Melestarikan Narasi Damai di Media Sosial

0
14
WhatsApp
Twitter

Kebiasaan masyarakat dalam bermedia sosial terlihat memprihatinkan. Media sosial tidak digunakan secara arif untuk menyampaikan informasi yang benar dan narasi damai, melainkan untuk menyebarkan fitnah, cacian dan hujatan. Satu peristiwa kecil melalui media sosial, bisa dibingkai dalam berbagai bentuk. Tindakan positif bisa dipelintir. Kebenaran menjadi absurd. Fenomena absurdnya media sosial ini dibutuhkan kecerdasan untuk bisa mengatasinya.

Kehadiran media sosial pada awalnya merupakan ide yang menarik, sebab ia bisa mendekatkan orang-orang yang kita kenal lebih dekat. Tetapi sekarang, media sosial menjadi ancaman yang serius di tangan orang-orang “jahat nan kotor”. Bahkan tak sedikit akibat ‘isi’ media sosial menimbulkan konflik yang panas. Untuk menghindari perpecahan persaudaraan yang ada, setidaknya perlu sebuah gerakan bersama untuk mengatasinya.

Buruknya wajah media sosial memang tak lepas dari sifatnya, yaitu bisa lebih leluasa dan bebas bersuara. Justru dapat terperosok ke dalam suatu jurang komunikasi ke arah perpecahan dalam konteks berbangsa. Di Indonesia misalnya, meskipun tindak pidana selalu siap menerkam pelaku dengan memproduksi ataupun menyebarkan konten yang menyebabkan perpecahan. Akan tetapi, tak sedikit konten hoaks, pesan-pesan radikal, dan ujaran kebencian silih berganti. Konten tersebut semakin lama bukannya berkurang justru sebaliknya, semakin tak terbendung.

Terlepas dari hal itu, adanya potensi positif yang bisa dimanfaatkan dari adanya media sosial mutlak tidak boleh dikesampingkan. Jamak disadari, sebagaimana media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk menebarkan propaganda dan radikalisme. Media sosial juga sejatinya dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang sebaliknya, yakni menebarkan pesan perdamaian dan cinta kasih.

Dalam konteks saat ini, upaya melestarikan wajah media sosial dengan narasi perdamaian untuk melawan penyebaran propaganda dan radikalisme dapat dilakukan dengan dua Langkah. Pertama memfilter setiap informasi yang didapat. Riuhnya informasi di media sosial membuat kita harus lebih bijak dan selektif memilih informasi yang benar.

Tak jarang masifnya konten negatif dan radikal menyebabkan buruknya ruang media sosial kita, terlepas kerena minimnya konten tandingan. Laiknya makan, warga netizen hanya diberikan satu pilihan, yakni konten radikalisme, hoaks, dan ujaran kebencian. Akibatnya mau tidak mau, sang netizen dengan sendirinya dijejali konsumsi konten yang tersedia. Akan tetapi, jika netizen lebih selektif lagi memilih konten berupa kedamaian dan cinta kasih, maka sang netizen dengan sendirinya punya pilihan alternatif untuk mengkonsumsi.

Kedua, mengatur manajemen privasi dengan narasi damai. Hari ini, tak sedikit pengguna media sosial yang lupa daratan. Merasa bahwa lini masa media sosial adalah miliknya, lantas seolah-olah dia berhak mengekspresikan apa saja yang diinginkannya. Jika melihat banyak kasus, tidak bijaknya seseorang bermedia sosial bukan disebabkan tingkat pendidikan rendah atau tinggi, melainkan terkait dengan mental penggunanya. Beberapa contoh kasus menunjukkan bahwa potensi masalah bisa dialami siapa saja yang menggunakan media sosial melewati batas hukum dan etika.

Misalnya saja, kasus penyebaran video yang dilakukan oleh Buni Yani pada tahun 2016 lalu. Buni Yani secara resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA. Akibat dari pernyataan atau tulisan dalam status yang dia sebar di akun Facebooknya. Hal ini, berdampak pada perpecahan antar masyarakat bukan hanya politik, tetapi juga agama. Kasus Buni Yani menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa pentingnya mengatur informasi apa yang harus ditulis dan diucapkan di media sosial.

Menurut Sandra Petronio dalam bukunya yang berjudul, Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclosure (2002), mengatakan bahwa manajemen privasi harusnya bisa dimiliki individu untuk memberikan pertimbangan dan pilihan peraturan sendiri mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari publik. Kita harus mempertimbangkan dan mengatur pesan yang kita produksi, kita bagi dan redistribusikan. Manusia semestinya membuat pilihan dan peraturan sendiri, mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan ‘kalkulus mental’ yang didasarkan pada kriteria penting tidaknya sebuah pesan.

Artinya, apa yang diungkapkan Sandra memberikan kita sebuah sikap, bahwa jika ingin menyebarkan pesan atau informasi melalui media sosial lebih baik dipertimbangkan terlebih dahulu. Apakah informasi tersebut berunsur ujaran kebencian, hoaks, atau bahkan menuai perpecahan.

Dengan demikian, pentingnya menabur pesan-pesan perdamaian, melestarikan wajah cinta kasih di media sosial dengan narasi kerukunan dan toleransi. Kemungkinan besar berbagai bakteri kebohongan, propaganda, dan ujaran kebencian akan mati. Terengah-engah dalam kerumunan perdamaian dan kerukunan. Oleh karena itu, tanggung jawab kita adalah mempertahankan dan mengisinya dengan iklim kedamaian di media sosial.[]