Hidayat Nur Wahid dan PKS, Oposisi Tak Solutif

0
148
WhatsApp
Twitter

“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebuah pepatah Jawa yang masyhur dari Ki Hadjar Dewantara rasa-rasanya cocok untuk disematkan untuk tokoh agamis dan politisi kondang: Hidayat Nur Wahid (HNW). Pasalnya, politisi kaliber sekaligus salah satu elit Partai Keadilan Sejahtera ini, lagi-lagi sebagaimana kader-kader PKS lainnya selalu sama kerapkali berlainan dengan asas dan etika partai politiknya dengan tindak-tanduk yang ia pertontonkan kepada khalayak luas.

Hidayat Nur Wahid, merupakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI ke-11 (2004-2009). Ia juga merupakan salah satu deklarator dan presiden kedua Partai Keadilan Sejahtera. Ia terpilih menjadi Ketua MPR RI setelah partainya (PKS) mengawini Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP untuk mengusungnya sebagai calon pimpinan MPR bersama tiga orang calon wakil ketua, yakni AM Fatwa, Aksa Mahmud, dan Mooryati Soedibyo. Lewat koalisi Kerakyatan, ia akhirnya sukses didapuk menjadi pimpinan MPR mengalahkan penentangnya dari Koalisi Kebangsaan yang mengusung Sutjipto dari PDI Perjuangan dengan mendapatkan 326 suara, terpaut dua angka.

Karir politiknya sudah matang dan jempolan. Suatu hal yang wajar jika PKS pun memintanya untuk menjadi nahkoda partai berasakan Islam ini. Di samping karena karir politiknya yang ciamik, pun karena karir pendidikannya yang tidak kalah keren. Hidayat Nur Wahid muda termasuk pemuda yang memiliki semangat keagamaan yang kuat. Terbukti, ia tercatat sebagai Alumnus Pondok Modern Gontor, Ponorogo (1978). Dan menamatkan gelar sarjana hingga doktornya di Universitas Madinah Arab Saudi dengan jalur beasiswa dan lulus dengan predikat cum laude (1983-1992).

Tidak hanya sampai di situ, dalam karir organisasi pun ia tidak bisa dianggap kaleng-kaleng. Ia pernah aktif di PII, dan sempat mengikuti Latihan Kader HMI di IAIN Sunan Kalijaga sebelum terbang ke Arab saudi. HNW tercatat sebagai Ketua PPI Arab saudi (1983-1985). Hingga puncaknya, tatkala ia pulang dari studinya di Arab Saudi dan terlibat aktif dengan Gerakan Tarbiyah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada tahun 2009 menganugrahi HNW penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana dalam peringatan proklamasi kemerdekaan. Terbaru, Hidayat Nur Wahid mendapatkan penghargaan Democracy Achievment pada acara Moslem Choice Awards bertajuk “Ummat Bersatu, Negara Maju”, yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (12/12/2024). Tokoh demokrasi sukses ia sematkan dalam dirinya. Yang telah malang-melintang berkutat dalam dunia perpolitikan di negara demokrasi ini. Selamat!

Menyaksikan, perjalanan HNW menjadi politisi kondang di Indonesia cukup mengagumkan. Namun, yang perlu diingat, dibalik kesuksesannya itu bukan berarti ia selalu mulus dalam perjalanan politik kekuasaannya. Ia dan partainya (PKS) sejak tahun 2014 terbukti kocar-kacir dan kukuh menjadi oposisi pemerintahan saat ini.

Pada hakikatnya, oposisi dalam suatu negara demokrasi adalah baik. Pemerintahan yang demokratis mensyaratkan terjadinya mekanisme chek and balances. Ruang partisipasi publik harus dibuka seluas-luasnya sebagai amunisi untuk memperbaiki kondisi yang belum sempurna. Oposisi dalam pemerintahan demokrasi menjadi prasyarat mutlak dalam mengontrol jalannya roda pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan “kepanikan” dalam masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemer intah. Ditegaskan Mardani Ali Sera, salah satu kader PKS, bahwa oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apapun jumlahnya, jika melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Mardani menilai dalam berpolitik para elit perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, demokrasi akan terhenti di tengah jalan.

Hal ini jelas kontradiktif dengan kenyataannya. Kita malah temukan dalam kader-kader PKS sebaliknya. Dan Hidayat Nur Wahid yang notabene mantan ketua MPR dan Presiden Partai pun tidak jauh berbeda. Alih-alih menjadi oposisi yang bijak dan membangun, ia dan sebagaimana minoritas kader partainya kerap kali kontradiktif dengan kenyatan prinsip partainya. Plin-plan!

Robert A. Dahl (1955- 2014), seorang pakar teori dan profesor Ilmu Politik sterling di Universitas Yale mengartikan oposisi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi salah-satu fondasi, selain partisipasi. Dari apa yang disebut dengan polyarchy atau bentuk pemerintahan yang bernuansakan demokrasi.

Hidayat Nur Wahid bukan malah menjadi oposisi konstruktif demokratis, malah cenderung destruktif oportunis. Ia selalu berusaha untuk merusak citra pemerintahan dengan mnggunakan segala cara apapun. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selalu dikritik dan dicari kesalahannya, walaupun terhadap kebijakan yang baik untuk rakyat sekali pun. Bahkan, jika dilihat background partainya ia lebih kepada oposisi fundamentalis ideologis.

Sadanand Dhume sebagaimana dalam Radical March on Indonesia’s Future mengatakan PKS adalah “gerakan gradual dan evolusioner untuk menegakkan negara Islam di Indonesia”. Bahkan, secara spesifik ia ia menyatakan jalan partai yang dilakukan PKS menjadi partai politik di negara demokratis hanyalah kedok konstitusi belaka menuju formalisasi Islam.

Teranyar, HNW sebagaimana ditangkap dalam cuitan di akun twitternya (11/10/2024) menyatakan, “karena kita sepakat NKRI adalah negara Pancasila, justru aneh kalau pemerintah dan/atau rakyat tidak meributkan/menolak komunisme dan kapitalisme di bulan apapun. Karena memang komunisme dan kaptalisme tidak sesuai dengan Pancasila. Lucu disimak, jika melihat posisi HNW sebagai oposisi pemerintah berlaku demikian.

Sebagai politikus yang seharusnya dapat menjaga etika politik dan rasionalitasnya dalam berpikir, ia malah kebalikannya. Secara gegabah, dengan tanpa dasar ia malah mencuit dan menjustifikasi bahwa secara bersamaan pemerintah pro-komunisme dan kapitalisme, mengherankan! Tidak hanya menggelitik bagi kalangan yang sedikit tahu sejarah tentang komunisme sebagai perlawanan terhadap kapitalisme itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap giringan opini terhadap orang-orang awam. Karena, dengan pernyataannya berpotensi lahirnya sebuah kesumat terhadap pemerintah.

Padahal, poisinya sebagai oposisi harusnya menjadi stimulus persaingan yang sehat di antara para elite pemerintahan. Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran, apabila tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang kompeten dan mampu menunjukkan kepada masyarakat, tentang adanya kebijakan-kebijakan yang lebih baik serta masuk akal dibandingkan dengan kebijakan pemerintah. Lantas, bagaimana jika pemerintah boro-boro mendapatkan stimulus amunisi dari oposisi? Jika oposisinya sendiri jelas-jelas tidak kompeten, seperti PKS ini?

Tidak hanya di situ, dalam gejolak RUU Cipta Lapangan Pekerjaan kemarin pun, PKS yang merupkan partai yang menolak disahkannya RUU ini mestinya menggunakan instrumen konstitusi sebagai jalan demokrasi. Dengan mengajukan judicial review misalnya, bukan malah membangun narasi-narasi kebencian terhadap pemerintah. Seakan mereka partai paling benar, dan lupa dengan kealpaan-kealpaan para kadernya yang bermasalah, berujung di jeruji penjara misalnya Lutfi Hasan Ishaq dan lainnnya.

Hidayat Nur Wahid sebagai salah satu mantan ketua Presiden PKS, dan kader terbaik serta dituakan. Seharusnya dapat menjamin, memastikan, serta menjadi tauladan sebagai oposisi yang revolusioner dan solutif kepada kadernya. Menjadikan PKS, tidak hanya sebagai oposisi jempolan, tetapi juga acuan untuk oposisi yang akan datang.

Hidayat Nur Wahid, sebagai oposisi harus dapat memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah kebijaksanaan atau salah tindakan (sin of commission). Menunjukkan apa yang harus dilakukan pemerintah, tapi tidak dilakukannya (sin of omission). Pun dapat melakukan kualifikasi, apakah sesuatu harus dilakukan, atau tidak harus dilakukan, atau bahkan tidak dilakukan sama sekali.

Ini tantangan, dan pekerjaan rumah untuk PKS. Jika para kadernya terus-menerus menerus berperilaku seperti itu. Maka, bisa jadi ia akan tergerus bersamaan oleh zaman dan kesadaran masyarakat yang mulai cerdas. Dan melihat kenyataan sepak terjang Hidayat Nur Wahid, jelas ia bukan sosok oposisi yang solutif, bahkan menggelikan.[]