Hoaks Media Sosial Picu Kekerasan

0
169
WhatsApp
Twitter

Penyesatan informasi di media sosial dengan menyebarluaskan berita bohong atau hoaks, masih terus terjadi. Walaupun beberapa di antaranya telah masuk bui, namun ternyata tidak membuat efek jera. Dibutuhkan kedewasaan setiap individu untuk memutuskan memiliki media sosial, karena di dalam media sosial banyak sekali bersliweran berita benar dan berita bohong.

Media sosial memang memberikan kemerdekaan seluas-luasnya bagi penggunanya untuk mengekpresikan dirinya, pandangan hidupnya, sikapnya, pendapatnya, atau hanya sekadar menumpahkan unek-uneknya. Melalui media sosial, ribuan bahkan jutaan informasi disebar setiap harinya. Keberadaan fitur share, like, hastag, dan trending topic sangat berpengaruh bagi minat dan konsumsi khalayak. Lewat fitur-fitur tersebut, berita dan informasi dapat di bagikan secara mudah dan viral.

Media sosial mengalami perkembangan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Di awali pada era 70-an lampau, ketika pertama kali ditemukannya sistem papan buletin yang memungkinkan untuk berhubungan dengan orang lain menggunakan surat elektronik ataupun mengunggah dan mengunduh perangkat lunak. Semua itu dilakukan masih dengan menggunakan saluran telepon yang terhubung dengan modem.

Tahun 1995 lahirlah situs GeoCities yang melayani layanan penyewaan penyimpanan data-data website agar website bisa diakses dari manapun. GeoCities juga merupakan tonggak awal berdirinya website. Pada 1997 sampai 1999 muncul media sosial pertama yaitu Sixdegree.com dan Classmates.com. Tak hanya itu, di tahun tersebut muncul juga situs untuk membuat blog pribadi, yakni blogger, situs ini menawarkan penggunanya untuk bisa memuat hal tentang apapun.

Pada tahun 2002 Friendster merajai media sosial, karena hanya Friendster yang mendominasi media sosial di era itu dan kehadirannya sempat menjadi fenomenal. Setelah itu, tahun 2003 sampai hari ini, bermunculan berbagaai media sosial dengan berbagai karakter, fitur, dan kelebihan masing-masing, seperti Google+, Facebook, Twitter, Instagram, Line, Whatshap, dan lain sebagainya.

Kita patut prihatin dengan kondisi masa kini, banyak orang yang memanfatkan media sosial untuk menyebarkan hoaks atau berita bohong yang bernuansa kebencian dan provokasi. Keadaan tersebut jelas menjadi ancaman dan memberi dampak negatif yang mengarah pada kekerasan yang berujung perpecahan. Penyebaran berita bohong atau hoaks merupakan informasi yang direkayasa untuk menutupi berita sebenarnya. Dengan kata lain, hoaks diartikan sebagai upaya memutarbalikan fakta menggunakan informasi yang seolah-olah meyakinkan, namun tak dapat diverifikasi keabsahannya.

Dari hasil survey tentang wabah hoaks nasional yang dilakukan oleh Mastel (2017), bahwa channel atau saluran penyebaran berita atau informasi yang berisi konten hoaks tertinggi adalah dari media sosial berupa facebook dengan urutan tertinggi sebesar 92,40%, aplikasi chating 62,80%, dan situs web 34,90%. Hoaks sengaja diciptakan untuk membuat masyarakat resah, merasa tidak aman, dan kebingungan. Hoaks dibuat untuk menipu pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu dan menggiring opini mereka agar mengikuti kemauan pembuat hoaks.

Dalam melakukan aksinya, penyebar hoaks menggunakan rekayasa sosial, yaitu berupa manipulasi psikologis untuk mengungkap informasi rahsaia. Mekanisme yang digunakan seperti, memakai akun samaran disertai foto palsu (foto perempuan cantik atau pria dengan profil meyakinkan) di media sosial. Dampaknya mengakibatkan orang mudah percaya terhadap akun tersebut dan percaya dengan berita yang ia sebarkan.

Dalam agama Islam sendiri, etika berkomunikasi telah ada di kitab suci al-Quran surat al-Hujarat ayat 6: yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu perkara yang tidak diingini, dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya), sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang telah kamu lakukan.

Dalam ayat di atas, kita dianjurkan untuk memeriksa kembali kebenaran sebuah berita dngan kata tabbayun, yang artinya mencari kejelasan tentang kebenaran suatu berita, hingga jelas keberadaanya. Unsur hoaks sama dengan penipuan, oleh karenanya hoaks menjadi lelaku yang dapat dimasukkan dalam lingkup hukum pidana. Adapun hoaks semakin berkembang, karena kesalahan individu yang tidak meneliti informasi yang beredar.

Kerusuhan 22 Mei 2019 setelah pengumuman hasil Pilpres 2019 menjadi bukti nyata bahaya mematikannya hoaks. Tercatat delapan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Salah satu penyebab utama memuncaknya kekerasan waktu itu adalah berita palsu yang viral dan vidio yang di palsukan yang beredar di media sosial.

Peristiwa kelam dan anarkisme gara-gara hoaks yang selalu diwarnai kekerasan, bukan kali pertama terjadi, di Wamena, Jayawijaya misalnya, aksi masa anarkisme yang dilakukan sekelompok siswa PGRI dan masyarakat yang berjumlah 200 orang pada senin (23/9/2024), pun ditenggarai oleh berita hoaks yang beredar di media sosial sebelumnya. Kabar bohong itu mengatakan, seorang guru di sekolah mengeluarkan kalimat rasis kepada muridnya. Setelah dikonfirmasi oleh Kepolisian Wamena, dengan menanyakan lansung kepada pihak terkait, bahwasanya tidak ada kalimat rasis yang dilontarkan guru tersebut kepada muridnya. Aksi unjuk rasa ini juga berujung pada pelemparan batu hingga massa membakar sejumlah bangunan, mulai dari rumah warga hingga kantor institusi dan menewaskan 26 orang.

Melihat beberapa peristiwa memilukan di atas memang sangat-sangat disesalkan. Harus diakui, pengetahuan masyarakat kita secara umum yang masih minim, ditambah karakter yang dinilai belum terbiasa berpendapat atau berdemokrasi secara sehat, maka penggiringan opini melalui berita bohong atau hoaks menjadi sangat mudah dilakukan. Agaknya, menjadi tantangan yang cukup sulit untuk meredam penyebaran hoaks di era digital ini.

Namun demikian, kita wajib mencegah penyebaran hoaks ini, kendati betapun sulitnya. Salah satu langkah yang bisa diambil untuk setidaknya mengurangi penyebaran berita hoaks ialah dengan literasi media. Literasi media merupakan perspektif yang dapat digunakan ketika berhubungan dengan media agar dapat menginterpretasikan suatu pesan yang disampaikan oleh pembuat berita.

Literasi media adalah pendidikan yang mengajari khalayak media agar memiliki kemampuan menganalisis pesan media. Dengan memahami bahwa media memiliki tujuan komersial atau bisnis dan politik, sehingga mereka mampu bertanggungjawab dan memberikan respons yang benar ketika berhadapan dengan media.

Peristiwa penyebaran berita hoaks yang kian marak terjadi di Indonesia menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini dapat disikapi oleh para pengguna media sosial agar menjadi netizen yang cerdas, bijak, dan selektif serta berhati-hati akan segala berita maupun informasi yang tersebar. Diharapkan pula untuk tidak langsung percaya dari berita atau informasi yang diterima, cari tahu darimana sumber berita tersebut dan gali informasi lebih jauh dari berita dan informasi yang masuk. Jangan mudah terprovokasi dengan meyebarluaskan kembali berita atau informasi yang belum jelas benar atau tidaknya.

Pemerintah juga diharapkan lebih cepat lagi dalam merespons hoaks yang beredar di masyarakat, sehingga meminimalsir kegaduhan, kerusuhan, dan keresahan yang terjadi di masyarakat. Lebih dari itu, lebih giat lagi mensosialisasikan UU ITE agar masyarakat lebih paham cara menggunakan media sosial dan internet dengan baik.

Dengan demikian, kiranya media sosial dan internet digunakan untuk kebaikan hidup dan membaikkan hidup, maka peristiwa kerusuhan, dan kekerasan yang disebabkan hoaks oleh media sosial tidak akan terjadi kembali.[]