Jilbab Antara Agama dan Budaya

0
20
WhatsApp
Twitter

Di Tanah Air, jilbab atau hijab kerap dijadikan tolak ukur kesalehan. Terlebih, maraknya jilbab syar’i yang hingga saat ini mewarnai dunia fashion menimbulkan pemahaman baru. Jika perempuan mengenakan jilbab atau pakaian yang dilabeli syar’i, maka ia otomatis dicap sebagai orang yang sangat mengerti agama dan patut dijadikan panutan (role model).

Jilbab, selain dimaknai sebagai kain yang menutupi kepala dan dada, ia juga diartikan sebagai baju longgar. Jilbab yang secara bahasa berarti penutup kepala yang biasa dikenakan oleh kaum Hawa, semakna dengan fungsi sorban dan udeng-udeng sebagai penutup kepala kaum Adam bangsa Arab.

Adapun pakaian yang biasa digunakan bangsa Arab cenderung tertutup (cadar, sorban, udeng-udeng, dan jubah), pada dasarnya disebabkan oleh situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya, yakni untuk menghindari diri, khususnya wajah dari panas terik matahari dan debu-debu padang pasir.

Kaum Muslim masa kini tidak menyadari bahwa mereka tengah dilanda krisis. Mereka belum mampu membedakan antara syariat dan budaya setempat. Produk-produk jilbab syar’i yang dibandrol dengan harga murah hingga selangit, melahirkan perspektif, bahwa yang paling panjang kerudungnya adalah yang paling shalehah, islami, dan lain sebagainya. Padahal, dari label syar’i tersebut, jika tujuannya adalah untuk terlihat berbeda dan meraup ketenaran, sejatinya itu tidak syar’i.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah SAW akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian ia dibakar di api neraka.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Jika sebagian ulama mengartikan pakaian syuhrah sebagai pakaian yang berbeda dari pakaian yang dikenakan penduduk negeri di mana pemakainya tinggal, maka, pakaian syuhrah tidak terbatas pada pakaian yang harganya selangit atau compang-camping. Termasuk di dalamnya, pakaian yang biasa dikenakan bangsa lain, demi syuhrah (popularitas) yang akan disandangnya saat mengenakan pakaian tersebut.

Akibatnya, orang yang mengenakan pakaian syuhrah merasa berbeda dari yang lain, sehingga muncul rasa bangga, sombong, dan sebagainya. Sebagaimana yang telah disampaikan Kyai Ali Mustafa Yaqub, pakaian sejenis sorban dan jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena masyarakat Tanah Air tidak lazim berpakaian seperti itu.

Begitu pula jilbab syar’i yang lebarnya melebihi mukena pada umumnya, termasuk pakaian yang tidak lazim dikenakan perempuan di Tanah Air. Jika tujuan mengenakan pakaian itu untuk meraih ketenaran atau menampilkan kesalehannya kepada publik, maka jilbab syar’i tergolong pakaian syuhrah.

Kyai Ali Mustafa menambahkan, pada abad lalu, sorban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain memakai sorban. Maka pada masa itu, sorban sudah menjadi tradisi para ulama. Karenanya sah-sah saja ulama memakai sorban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi.

Maka dari itu, jilbab syar’i tidak bisa dijadikan ukuran spiritualitas seseorang. Akhlak baik serta kemapanan ilmu yang terpancar lewat tindakan dan perilaku adalah tolak ukur sesungguhnya. Ketika seseorang mengenakan jilbab syar’i atau udeng-udeng, tidak dapat langsung kita sebut sebagai ahli agama, sebab orang non-Muslim sekali pun dapat menyamar menjadi seorang ustadz dengan hanya berbekal sorban, udeng-udeng, dan beberapa ayat. Wallahu a’lam bishowab.