Bung Karno Jembatan Revolusi Kaum Tani

0
133
WhatsApp
Twitter

Hari ini, 24 September 2024 adalah perayaan Hari Tani Nasional ke-57. Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 163 Tahun 1963, keputusan ini didasarkan dari segi historis. Karena setiap akhir September, para petani memulai menggarap sawah.

Indonesia dikenal masyhur dengan kekayaan sumber daya alamnya. Tuhan menciptakan negeri ini begitu indah, dengan kemegahan laut yang di taburi pulau-pulau, dan gunung-gunung sebagai penyangganya, juga berhektar-hektar ladang pertanian. Indonesia juga dikenal sebagai negeri agraria.

Dalam catatan sejarah, Indonesia disamping masyhur dengan masyarakatnya sebagai pelaut tangguh, juga sebagai petani ulung. Kementrian Pertanian, bahkan memproyeksikan Indonesia sebagai negara lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Hal ini membuktikan, jika petani menjadi salah satu pionir pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan.

Keppres nomor 163 tahun 1963, sebagai acuan yurudis menjadi pembuka keran kemerdekaan kaum tani. Karena sebagaimana sejarahnya, para petani yang telah beratus-ratus tahun menjadi tonggak penyangga negeri kerap kali ditanggalkan sebagai pejuang. Ia luput dari perhatian. KH Hasyim Asyari menegaskan, “Pak Tani itu penolong negeri.”

Namun, melihat dari realitas sekarang di saat berbarengan menguatnya revolusi industri, masihkan petani merasakan kemerdekaan itu? Atau jangan-jangan ia hanya tinggal simbol atau sekadar monumen belaka, sebagaimana petani dalam Tugu Tani tanpa ladang di pusat ibukota?

Perayaan Hari Tani ke-57 ini, semestinya menjadi refleksi masa depan bangsa. Sebab, sebagaimana data yang diumumkan Kementrian agraria dan Tata Ruang Wilayah, BPS, serta Kementrian Pertanian, Selasa (2/2020). Penyusutan luas lahan pertanian menjadi diskursus penting dan patut menjadi perhatian pokok. Tercatat lahan pertanian menyusut mencapai 7,465 juta hektar, turun dibandingkan dengan luas baku sawah tahun 2013 yang 7,75 juta hektar.

Artinya, ada 285.000 hektar lahan pertanian yang beralih fungsi selama kurun waktu 2013-2019 atau rata-rata terjadi penyusutan 47.500 hektar lahan sawah per-tahun, Kompas Ketahanan Pangan Minus Kedaulatan (9/2020). Hal ini menjadi pertanyaan yang penting untuk direspons. Pasalnya, bagaimana mungkin kita memimpikan bangsa sebagai lumbung pangan dunia, sedangkan lahan penghasil pangan saja kian hari-kian mengkerut? Jangan sampai imajinasi itu, hanya sekadar utopia belaka.

Berbicara tentang Hari Tani, kita tidak bisa melepas begitu saja dengan sosok pengagas hari kemerdekaan petani itu sendiri, yakni Bung Karno. Bung Karno yang namanya tidak kalah besar dengan bangsanya itu diceritakan sangat dekat dengan petani. Berkat itu, tidak heran jika ia sebagai presiden mendedikasikan hari spesial untuk kaum tani.

Bahkan, marhaenisme yang merupakan ajaran atau ideologi asli produk gagasan Bung Karno tercermin dari seorang petani bernama Marhaen. Marhaenisme adalah antitesis, ijtihad pemikiran Bung Karno tatkala menyaksikan realitas hidup seorang petani miskin di Bandung. Hal ini tidak lain karena sistem penindasan terhadap kaum tani yang dilakukan secara sistemik oleh penjajah, sehingga meski memiliki alat Produksi seperti tanah, cangkul dan bajak sendiri tetap saja. Hal demikian tidak malah membuat petani sejahtera, bahkan petani tetap hidup miskin dan malah ditempatkan pada kelas terbawah dalam struktur sosial.

Marhaenis sebagai ideologi lebih bersifat praksis. Ia mengandung analisis sosio-kultural, merupakan kritik terhadap keadaan eksploitatif, serta mengandung gagasan emansipatoris, sebuah ciri yang biasanya melekat pada sebuah ideolog, (Tarli Nugroho: 2020).

Dalam teori marxis, marhaenisme mungkin sepadan dengan istilah “proletar”. Namun, Bung Karno menekankan pada istilah marhaen dengan perkataan “kaum melarat Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil mungkin mirip dengan borjuis kecil, tetapi ia hidup sangat melarat. Dengan demikian, istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan lain-lain.

Kelompok yang tergolong dalam Soekarnois menjadikan marhaenisme sebagai landasan, acuan, dan ideologi fundamentalis dalam membawa gerakan revolusi, khususnya kaum tani menuju hidup yang lebih baik. Ditegaskan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, bahwa “marhaenisme adalah jalan perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu. Oleh karenanya harus berupa perjuangan yang revolusioner.”

Marhaenisme sebagaimana telah sedikit diuraikan, sebagai gagasan ia dapat menjadi wadah pengejawantahan ide-ide progresif revolusioner dalam menciptakan tatanan masyarakat yang selaras dengan kultur bangsa, yakni gotong royong. Ia menjadi basis utama revolusi Indonesia.

Bung Karno melihat begitu penting petani dalam menjaga ketahanan pangan untuk negeri ini. Dengan peran petanilah segala bahan makanan bisa terjaga dengan baik. Karena itu, tidak heran jika sektor pertanian diproyeksikan menjadi salah satu misi Indonesia emas 2045. Namun lagi-lagi, proyeksi demikian janganlah hanya sekadar imajinasi belaka. Ia mesti diimplementasikan dalam bentuk nyata.

Sebagai penjaga tatanan sosial, sudah selayaknya bangsa Indonesia menempatkan Petani sebagai Stake Holder. Petani, dewasa ini mesti menjadi titik penting yang diprioritaskan pemerintah. Bukan lagi, pemilik modal yang menghasilkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik. Terlepas ingin menggunakan konsep marhaenisme Bung Karno atau tidak. Yang terpenting adalah pentani harus bisa sejahtera dan mensejaterakan.

Apalah arti kemodernan jika hanya untuk membunuh kearifan lokal?