bohong atau hoaks lebih sering daripada berita yang diverifikasi, juga karena fakta bahwa media sosial telah memungkinkan proliferasi akun palsu yang tampak otentik atau menyesatkan yang membantu menyebarkan kebohongan, paling sering ditujukan kepada publik.

Fenomena hoaks di Indonesia ini dipandang menimbulkan beragam masalah. Kemunculannya semakin banyak pada saat Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah berlangsung. Hoaks adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca untuk mempercayai sesuatu. Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran untuk maksud tertentu. Tujuan hoaks bisa sekadar lelucon, iseng, hingga membentuk opini publik. Intinya hoaks itu sesat dan menyesatkan, apalagi jika pengguna internet tidak kritis dan langsung membagikan berita yang dibaca kepada pengguna internet lainnya.

Menurut Ryan Ariesta (Dalam Rudi, 2017), dari Analisis Political Waves, ada tiga faktor masyarakat Indonesia sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai konten hoaks, pertama, minat baca masyarakat masih sangat kurang. Kedua, tidak memeriksa kebenaran dan keaslian berita tersebut. Hal ini memberikan perubahan berbagai pandangan masyarakat Indonesia terhadap fenomena yang sedang marak dibicarakan oleh umum. Ketiga, masyarakat Indonesia terlalu cepat dalam menyimpulkan suatu peristiwa yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan atas sebab dan akibat, ketika hal tersebut terjadi dapat disimpulkan bahwa kurangnya niat dalam mencari tahu hal yang lebih jelas.

Lalu bagaimana mengatasinya?

Cara mengantisipasinya bisa dilakukan dari 2 sisi, yaitu sisi khalayak virtual dan sisi regulasi. Dari sisi khalayak, perlu adanya proses gerakan literasi media. Ialah dengan mengembangkan beberapa elemen esensial literasi digital, yakni memahami konteks, meluaskan pikiran, menciptakan hal positif, percaya diri, bertanggung jawab, dan kritis menyikapi konten atau berita. Ini penting, sebab tidak jarang audien yang tidak tau apa-apa menjadi bagian dari penyebar hoaks. Dari sisi regulasi perlu hukuman yang kuat tidak hanya berfokus pada si penyebar hoaks tapi lebih menitikberatkan pada si pembuat isi hoaks.

Dari sisi hukum, UU ITE pun tetap perlu, namun juga perlu disediakan wadah, baik berbentuk aplikasi, web, atau apa saja namanya, yang didalamnya masyarakat virtual bisa melapor, mengecek kebenaran berita dan mengklarifikasi informasi yang sudah didapat. Ini memang pekerjaan berat, tapi disinilah salah satu peran pemerintahan. Negara hadir disaat masyarakat resah atau ragu terhadap informasi atau berita-berita yang diterimanya.

Globalisasi menyebabkan konsep dan nilai-nilai demokrasi menjadi tersebar ke seluruh penjuru dunia. Demokrasi yang didalamnya mengandung nilai persamaan, kebebasan berpendapat, penghormatan terhadap hukum, dan keadilan menjadi titik tolak bagi keberhasilan demokrasi modern.

Era disrupsi yang ditandai dengan banjir informasi menjadikan filter informasi tidak semudah era sebelumnya ketika internet belum digunakan secara masif. Sehingga tidak mengherankan, hoaks begitu mudah tersebar dimasa sekarang yang pada tataran tertentu bisa memecah belah masyarakat, juga di era yang serba digital ini pula virus hoaks menjadi tantangan kita bersama dalam menjalankan demokrasi digital. Dengan demikian, apabila langkah-langkah menangkal hoaks telah diambil, diharapkan demokrasi digital dapat dijalankan dengan aman dan kondusif tanpa menimbulkan perpecahan antar anak bangsa.