Kolom

Dukung UI Melawan Radikalisme

4 Mins read

Menyusupnya radikalisme ke sejumlah kampus, bukan pepesan kosong belaka. Berdasarkan hasil Riset Setara Institute, 10 Perguruan Tinggi Negeri, telah terpapar paham radikalisme. Kesepuluh PTN itu ialah, UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta, IPB, UNBRAW, dan UNAIR.

Dalam lima tahun terahir, isu radikalisme masih menjadi perbincangan hangat disejumlah kalangan, terutama dalam hal ini Perguruan Tinggi. Meskipun dalam Undang-Undang no 5 tahun 2018 telah di jelaskan bahwa, tindakan pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan tindakan serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan erbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan seterusnya. Namun masih saja ada kelompok-kelompok yang memperjuangkan paham itu.

Justru menjadikan perguruan tinggi menjadi markas yang megah untuk menyebarluaskan paham radikal. Direktur Riset Setara Institute, Halili mengatakan, gelombang radikalisme pada 10 PTN tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan eksklusif , yakni dari kelompok salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah.

Menurut Halili, corak kegiatan kegiatan di kampus yang terpapar radikalisme itu monolitik. Cenderung dikoptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup dan eksklusif. Dalam menyebarkan ajarannya, kelompok ini meyasar organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga Dakwah Kemahasiswaan dan Lembaga Dakwah Fakultas, serta menjadikan masjid-masjid sebagai basis kaderisasi.

Hasan Ansori, salah satu peneliti dari Riset The Habibi Center menjelaskan, secara umum terdapat dua varian islamisme di kampus, yaitu konservatif dan radikal. Kelompok konservatif mengacu pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK), juga kelompok salafi. Sedangkan kelompok radikal merujuk pada NII, ISIS, dan HTI. Kelompok konservatif -salafi yaitu NII, HTI, dan ISIS cendrung melakukan kajian dakwah dan rekrutmen di luar kampus. Sebaliknya, kelompok konservatif-LDK fokus menggarap kader di dalam kampus.

Mahasiswa meskipun dinilai mempunyai kemampuan membangun basis dukungan, punya keterampilan dan pengetahuan, namun dalam berbagai pemikiran masih diliputi kegamangan. Hal inilah yang di manfaatkan oleh kelompok radikal untuk menuntun ke dalam lingkarannya. Tak terkecewali para mahasiswa yang berada di kampus UI.

UI secara resmi memulai kegiatannya pada 2 Februari 1950, telah banyak melahirkan orang-orang besar di negeri ini. Kita mengenal BJ. Habibi, Mentri Keuangan Sri Mulyani, atau ekonom Emil Salim. Mereka adalah orang-orang yang terlahir dari rahim UI, dan telah banyak berkontribusi banyak untuk bangsa.

Meskipun menjadi salah satu kampus terbaik dengan menduduki 3 besar bersama UGM dan ITB, nyatanya tak menjadikan UI menjadi universitas yang terbebas dari paham radikal. Alto Labetubun, seorang analis keamanan di Iraq mengatakan, salah satu komponen yang menyebabkan masuknya radikalisme di kampus adalah faktor penetrasi partai politik berbasis ideologi agamis ke dalam kegiatan kampus. PKS misalnya, punya kegiatan-kegiatan yang menyasar mahasiswa untuk bergabung sebagai kader mereka.

PKS merupakan partai politik Islam yang lahir dari sebuah gerakan sosial keagamaan yang sering di sebut Tarbiyah, dan UI menjadi salah satu kampus yang menjadi titik awal berkembangnya Jamaah Tarbiyah di Indonesia.

Dalam konsep bersistem, PKS banyak terwarnai oleh ideologi perjuangan Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi keagamaan yang kontroversial yang di dirikan Hasan Al Banna di Mesir dan telah berkembang di pelbagai negara.

Langkah UI menindak tegas para mahasiswa yang terpapar paham radikal patut mendapat dukungan dari semua pihak. Pasalnya, Universitas Indonesia (UI) yang menjadi salah satu kampus terbaik di Tanah Air, tentu menjadi tujuan favorit para calon mahasiswa. Dengan kata lain, bila tidak ada pencegahan dan tindakan tegas, UI tidak hanya melahirkan orang-orang besar, namun menjadi lahan basah paham radikal.

Tindakan tegas UI dalam menanggulangi radikalisme nampaknya berdampak besar dan membuat kader PKS yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin di UI mulai kebakaran jenggot dan menyerang balik UI. Terbaru, politikus PKS Al Muzzammil Yusuf mengatakan, kampus UI dalam Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) mengajarkan seks bebas ala Barat. Pernyataan Muzammil dalam sebuah rekaman vidio yang beredar di kanal youtube, sontak mengundang reaksi keras dari pihak UI.

Berdasarkan keterangan dari Sivitas Akademika UI dan salah satu dosen Ilmu Politik FISIP UI, Reni Suwarso, tuduhan yang dilancarkan Muzzamil tidak berdasar dan tanpa bukti. Malahan bisa dikatakan sebuah fitnah dan penyemaran nama baik.

Sebagai negara hukum, pernyataan tak berdasar Muzzamil layak di pidanakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat 3, Pasal 45 ayat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi Informasi (ITE). Lalu kemudian dilapisi dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang kekuatan hukum pidana yang menimbulkan kegaduhan dan keonaran di internal dan eksternal UI.

Lalu kemudian, sebagai anggota dewan, perilaku Al Muzzammil jelas melanggar Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. Sebagai anggota dewan, Al Muzzamil juga telah melanggar kewajibannya, karena ia tak melaksanakan yang tercantum dalam pasal 12 huruf a, c, dan d tentang kewajiban keanggotaan. Poin-poin tersebut ialah memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan NKRI, dan mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Merujuk pada pelanggaran-pelanggaran yang berdasarkan hukum di atas, pantaslah apabila Muzzamil dipidanakan dan dicopot dari anggota DPR. Hal senada juga didengungkan pula oleh 12 dosen dari internal UI, yang mana dalam kasus ini sebagai pihak yang bersangkutan.

Selain itu, secara umum untuk memerangi radikalisme di perguruan tinggi, strategi budaya perlu digunakan. Indonesia memiliki modal besar berupa kearifan-kearifan budaya lokal yang menjunjung tinggi toleransi dan harmoni.

Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi, salah satunya, yaitu menjadi institusi yang diandalkan dan ikut berkontribusi aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah persoalan bangsa. Oleh karena itu, salah satu cara agar lingkungan kampus terbebas dari paham radikalisme adalah dengan memperkuat wawasan kebangsaan dan cinta Tanah Air melalui mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Ketiga mata kuliah tersebut harus dimaknai secara mendalam baik oleh dosen maupun mahasiswa.

Kurangnya keterampilan dan wawasan berpikir kritis dan logis di kalangan mahasiswa, dapat memudahkan mereka terpapar radikalisme. Mengutip istilah Yudi Latif, radikalisme lahir karena miskin wawasan kemanusiaan, miskin pemahaman keagamaan, dan miskin pengalaman bergaul lintas kultural.

Dengan demikian, masih tingginya tingkat intoleransi di kalangan mahasiswa akan menyimpan benih sekam radikaisme yang masih besar. Apabila tidak diatasi dapat menjadi pukulan berat bagi perguruan tinggi khususnya, dan dunia pendidikan secara umum yang gagal dalam menanamkan nilai-nilai kebhinekaan dan ideologi Pancasila terhadap mahasiswa. Maka dari itu, marilah kita dukung UI melawan radikalisme, terutama yang berakar pada PKS dan sejenisnya agar terlaksana bangsa yang damai dan aman.

Related posts
KolomNasihat

Cara Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan…
Kolom

Covid-19, Kegentingan yang Semakin Nyata

Kasus positif Covid-19 di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi sejak pandemi karena pertama kalinya menembus angka 20.574 kasus perhari pada Kamis (24/6/2024)….
Dunia IslamKolomNasihat

Demokrasi Pancasila itu Islami

Demokrasi memang telah mengantarkan Dunia Barat mencapai kemajuan menuju kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, bagaimanapun demokrasi sebagai sebuah sistem pembangunan negara belum mencapai…