Beberapa tahun lalu, publik dikagetkan dengan aksi kekerasan seksual yang terjadi pada Maria dan Agni yang merupakan mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM). Dua nama samaran itu adalah korban dari kekerasan seksual. Maria dilecehkan oleh dosennya ketika sedang melakukan konsultasi. Sementara Agni, menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh temannya sendiri saat menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN), di Pulau Seram, Maluku, pada 2017.
Pada awalnya, Maria tidak memiliki keberanian untuk mengungkap kasus tersebut. Setahun setelah kejadian, ia baru berani melapor ketika mengetahui ada perwakilan kampus yang bersedia membantu menyelesaikan kasusnya. Kemudian, lembaga pers mahasiswa UGM mengangkat artikel yang berjudul “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Pemerkosaan”, selanjutnya kasus Agni ini mencuat ke publik. Namun, bukan perlindungan dan keadilan yang didapatkan, justru malah pelbagai kecaman dari para petinggi kampus, karena dianggap merusak nama baik kampus. Akibatnya, Agni mengalami trauma dan depresi yang mendalam. Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus?
Menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual merupakan tindakan bernuansa seksual yang dilakukan melalui kontak fisik maupun non-fisik yang menyasar pada bagian tubuh seksual dan seksualitas seseorang. Misalnya, siulan, main mata, komentar, ucapan, humor yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual dan lain sebagainya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kampus seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman, baik itu bagi laki-laki maupun perempuan. Bukan malah menjadi sarang dari pelaku kekerasan seksual. Yang lebih memprihatinkan lagi, jika kampus menjadi cangkang yang melindungi pelaku. Pelaku tak hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi staf dan juga dosen. Hal ini yang akhirnya membuat kampus lebih memilih untuk menutupinya. Nama baik kampus kadang menjadi pertimbangan utama. Akhirnya, kasus-kasus kekerasan seksual hanya dianggap sekadar kasus biasa yang dapat ditoleransi dan berujung dengan kata “damai.”
Pandangan bahwa kekerasan seksual disebabkan oleh perempuan itu sendiri, masih menjadi pemahaman umum yang sulit untuk diubah. Selain itu juga adanya paham patriarki yang menempatkan perempuan sebagi objek, dan menganggap posisi perempuan lebih rendah, menjadi faktor yang melanggengkan terjadinya kekerasan seksual di kampus. Korban merasa terpaksa, tidak berani menolak atau hanya diam ketika dilecehkan. Hal itu dikarenakan pelaku adalah seseorang yang memiliki kedudukan dan kuasa di kampus, baik itu sebagai dosen, staf, maupun anggota organisasi.
Seperti yang dialami oleh Maria, sebagai korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosennya sendiri. Sangat disayangkan, jika lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum “intelektual” dengan sederet gelar yang disandang, ternyata tidak berbanding lurus dengan perilakunya. Padahal, ciri orang berpendidikan adalah tidak memandang rendah dan dapat menghargai nilai, serta martabat perempuan.
Sampai hari ini, belum ada data pasti mengenai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Adapun data yang berhasil dihimpun dari kolaborasi #NamaBaikKampus oleh Tirto, Vice, dan Jakarta Post menunjukkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Angka kekerasan tersebut hanya angka di permukaan, mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunung es yang lebih banyak tidak tampak dari apa yang dilihat.
Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus yang sangat lamban, menunjukkan sebuah keprihatinan. Kampus yang semestinya menjadi garda terdepan dalam mendidik masyarakat, justru terkesan tidak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual dengan membiarkan mereka lepas dari hukuman dan dengan bebas berkeliaran. Sementara korban, dirundung derita dan ketidakpastian keadilan.
Ironisnya, kasus kekerasan seksual secara umum masih dianggap hanya sebatas tindakan asusila, bukan tindakan kejahatan yang melanggar hak dan kemanusiaan korban. Apapun bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan, tetap menimbulkan dampak yang sangat mendalam. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Scott (2017) menunjukkan secara psikologis, korban kekerasan seksual dapat mengalami kecemasan, depresi, gangguan stress pasca trauma (PTSD), ketakutan hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri. Bukan hanya itu, biasanya korban kekerasan seksual juga berisiko mendapatkan stigma negatif dan victim blaming dari masyarakat.
Oleh karena itu, korban kekerasan seksual di lingkungan kampus lebih memilih diam, karena mereka merasa takut. Adanya ancaman diskriminasi, seperti nilai ataupun kesulitan untuk lulus menjadi salah satu faktor, korban tidak berani melaporkan tindakan pelaku. Bukan itu saja, tetapi juga ketakutan disalahkan oleh pelbagai pihak dan dianggap melebih-lebihkan, atau bahkan dianggap “ia yang menggoda”. Itu menjadi pertimbangan korban untuk kemudian memilih diam. Akibatnya, pelaku tidak akan menyadari kesalahannya dan malah dapat berpotensi melakukannya kembali pada mahasiswa yang lain.
Mulai saat ini, kita harus menciptakan ruang aman untuk perempuan di lingkungan kampus. Siapapun yang mengalami pelecehan seksual, kita harus mencoba untuk menguatkan dan berempati. Hal ini sebagai bentuk dukungan kita terhadap korban yang sedang merasakan trauma. Mendengarkan dan tidak menghakimi korban, memberikan waktu untuk korban bercerita dan meluapkan emosinya terlebih dahulu. Jangan ada lagi stigma negatif yang menyudutkan korban.
Selain itu, memanfaatkan organisasi atau komunitas yang bergerak dalam menangani isu perempuan. Kemudian, melakukan kerja sama untuk mendesak pihak kampus membuat regulasi tentang pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Misalnya di UGM, regulasi tersebut dibuat setelah kasus Agni mencuat ke publik pada tahun 2017. Sementara kampus lain, sebagaian besar belum memiliki regulasi yang cukup jelas.
Kampus juga seharusnya mulai membekali mahasiswa dengan pendidikan seksual. Tujuannya untuk mengenalkan berbagai bentuk kekerasan seksual, sehingga mahasiswa bisa mencegah dan menghindarinya. Bahkan, ketika ada yang mengalami kekerasan seksual, mahasiswa sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Contohnya, Universitas Indonesia yang telah menerapkan pentingnya pendidikan seksual.
Dengan demikian, kasus kekerasan seksual di kampus memang harus disikapi secara serius, terutama oleh para petinggi kampus. Kekerasan seksual bukan persoalan biasa yang bisa berakhir dengan kata “damai” begitu saja. Namun, ini perihal kemanusiaan. Perempuan memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan dan keamanan. Selain regulasi kampus mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) juga masih ditunggu kelanjutan dan pengesahannya.
Kampus yang baik adalah kampus yang bebas dari segala bentuk kekerasan seksual dan diskriminasi. Mari kita bersama-sama mewujudkan keamanan dan perlindungan bagi perempuan.[]