“Siapa yang mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan (berasal/bersumber) darinya, maka dia tertolak.” (HR. Bukhari-Muslim). Itulah sepenggalan hadis bagi kelompok Islam konservatif yang selalu dijadikan dalil untuk membidahkan kelompok Islam yang tidak sependapat dengan pemahamannya. Kelompok ini pun cenderung melabeli musyrik dan kafir terhadap sesama Muslim.
Lihat saja fenomena kelompok Islam konservatif, seperti Wahabi dan Salafi yang suka membidah dan mengkafirkan kelompok yang tidak mengamalkan sesuatu yang terjadi di zaman Nabi. Islam sudah sempurna. Tidak perlu lagi penambahan dan menginovasi amalan di dalam Islam.
Kelompok Islam yang melakukan tradisi keagamaan, seperti tahlil, tawassul, maulid Nabi, ziarah kubur dan lainnya dianggap sudah melenceng dari Islam (bidah, musyrik dan kafir). Menurut kaum Wahabi, kaum muslimin tidak cukup hanya dengan meyakini Allah SWT sebagai “khaliq”, melainkan memurnikan ibadah kepada-Nya. Ibadah hanya sepenuhnya kepada Allah SWT, tidak boleh melalui perantara (tawassul). Siapapun yang beribadah dengan menggunakan perantara, maka orang-orang tersebut akan tergolong “musyrik”. Bahkan, mereka dianggap telah keluar dari Islam (kafir).
Kafir adalah orang yang tidak mengimani Allah SWT, sebagai Tuhan yang Maha Esa. Mereka menginkari ketuhanan, tauhid dan risalah. Lantas apakah layak jika kelompok Islam saling berbeda pendapat divonis kafir? Tentu saja tidak. Sebab yang pantas melabeli kafir hanya Allah SWT.
Kelompok Islam di Indonesia begitu beragam ideologinya. Perbedaan pendapat antara Muslim dijadikan rahmat untuk memperkaya khazanah keislaman. Namun, ada beberapa kelompok Islam yang begitu mudah melontarkan bidah, musyrik, dan kafir sesama kelompok Muslim atas perbedaan.
Mengutip hasil Deklarasri Perwakilan Ulama Sedunia yang diselenggarakan di Amman Yordania (9/11/2024), “siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlussunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali) dan mazhab Syiah (Ja’fari dan Zayidi), mazhab Ibadhi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab yang disebut diatas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab di atas tidak boleh dihalalkan.”
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW berkata, barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah, padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan Kembali kepada penuduh. (HR. Bukhari-Muslim).
Berdasarkan prinsip hadis di atas, perlu adanya kehati-hatian dan perasangka baik terhadap sesama Muslim. Karena orang yang tidak berhati-hati dan suka berprasangka, bagian dari dosa. Allah SWT berfirman, wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya Sebagian prasangka itu dosa. (QS. Al-Hujurat: 12)
Banyak berprasangka dalam Al-Quran dimasukkan kategori dosa, lalu melontarkan kafir kepada sesama Muslim bukan hanya sekedar dosa, namun sudah keluar dari agama Islam. Oleh karena itu, Muslim yang masih mengucapkan “lailaahaillallah wamuhammad rasulullah” adalah saudara kita.