Berita bubarkan MUI viral di media sosial. Publik muak dengan sikap pernyataan beberapa pengurus MUI yang tidak mencerminkan keulamaannya. Terkini, Sekjen MUI Anwar Abbas mengancam mundur dari posisinya, dikarenakan program sertifikasi dai atau penceramah yang dicanangkan oleh Kementerian Agama.
Sebenarnya, desakan bubarkan MUI ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya, pada tahun 2016 juga muncul sebuah petisi ‘Bubarkan MUI’ di laman change.org. Petisi tersebut dilatarbelakangi oleh keputusan MUI tentang Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hal itu terkait pernyataan Ahok yang dikategorikan MUI sebagai penghinaaan terhadap Al-Quran dan ulama. Ada apa dengan MUI?
Belakangan ini, MUI kerap mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. Bahkan, acap kali fatwa-fatwanya ini menuai berbagai polemik. Bukannya mempersatuan umat, tetapi sebaliknya malah menimbulkan perpecahan di tengah umat. Sebut saja pernyataan Tengku Zulkarnain, Zaitun Rasmin, dan Bachtiar Natsir.
Tengku Zul misalnya, banyak pernyataan kontroversinya yang menimbulkan kegaduhan di publik. Di antara pernyataan kontroversinya yaitu, melegalkan pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri, menantang Jokowi menerapkan hukum potong tangan, fitnah pemerintah legalkan zina, mau membantu pemerintah kalau Presiden Jokowi wafat, dan seabreg penyataan konyol lainnya yang tentu membuat orang yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal.
Pernyataan kontroversi lainnya muncul dari dewan pertimbangan MUI Bachtiar Natsir. Ia menyebut kalau air kencing unta yang dicampur susu unta dapat menyembuhkan kanker dan bagus untuk percernaan. Selain itu, ia juga pernah menyebut kalau quick count mengandung sihir sains. Sungguh lawakan cerdas yang mengocok perut pembaca sekalian bukan?
Sementara Zaitun Rasmin, belum lama ini menyatakan bahwa perayaan ‘Asyura Syiah dapat memicu dendam, padahal faktanya apa yang disebutkan Zaitum Rasmin belum pernah terjadi di negeri ini. Bahkan, ia menyebut ajarah syiah menyimpang dari Islam. Hal ini menandakan kalau MUI telah dimasuki paham fundamentalis yang tekstualis. Bagaimana bisa seorang Wasekjen MUI mengatakan hal demikian.
Karenanya tidak salah, jika Gus Dur pernah mengusulkan untuk membubarkan MUI pada 2007 silam. MUI dianggapnya sebagai penyebab munculnya fundamentalisme dan radikalisme. Hal ini karena pernyataan MUI soal ajaran agama yang harus dilindungi. Menurutnya, MUI harusnya tidak hanya sekadar mengeluarkan fatwa saja. Gus Dur juga mengkritisi pemakaian kata sesat yang sering dikeluarkan MUI dalam fatwanya.
Selain berbagai pernyataan yang kontroversi di atas, ketiganya juga kerap menyampaikan pesan yang mengandung ujaran kebencian, rasisme, serta adu domba, seperti ucapan Tengku Zul terkait perbedaan ulama Jawa dan ulama Sumatera. Atas ucapannya tersebut, Tengku Zul panen kecaman dan hujatan dari masyarakat dan warganet.
Sebagai pengurus MUI, seharusnya Tengku Zulkarnain, Zaitun Rasmin, dan Bachtiar Natsir menyadari bahwa pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan mencerminkan posisi MUI. Apabila pernyataan pengurusnya saja sudah menimbulkan kegaduhan dan memecah belah umat, maka fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh MUI pun tak jauh beda.
Beberapa fatwa MUI yang kontroversial di antaranya yaitu, fatwa terkait perayaan natal bersama, infotainment, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pernyataan Ahok soal al-Maidah ayat 51, larangan merokok, golput, SMS berhadiah, senam yoga, penggunaan atribut keagamaan, kiblat, dan masih banyak lagi fatwa kontrovesi yang menuai banyak polemik.
Yang mengherankan, MUI kok gemar sekali mengeluarkan fatwa. Bahkan, terhadap suatu permasalahan yang sebenarnya tidak membutuhkan fatwa. Dikit-dikit fatwa, dikit-dikit fatwa, fatwa kok dikit-dikit. Apakah fatwa menjadi suatu komoditas bagi MUI?
Pantas saja, Gus Mus pernah melontarkan pernyataan terkait MUI, bahwa status keberadaan MUI tidak jelas, padahal MUI mengatasnamakan diri sebagai ulama. Gus Mus menuturkan, “MUI itu makhluk apa? Instansi pemerintah? Ormas? Orsospol? Lembaga pemerintahankah? Tidak jelas, kan? Ujuk-ujuk dijadikan lembaga fatwa.”
Dalam sejarahnya, MUI memang berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Ulama tersebut merupakan unsur dari ormas-ormas Islam yang terdiri dari NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, Al Ittihadiyyah, 4 orang dari Dinas Rohani Islam TNI dan POLRI, serta 13 orang cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
MUI adalah produk politik Orde Baru (lihat kadrun.id Fatwa MUI Tak Wajib Diikuti) yang dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan. Namun, independensi MUI kian menguat pasca-runtuhnya Orde Baru pada Tahun 1998. Belakangan, MUI semakin meneguhkan fatwa legitimasi teologis, khususnya dalam praksis kebebasan beragama. MUI makin menjadi lembaga yang mengontrol segala aktivitas praktik keberislaman masyarakat, sehingga fatwa-fatwa MUI juga kerap memiliki kecenderungan politis.
Sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berisikan para ulama, sudah seharusnya membimbing dan mengayomi umat dalam menjalani kehidupan yang beragam dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Mereka yang mengatasnamakan organisasi wadah ulama tidak seharusnya menjadi provokator dan dalang keributan permasalahan horizontal di antara masyarakat yang plural, apalagi menjadi penebar kebencian terhadap sesama.
Meski MUI disebut sebagai tempat berkumpulnya para ulama, akan tetapi pernyataan dan sikapnya tak merepresentasikan wajah keulamaan sama sekali. Akibat pernyataan beberapa pengurusnya, MUI bisa dibilang sebagai sebuah lembaga biang kerok yang menebarkan permusuhan dan kebencian terhadap sesama. Bahkan, perilakunya sudah sangat diskriminatif terhadap penganut agama tertentu dengan mengatasnamakan agama. Bagaimana ulama yang benar-benar pantas disebut ulama itu?
Malik Fadjar mengatakan bahwa ukuran keulamaan yang diberikan masyarakat atau umat kepada seseorang ditentukan oleh bidang keilmuannya, kegiatan, dan lingkup komunikasi. Di samping itu, ketokohan seorang ulama ditentukan oleh peran dan fungsinya sebagai pengayom, panutan, dan pembimbing di tengah umat atau masyarakat.
Kebanyakan masyarakat awam belum menemukan pengertian yang sahih tentang siapa yang pantas disebut sebagai ulama. Di daerah-daerah basis santri yang dipahami sebagai ulama adalah pemilik yayasan pondok pesantren. Sebab, peran pemilik pesantren di tengah masyarakat sangatlah vital. Ia menjadi rujukan tiap permasalahan umat dan menjadi solusi pemecahannya.
Ulama adalah seorang ahli dalam bidang ilmu, tidak ada hubungannya ia punya yayasan pesantren atau tidak. Pesantren itu perkara mudah, asal orang kaya atau pinter minta bantuan pada orang kaya untuk membangun pesantren, maka berdirilah pesantren. Ulama adalah seorang yang punya kontribusi karya keilmuan. Bisa Kiai, dosen, peneliti, atau siapa saja yang ahli dan berkontribusi di bidang ilmu. Dalam konteks demikian, penyebutan ulama sebagai pemilik yayasan pondok pesantren kurang tepat.
Selain salah alamat penyebutan ulama pada pemilik yayasan pondok pesantren, terjadi reduksi pengertian ulama sebagai pengurus Majlis Ulama Indonesia (MUI). Penggunaan nama ulama pada MUI bisa disalahgunakan. Gus Mus menyatakan, Di MUI, asal bisa jadi pengurus MUI, maka akan disebut sebagai ulama, meski hanya menjadi sekretaris ataupun juru tulis. “Mosok pengurus majelis ulama tidak ulama,” begitu tuturnya.
Jadi, apakah ulama itu? Apakah mereka yang kesehariannya memakai sarung, gamis putih, sorban di kepala, berjenggot panjang, sambil membawa tasbih? Apakah mereka yang berkoar-koar sambil mengumandangkan ‘aksi bela ulama’ dan sejenisnya, yang pantas disebut sebagai ulama?
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa ulama ialah orang yang memiliki kemampuan untuk menganalisis problem dan fenomena alam dalam kehidupan dunia akhirat dan memiliki perasaan takut kepada Allah. Orang yang maksiat kepada Allah tidak dikatakan sebagai ulama.
Sejalan dengan pendapat di atas, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan makna ulama adalah seorang yang mempunyai pengetahuan yang jelas terhadap agama, Al-Quran, dan ilmu fenomena alam. Melalui pengetahuan tersebut, akan mengantarkan seseorang memiliki rasa khasyyah (takut) kepada Allah.
Dengan demikian, ulama adalah orang yang memiliki ilmu agama dan ilmu pengetahuan yang mampu menyelesaikan problem permasalahan dunia juga akhirat. Dengan kata lain, ulama adalah seorang yang sudah makrifat kepada Allah, yang mengantarkannya pada perasaan takut kepada-Nya.
Idealnya, ulama adalah seorang yang tutur katanya santun, ilmunya mendalam, dan menyentuh kalbu. Segala tindak lakunya memberikan teladan yang baik. Ulama itu negarawan, resi, begawan, orang suci yang ditunggu-tunggu nasihat dan fatwanya. Di samping mempunyai keilmuan yang mendalam, seorang ulama juga harus memiliki wawasan kebangsaan, sehingga apa yang ia sampaikan tidak memicu timbulnya perpecahan di tengah kehidupan umat yang heterogen dan beragam.
Ulama adalah pewaris para Nabi yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar bagi kehidupan dunia. Nabi diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Akhlak perlu didahulukan dibanding yang lain. Keberadaan ulama haruslah mendatangkan rahmat, bukan laknat. Dakwahnya juga merangkul, bukan memukul, mengajak bukan mengejek dan tindak tanduknya ramah, bukan marah. Oleh sebab itu, sudah semestinya seorang ulama meneladani apa yang telah dicontohkan oleh Nabi. Sikap-sikap seperti rendah hati, jujur, toleran, moderat dan lain-lain harus terinternalisasi dalam kepribadian tiap-tiap ulama.
Namun, melihat realitas yang terjadi di atas, apa yang telah diperlihatkan oleh Tengku Zul, Zaitun Rasmin, dan Bachtiar Natsir masih layakkah mereka disebut sebagai seorang ulama? Sementara MUI sendiri, pantaskah disebut sebagai tempat berkumpulnya para ulama?
Seharusnya, mereka bisa mencontoh beberapa ulama yang memang sudah terakui keulamaannya, seperti Quraish Shihab, Nasaruddin Umar, Gus Mus, Gus Muwafiq, Habib Lutfi dan masih banyak yang lainnya. Mereka telah terbukti sebagai ulama-ulama yang memiliki kedalaman ilmu yang luas juga memiliki wawasan kebangsaan yang moderat.
Quraish Shihab misalnya, setiap tutur katanya selalu memberikan kesejukan dan kedamaian jiwa. Petuah dan nasihatnya selalu ditunggu oleh umat Islam. Begitupun karya-karyanya, Tafsir al-Misbah adalah salah satu karya magnum opusnya yang membuktikan ia merupakan ulama besar dan memiliki kedalaman ilmu yang luas.
Kalau mau menengok ke belakang, jauh sebelum itu, Wali Songo sudah memberikan contoh, bagaimana mereka menjadi ulama di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas masih non-Muslim. Dengan sikap moderat dan pendekatan budaya yang adaptif terhadap kultur masyarakat, mereka diterima dengan baik oleh umatnya. Bersama dengan Sultan Demak saat itu, Wali Songo menjadi contoh seorang ulama yang negarawan dan mandita.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan kenapa desakan bubarkan MUI viral di media sosial hingga saat ini. Pertama, banyak pernyataan pengurus MUI yang menimbulkan kontroversi dan polemik. Kedua, sikap sebagian pengurus MUI tidak mencerminkan citra dirinya sebagai ulama yang patut diteladani. Ketiga, MUI telah disusupi oleh fundamentalisme dan radikalisme. Keempat, fatwa-fatwa MUI terkadang tidak memberikan solusi, justru sebaliknya malah menyulut perpecahan di tengah umat dan masyarakat.
Walhasil, jika beberapa pengurus MUI tak segera bertaubat nasuha dari kebelingerannya, maka MUI dengan sendirinya tidak bisa dipercaya lagi oleh umat Islam. Dan karenanya, jangan salahkan publik, jika mereka menyuarakan hastag “BubarkanMUI” di media sosial. Dengan fatwa, pernyataan, dan sikapnya yang kerap menuai kontroversi dan polemik, serta menimbulkan perpercahan, MUI akan mendapati krisis kepercayaan dari umat. Dengan kata lain, MUI sedang menggali liang kuburnya sendiri. Sudahkah MUI menyadari akan hal ini?