“Pancasila adalah satu alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatupadu di atas Pancasila itu”. Bunga Karno dalam salah satu pidatonya, meyakinkan bahwa Pancasila yang ia gagas adalah satu instrumen pengkristalan bangsa Indonesia yang beragam.
Nusantara, sejak sedia kala tidak saja dikenal sebagai negeri yang adiluhung, melimpah serta kaya sumber daya alamnya, ia juga masyhur dengan keberagaman masyarakatnya. Kitab fenomenal Ramayana karya Walmiki yang di tulis 500 tahun sebelum masehi, bahkan menyebut Yavadvipa (Jawa) yang merupakan bagian dari Nusantara, sebagai negeri “tanah emas dan perak”. Para ahli sejarah menyepakati itu!
Karena itu, tidak mengherankan jika pada sejarahnya Belanda dan beberapa bangsa Eropa mencoba untuk menguasai bumi Nusantara. Terbukti, Belanda betah bercokol selama tiga ratus tahun lebih di sini. Ia sukses menjadikan masyarakat kita tidak lagi menjadi Tuan di bangsanya, tetapi bertahun-tahun menjadi jongos di negeri sendiri.
Tidak terkejut, jika di kemudian perjalanan sebab keterpurukan sosial serta berbarengan dengan meningkatnya gerakan revolusi di berbagai penjuru dunia. Indonesia lewat kaum mudanya juga ikut bangkit dan menghadiahkan sebuah perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Yang telah bertahun-tahun menjadi alasan bangsa Indonesia terpuruk dan terbodohi di tengah masyarakatnya yang beragam.
Pada tahun 1945, setelah melewati masa kelam yang panjang, akhirnya bangsa kita dapat menjadi bangsa yang utuh, merdeka, dan berdaulat. Para pendiri bangsa, yang kala itu mendapat mandat dalam pembuatan fundamen dan falsafah bangsa akhirnya sepakat, menjadikan Pancasila sebagai konsensus bernegara. Pancasila tidak hanya diciptakan hanya sebagai ikon belaka, melainkan juga lahir dan besar dari rahim serta kultur bangsa Indonesia yang multi-kultural, baik suku, ras, kulit, bahasa, maupun agama.
Pancasila adalah perwujudan dari Nusantara itu sendiri. Perwujudan yang sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan. Juga merefleksikan sifat lautan, sifat yang menyerap dan membersihkan. Menyerap tanpa mengotori lingkungannya atau dalam artian juga sifat keluasannya, sehingga mampu menampung segala keberagaman, (Yudi Latif dalam Negara Paripurna).
Sebagaimana historisnya, Pancasila adalah wahana dalam berbangsa-bernegara. Ia mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang mencerminkan masyarakatnya yang berbudaya, beretika, dan bermoral serta tidak terlepas dari nilai-nilai intervensi agama. Yang dalam kesemuanya ditegaskan, bahwa tidak ada agama manapun yang membenarkan keburukan beretika.
Pancasila bukan kitab suci, tetapi sebagaimana kitab suci agama-agama dunia, Pancasila pun demikian. Mempercayai ketauhidan dan menempatkan semua manusia sama, setara dalam derajat, dan bersaudara. Dalam artian, sarat sikap menghormati satu sama lain. Bung Hatta sebagaimana menyatakan, “pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam. Dilakukan, terutama dengan jalan memupuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.”
Namun, melihat relitas kini, terutama dari sudut pandang sejarah misi terciptanya Pancasila, nampaknya nilai-nilai Pancasila kerap kali alpa diimplementasikan dalam bersosial masyarakatnya. Masih banyak ditemukan, hal-hal yang melenceng dari nilai-nilai Pancasila.
Tak usah lah kita jauh-jauh, dalam berkomunikasi atau berdakwah, misalnya. Tidak sedikit, para agamawan pasca tragedi pergumulan politik Ibukota tiga tahun lalu hingga saat ini. Alih-alih menjadi golongan yang dapat mendamaikan dalam kegaduhan, malah menjadi penyuluh api kebencian dalam perbedaan.
Ceramah Tengku Zulkarnaen dua bulan yang lalu, misalnya. Dalam ceramanya, ia secara verbal mengolok-ngolok orang dan budaya Jawa. Ia membanding-bandingkan suku Jawa yang tersohor santun dengan budaya Sumatera. Menurut dia, Jawa meletakkan keris di belakang karena tidak seberani orang Sumatera. Orang Sumatera meletakkan kerisnya di depan.
Secara sepintas, mungkin perkataannya adalah hal biasa-biasa saja. Namun, tidak sedikit masyarakat Jawa khususnya, merasa itu adalah sebuah narasi provokatif dan bahkan condong terhadap penghinaan. Bukan tanpa alasan, di samping ia yang merupakan Wasekjen MUI yang seharusnya, menghadirkan pernyataan-pernyataan yang mencerminkan posisi MUI. Kita malah disuguhkan asupan yang sebaliknya. Apalagi, dalam track record-nya Zulkarnaen dianggap negatif, sebab kerap kali dalam ceramah-ceramahnya menunjukkan hate speech dan provokasi.
Hate Speech dalam perspektif hukum yaitu tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu maupun kelompok. Dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain, dari berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Sementara itu, diskursus perihal speech (ujaran) merupakan bagian dari sub kajian khusus dalam pembahasan wacana. Jika demikian, mengacu pada teori speech acts yang promotori oleh J.L Austin. Teori ini mengemukakan beberapa macam pengujaran, adapun salah satunya ialah tindak tutur lokusioner. Ia adalah tindakan dalam mengucapkan serangkaian bunyi yang mengandung arti. Tindak tutur inilah yang secara tradisional berkaitan dengan linguistik. Kebencian!
Menurut Cherian George, dalam konteks hate (kebencian) setidaknya memerlukan dua sisi, yakni sisi hasutan dan sisi keterhasutan. Agar bisa menghasut, subjek memerlukan isu. Karena namanya hasutan, isu yang diangkat pastilah perkara yang tidak jelas atau bahkan hoaks yang berpotensi adu domba. Dalam term ini, hoaks adalah barang paling seksi dan ciamik dalam misi menghasut.
Tatkala, hasutan melalui hoaks sudah merambah ke sendi-sendi pikiran orang, pada gilirannya ia akan menjadi cikal bakal lahirnya kebencian. Semakin banyak orang terhasut, semakin jaya mereka sebagai promotor kebencian. Dengan demikian, jelas, sebenarnya apa yang disampaikan dalam ceramahnya Tengku Zulkarnaen, tidak lain adalah satu unsur yang menjerusmuskan kepada kebencian. Atau bahkan, bisa berdampak lebih besar: disintegrasi, misalnya.
Dalam ceramah dan posisinya yang dianggap oleh sebagian orang sebagai Ustadz. Ia jangankan mencerminkan Islam (al-Quran dan Sunnah), Pancasila pun tidak. Sebagaimana Islam dalam kitab sucinya, Pancasila pun tidak pernah membenarkan kebencian, adu domba, hasutan, apalagi hoaks. Melainkan sebaliknya, Pancasila mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, persatuaan, keadilan sosial, musyawaroh, berbuat baik, dan saling tolong-menolong (gotong-royong) dalam bingkai ketuhanan, sehingga terciptanya tatanan bangsa yang satu di atas keberagaman. Pancasila yang merupakan staatsfundamentalnorm harus menjadi working ideolgy. Karena, Pancasila bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi mesti diimplementasikan dalam bentuk nyata!
Akhirnya, timbul satu pertanyaan. Pahamkah Tengku Zulkarnaen dengan Pancasila dan pengamalannya dalam tindakan nyata?