Cerdas Beragama di Era Digital

0
50
WhatsApp
Twitter

Sebuah video viral di media sosial, berisi sekelompok orang mengganggu Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang sedang beribadah, dengan cara menyalakan pengeras suara di depan bangunan tempat pelaksanaan ibadah mereka. Bahkan, peristiwa yang berlangsung di perumahan Kota Serang Baru, Cikarang itu melahirkan perselisihan.

Aksi penolakan terhadap pembangunan gereja atau pelaksanaan ritual ibadah kelompok minoritas agama di Tanah Air, bukan hal asing yang baru-baru ini terjadi. Pasalnya, intoleransi dan diskriminasi kerap terjadi, sebab mudah terprovokasi, lalu tanpa berpikir panjang melangsungkan aksi. Padahal, alasan-alasan yang digunakan kelompok intoleran begitu tidak masuk akal. Salah satunya, menolak pembangunan gereja lantaran tidak memegang Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Mengapa satu gereja tanpa IMB dipermasalahkan, sedangkan Masjid tanpa IMB yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan tidak?

Alasan lain yang kerap digunakan, yaitu kekhawatiran akan kristenisasi umat Islam. Begitu seramnya kristenisasi yang digambarkan kaum intoleran, sehingga mampu menggerakkan masyarakat Muslim untuk berbondong-bondong menutup gereja-gereja di pelbagai daerah. Benarkah demikian? Secara logika, jika kristenisasi gencar dilakukan Jemaat Kristen sejak puluhan tahun lalu, seharusnya pertumbuhan Islam di Tanah Air menurun. Sebaliknya, dilansir dari The Future of World Religions, grafik perkembangan jumlah penduduk Muslim dari tahun ke tahun meningkat. Tahun ini, jumlah penduduk Muslim Tanah Air mencapai 87,0%, sedangkan penduduk Kristen secara umum hanya berjumlah 10,2%.

Kristenisasi di Tanah Air yang ramai dibicarakan dan dijadikan alasan kelompok intoleran untuk menutup gereja-gereja, nyatanya hanya mitos belaka. Walaupun umat Kristen, layaknya penganut agama samawi lainnya (Islam dan Yahudi), memiliki keyakinan yang sangat kuat dalam beragama, tetapi tetap tidak membenarkan adanya paksaan. Beragama adalah hak asasi bagi setiap individu. Lantas, masing-masing individu berhak menganut agama yang dipercayai dan diyakininya.

Maka dari itu, kita perlu wasathiyyah dalam beragama, terutama di era digital. Dalam al-Quran, Allah berfirman, “Demikian Kami jadikan kamu umatan wasathan” [al-Baqarah (2): 143]. Ibnu Jarir al-Thabari (923 M) dan Fakhruddin al-Razi (1210 M), seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab di dalam bukunya Wasathiyyah, mengungkapkan kata wasath berarti adil, setelah ditinjau dari segi penakwilan ayat.

Adil yang dimaksud yaitu di posisi tengah. Tidak lebih dan tidak kurang. Adapun berlebihan dalam beragama, dikenal dengan istilah ekstrem atau tatharruf, tetapi yang kerap disebut di dalam al-Quran dan sunnah adalah kata ghuluw (melampaui batas), bukan tatharruf. Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan, berlebihan dalam beragama dapat mengantarkan pada kerugian dan kebinasaan. Sebaliknya, moderasi beragama berujung selamat, sebab sikap sama dan seimbang terhadap kedua ujung sisinya.

“Binasalah orang-orang yang melampaui batas (dalam ucapan dan tingkah laku)”. Hadis ini diucapkan tiga kali oleh Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim). Ucapan yang kasar (termasuk ujaran kebencian), kebohongan (memproduksi atau menyebarkan hoaks), dan provokasi adalah manifestasi dari sikap berlebihan (ekstrem) dalam beragama.

Dalam aspek perilaku, seperti berlebihan dalam ibadah atau bukan ibadah adalah bentuk ekstremisme, termasuk melarang orang beragama lain untuk beribadah. Perlu diketahui, Nabi Muhammad SAW suatu waktu membiarkan beberapa orang delegasi Nasrani Najran melangsungkan kebaktian di Masjid. Para sahabat yang menyaksikan kebaktian itu lantas geram dan mengadu kepada Rasulullah SAW, tetapi beliau berkata, “biarkan mereka”. Betapa toleransi sangat dijunjung tinggi oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, mengapa umatnya kini memilih untuk tidak meneladani?

Di era digital, tantangan moderasi beragama menjadi begitu besar. Terpaan narasi-narasi kebencian dan adu domba begitu hebat menerjang, menguji kekokohan prinsip yang dipegang. Terbilang egois jika kita menganut, ‘saya boleh begini, tetapi anda jangan’. Keadilan tetap harus diteguhkan, khususnya di dalam kehidupan bermasyarakat.

Walhasil, kebebasan beragama adalah hak segala bangsa. Cerdas beragama di era digital berarti berlaku adil kepada sesama manusia. Perkara menghargai dan menghormati penganut agama lain, hanyalah salah satunya. Mari mendewasakan diri! Bersama-sama kita cerdas dalam beragama di era digital.